Ketika Dubes AS Dipaksa Makan Durian
Sukarno memaksa Marshall Green makan durian di depan orang banyak. Menurut Green rasanya menjijikan dan baunya seperti keju busuk.
Duta Besar Amerika Serikat (AS) Marshall Green mendapat surat kepercayaan dari Presiden Sukarno pada 26 Juli 1965. Green menggantikan Howard Jones yang sudah sejak 1964 ingin pensiun. Berbeda dari pendahulunya yang bisa bersahabat dengan Sukarno, Green justru sebaliknya.
Tahun 1965 menjadi titik didih hubungan Indonesia dan (AS). Sukarno makin mesra dengan negara-negara komunis seperti Republik Rakyat Tiongkok, Republik Demokratik Vietnam, atau Korea Utara dan makin anti-Amerika. Sikap Sukarno terhadap AS makin jelas pada pidato 17 Agustus 1965 yang berjudul “Tahun Berdikari”. Dalam pidatonya, Sukarno menyinggung tentang nasionalisasi modal asing termasuk milik AS. Sukarno juga menantang AS terkait dukungannya terhadap Malaysia.
Baca juga: Howard Jones, Duta Besar AS Karib Sukarno
“Apakah mereka akan menghentikan sokongan mereka terhadap ‘Malaysia’ dan bersahabat kembali dengan Indonesia, ataukah sebaliknya tetap menyokong ‘Malaysia’ dan memusuhi RI. – ini adalah persoalan yang terpenting dewasa ini dalam relasi R.I.-A.S,” kata Sukarno.
Ia menambahkan, “Baiklah pemerintah AS mempertimbangkan betul-betul hal ini, karena akhirnya pada kita ada hak penuh – sebagai Republik yang berdaulat – untuk menasionalisasi, atau bahkan mengkonfiskasi modal asing manapun yang memusuhi Republik Indonesia.”
Kedutaan AS kerapkali jadi bulan-bulanan demontrasi massa sejak era akhir Jones dan berlanjut hingga era Green. Duta besar AS di Indonesiapun tak luput kena getahnya.
Baca juga: Sukarno, Majalah Playboy, dan CIA
Dalam bukunya Dari Sukarno ke Soeharto, Green merasa tertekan sebagai duta besar AS. Baru beberapa minggu menjabat saja, Keduataan dan Konsulat AS di Medan dan Surabaya sudah menjadi sasaran demonstrasi. Pada 30 Juli, konsulat AS di Medan diserang massa hingga gardu dan pagarnya roboh serta kaca-kaca jedelanya pecah. Sementara di Surabaya, konsulat AS diserbu lebih dari 3000 orang pada 7 Agustus.
“Insiden terakhir ini amat menggangu karena saya tidak dapat menghubungi seorang pun pejabat Indonesia yang dapat mengeluarkan para demonstran dari konsulat. Tetapi akhirnya saya berhasil menemui Wakil Perdana Menteri Chaerul Saleh pada tanggal 11 Agustus dan Menteri Luar Negeri Subandrio pada hari berikutnya. Selanjutnya para demonstran yang menduduki Konsulat dapat diusir,” ungkap Green.
Meski mendapat banyak tekanan dan dianjurkan untuk pulang oleh media AS, Green keukeuh bertahan. Menurutnya, kedudukan Kedutaan Besar AS akan makin lemah dalam mewakili kepentingan AS dan warganya. Sayangnya, Green tak menyangka dia akan terus “dikerjai” Sukarno.
Yang pertama ialah masalah Majalah Playboy. Menurut keterangan Green, Sukarno pernah meminta majalah dewasa itu karena Sukarno mengaku menyukai ulasan film dan sandiwaranya. Green memenuhi permintaan Sukarno dengan meminta kiriman Playboy pada istrinya di Washington. Namun, Green belakangan tak memberikannya pada Sukarno.
Ia berprasangka bahwa Sukarno barangkali akan menjebaknya dengan majalah itu. Ia membayangkan pada satu pertemuan umum, Sukarno akan menuduhnya menyogok menggunakan Playboy. Akhirnya majalah itupun disimpannya rapat-rapat.
Kali ini Green benar-benar dikerjai Sukarno. Pada 28 September 1965, Green diundang dalam acara peletakan batu pertama pembangunan Universitas Indonesia Ciputat. Selain Green, diundang pula Duta Besar Meksiko Albaran Lopez. Mereka duduk di atas panggung.
Baca juga: Riwayat Durian di Nusantara
Kala itu, Green sadar bahwa Sukarno akan melakukan apa yang disebut Green sebagai “siasat” untuk mempermalukannya. Sukarno mengambil durian dan membawanya ke atas panggung. Green jelas sangat membenci durian. Menurutnya, durian memiliki bau seperti keju busuk dan sangat menjijikan. Sayangnya, Sukarno telah membawakan buah itu di hadapannya dan ia harus memakannya.
“Sukarno memimpin paduan suara mahasiswa ‘makan, makan,’ lalu saya terpaksa menelan makanan yang menjijikan itu demi kehormatan saya. Rekan saya dari Meksiko terhindar dari cobaan berat ini. Inilah pertemuan terakhir saya dengan Sukarno. Saat itu suasana terasa hampir meledak,” kata Green.
Kejadian itu menjadi pengalaman buruk terakhir Green di Indonesia. Dua hari setelah itu, Peristiwa G30S meletus. Kekuasaan Sukarno terus melemah dan sebaliknya, posisi AS menguat seiring berdirinya rezim Orde Baru. Green terus menjabat sebagai duta besar hingga 1969.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar