Jenderal Hario "Tundukkan" Subandrio
Diajak pergi Subandrio tanpa pemberitahuan jelas, waktu jenderal Suhario terbuang percuma. Tak marah, Suhario lebih dulu “menundukkan” Subandrio.
SUATU senja di RTM Budi Utomo, Jakarta tahun 1981. Mayjen (Purn.) Soehario Padmodiwirio atau yang akrab disapa Hario “Kecik”, mantan Pangdam IX/Mulawarman, kedatangan mantan Menteri/Panglima AU Omar Dani di tempat tahanannya. Dani datang untuk memastikan apakah Subandrio, mantan wakil perdana menteri I, baru saja mengunjunginya.
“Iya, ia membawa berita yang saya sudah tahu. Saya dengarkan saja, berlagak seolah-olah seperti belum tahu,” kata Hario sambil tertawa, yang dituliskannya dalam Memoar Hario Kecik II.
Subandrio datang memberitahu berita rencana pembebasan Hario dan dua jenderal lain yang ditahan di tempat sama oleh rezim Orde Baru.
Mendengar keterangan Hario, Dani pun lega. Dani tahu betul karakter Subandrio, teman satu blok di tahanan itu, suka menguping dan kerap membuat kegaduhan dengan pernyataan-pernyataannya. Dani khawatir berita pembebasan Hario disalahgunakan Subandrio.
Baca juga: Omar Dani, Panglima yang Dinista
Bukan rahasia bila Subandrio si mantan kepala Biro Pusat Intelijen (BPI) kerap mengeluarkan pernyataan yang menimbulkan kegaduhan dalam poltik. Pernyataan-pernyataannya juga kerap merugikan orang lain. Mantan Menteri Penerangan Sudibyo menyaksikan bagaimana pernyataan Subandrio merugikan Chairul Saleh, mantan wakil Perdana Menteri III, yang saat itu menjabat Ketua Periodik Front Nasional.
“Yang sangat saya sesalkan adalah sikap Subandrio yang menuduh Chairul Saleh sebagai orang yang termasuk dinasti ekonomi. Serangan Subandrio begitu hebatnya, yang diikuti oleh kekuatan-kekuatan Kom, yang kira-kira senada. Di situ kelihatan bahwa Saudara Chairul Saleh selalu dipojok-pojokkan oleh Subandrio,” kata Sudibyo dalam kesaksiannya, termuat di Chairul Saleh Tokoh Kontroversial.
Maka dari itulah Dani mendatangi Hario. “Waktu berita tentang akan dibebaskannya tiga Jendral, Pranoto, Rukman, dan selirane sampeyan (Anda, red.), diberitahukan oleh Overste (Tomo) itu, Pak Ban ikut nguping,” kata Dani, dikutip Hario.
Hario dan Dani pun tertawa bersama. Kedua mantan perwira tinggi itu sama-sama tahu karakter Subandrio sejak lama. Terlebih Hario, dia sudah lama kenal Subandrio. Dia merupakan teman Hurustiati, istri Subandrio, saat kuliah di jurusan kedokteran.
Hario paham betul bagaimana cara menghadapi Subandrio. Hario pernah membuat Subandrio “takluk”. Kisah itu terjadi pada awal dekade 1960-an saat Hario masih menjabat sebagai Pangdam Mulawarman dan Subandrio sebagai menteri luar negeri.
Karena suatu urusan, Hario datang ke Jakarta. Saat itulah di suatu pagi dia dipanggil Subandrio ke rumahnya. “Cik, kamu sekarang berangkat ke sini, ke rumah saya. Sudah jangan tanya untuk apa. Saya tunggu sekarang,” kata Subandrio.
Baca juga: Memburu Soebandrio
Subandrio ternyata mengajak Hario ke Kompleks peristirahatan milik Mobil Brigade Kepolisian RI di Megamendung. Namun, perjalanan jauh itu bagi Hario seakan hanya buang-buang waktu saja. Subandrio ternyata hanya ingin memamerkan konsep pidato yang dibuatnya untuk pidato 17 Agustus Presiden Sukarno. Hario pun bingung apa tujuan Soebandrio mengajaknya ke Megamendung.
“Belakangan, setelah saya mengikuti pidato yang diucapkan Bung Karno lewat radio, ternyata berbeda isinya, tidak seperti yang saya baca di Megamendung,” kata Hario.
Meski seperti dikerjai, Hario tak kecewa karena dia telah “menundukkan” Subandrio ketika mobil yang mereka naiki menuju Megamendung baru melintasi Cisalak. Di sanalah Hario meminta Subandrio untuk memerintahkan supir agar menghentikan mobil karena dia tak tahan ingin buang hajat. Permintaan itu membuat Subandrio kesal.
“Kamu itu bagaimana, saya ini menteri lho. Mosok kamu suruh berhenti. Kurangajar kamu. Di mana kamu akan ngising? Gendeng kamu, Cik. Sini bukan hutan-belantaramu Kalimantan!” kata Subandrio.
Alih-alih menanggapi kemarahan Subandrio, Hario tak ambil pusing dan tetap meminta agar mobil dihentikan. Karena mobil masih tetap melaju, Hario akhirnya mengeluarkan ancaman sambil menyuruh supir menghentikan mobil. “Berhenti...berhenti, saya tidak kuat lagi menahan. Atau saya ngebrok di sini di dalam mobil,” kata Hario.
Ancaman Hario pun mendorong Subandrio memerintahkan supir segera menghentikan mobil. Setelah Hario kembali dari menyelesaikan hajatnya, Subandrio pun kembali marah.
“Tapi saya sendiri dalam hati merasa puas. Inilah suatu momen historis yang spektakuler,” kata Hario.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar