Ketika Brigadir Mallaby Bertemu dengan "Menteri Pertahanan RI"
Bagaimana dinamika era revolusi menyebabkan Jaksa Agung RI menyetujui secara sepihak seorang dokter gigi menjadi menteri pertahanan Republik Indonesia secara mendadak.
Dua hari setelah pembacaan Proklamasi, Presiden Sukarno mengumumkan kabinetnya yang pertama. Semua tokoh pejuang yang diangkat oleh presiden Republik Indonesia (RI) sebagai anggota kabinet, mengonfirmasi kesediaan mereka kecuali Supriyadi, menteri keamanan rakyat. Hingga batas waktu yang ditetapkan, tokoh pemberontakan pasukan Pembela Tanah Air (Peta) di Blitar itu sama sekali tak memberikan kabar. Dirinya hilang bak ditelan bumi.
“Banyak yang bilang saat itu Supriyadi sudah dibunuh tentara Jepang. Ya itu bisa saja,” ungkap sejarawan Rushdy Hoesein.
Kekosongan itu sejatinya sempat diisi oleh seorang pejabat sementara bernama Soeljadikoesoemo. Namun karena situasi komunikasi saat itu yang serba sulit, berita pengangkatan tersebut tak banyak orang yang tahu. Termasuk oleh para pejuang Indonesia yang tengah siap-siap menghadapi pendaratan tentara Inggris di Surabaya.
Baca juga: Nasihat Menjelang Pemberontakan
Kamis pagi, 25 Oktober 1945, Gubernur Jawa Timur R.M.T.A. Soerjo menerima laporan dari para pembantu bidang ekonomi di Kegubernuran bahwa tentara Inggris mulai mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak. Dengan perlindungan beberapa kapal perang, mereka menurunkan sekitar 6.000 prajurit Brigade 49 Infanteri India di bawah pimpinan Brigadir A.W.S. Mallaby. Melalui dua perwira utusannya, Mallaby menyampaikan undangan lisan kepada Gubernur Soerjo untuk melakukan pertemuan di atas kapal Inggris.
Namun, Gubernur Soerjo tidak dapat memenuhi undangan itu karena sedang sibuk dengan tugas yang lain. Mendapat jawaban demikian, utusan Inggris langsung meninggalkan ruang kerja gubernur tanpa permisi dan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sikap tidak sopan kedua perwira Inggris itu direspons secara dingin oleh Gubernur Soerjo. Kepada pembantunya yang ikut menyaksikan kepongahan dua utusan itu, Soerjo menyatakan bahwa pemerintah Jawa Timur tidak harus selalu menuruti kemauan pihak Inggris.
“Jangan khawatir, kita sudah menang karena mereka sudah berperilaku buruk dan kasar,” kata Gubernur Soerjo seperti dikutip Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya.
Baca juga: Detik-Detik Menjelang Surabaya Dibombardir
Usai melakukan penolakan, Gubernur Soerjo lantas mengadakan rapat kilat. Diputuskan, dia akan memberi mandat kepada Mayor Jenderal drg. Moestopo selaku pimpinan BKR Jawa Timur untuk berunding dengan pihak Inggris sekaligus memberikan hak kepadanya mengatasnamakan pemerintah Jawa Timur.
“Rapat tersebut juga menyatakan tak keberatan bila Moestopo menggunakan nama 'Menteri Pertahanan add interim' sesuai dengan surat tertulis yang ditandatangani oleh Jaksa Agung Mr. Gatot (Tarunamihardja) tertanggal 13 Oktober 1945,” ungkap Moehkardi dalam Sebuah Biografi: R. Mohammad dalam Revolusi 1945 Surabaya.
Baca juga: Moestopo vs Hatta di Tengah Pertempuran Surabaya
Berbekal surat mandat itu, Moestopo yang didampingi oleh Mohammad Jasin, komandan Polisi Istimewa, dan Soetomo alias Bung Tomo, pemimpin BPRI, kemudian mendatangi Mallaby di markasnya. Dengan sikap penuh percaya diri, ketiga utusan kaum republik itu menyarankan Mallaby untuk tidak seenaknya mendaratkan pasukannya mengingat Surabaya merupakan wilayah hukum RI.
“Lantas kepada siapa kami harus mendapatkan izin untuk mendaratkan pasukan kami?” tanya Mallaby.
“Kepada Menteri Pertahanan Republik Indonesia!” jawab Moestopo.
“Di mana kami bisa menemuinya?”
“Menteri yang anda tanyakan itu sekarang duduk di depan anda,” ujar Moestopo.
Mallaby terlihat kaget sejenak. Namun dia cepat menguasai diri dan langsung mengubah sebutan “Mr” kepada Moestopo menjadi “Your Excellency”. Kendati demikian, perundingan tetap berjalan alot. Alih-alih menuruti saran dan keinginan para pejuang Surabaya, Mallaby bersikeras untuk mendaratkan pasukannya tanpa syarat sama sekali.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar