Hatta Tak Suka Dijadikan "Dewa"
Bung Hatta dikenal disiplin dan sederhana. Tak heran bila ia kecewa mendapat sambutan berlebihan ketika mengunjungi kampung halaman.
BEGITU kapal kecil yang membawanya bersandar di dermaga, 3 Juni 1947, Wakil Presiden Moh. Hatta segera turun ke darat. Kunjungan ke Panjang, Lampung, itu menandai kunjungan pertamanya ke Sumatra setelah Indonesia merdeka. Kunjungan Hatta itu merupakan safari politik untuk memperkuat semangat juang rakyat.
“Aku berangkat ke Sumatera atas undangan anggota-anggota KNIP dari Sumatera, yang baru dipilih dalam sidang pleno pada waktu itu. Yang ikut dalam rombongan antara lain Suryo, ketua Dewan Pertimbangan Agung; Ir. H. Laoh, menteri Perhubungan; Mr. A. Karim (waktu itu salah seorang direktur Bank Negara Indonesia); Suria Atmadja (Kementerian Perekonomian); Rusli Rahim (kepala Bagian Koperasi pada Kementerian Perekonomian); Abubakar Lubis, Supardjo, pemimpin pemuda; Wangsa Widjaja (sekretaris wakil presiden); WI. Hutabarat dan Ruslan Batangtaris (ajudan wakil presiden),” kata Hatta dalam otobiografinya Untuk Negeriku, Jilid 3.
Sekira tanggal 15, rombongan memasuki Sungai Dareh, Sumatera Barat melalui jalan darat dari Muara Tebo, Jambi. Dari situ, rombongan melanjutkan perjalanan ke Padang Panjang sebelum mencapai tujuan akhir Bukittinggi.
Baca juga: Demokrasi Air ala Bung Hatta
Antara Sungai Dareh dan Padang Panjang, rombongan beberapakali berhenti. Untuk sesaat, Bung Hatta menyempatkan diri menyapa rakyat yang menyambutnya meriah, lalu memberi sedikit wejangan. Pidato panjang diberikannya ketika di Padang Panjang.
“Sesudah itu kami dibawa ke sebuah rumah yang dihiasi dengan bendera Sang Saka Merah Putih. Kaum ibu di sana berhari-hari menyiapkan makan untuk kami. Meja makan penuh dengan ayam goreng, rendang, ikan air tawar, dan satu piring selada, yang sangat enak rasanya,” kenang Hatta.
Dari Padang Panjang, rombongan melanjutkan perjalanan ke Bukittinggi, kampung halaman Hatta. Mereka mendapat sambutan begitu meriah dari rakyat. Di sana, rombongan bakal tinggal selama enam hari, namun batal karena pada hari kelima Hatta dijemput Biju Patnaik, pengusaha penerbangan India yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia, untuk memenuhi permintaan Presiden Sukarno agar Hatta bertemu dengan PM India Jawaharlal Nehru.
Namun sebelum terbang ke India, Hatta sempat memberikan pidato di depan rakyat. Sebelum memberi pidato itulah Hatta mendapat sambutan luar biasa. Alih-alih senang, Hatta yang dikenal sederhana justru kecewa terhadap sambutan yang berlebihan itu. Bahkan, ia sampai menegur gubernur karena sambutan berlebihan itu.
Jauh setelah peristiwa itu terjadi, Hatta menceritakan kekecewaan itu kepada Hasjim Ning, keponakannya yang menjadi pengusaha berjuluk “Raja Mobil Indonesia”. Hasjim mengisahkan kekesalan pamannya itu dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Baca juga: Hatta Bikin Pengusaha Hasjim Ning Pening
“Orang di sana lupa bahwa aku wakil presiden, bukan raja dari suatu kerajaan,” kata Hatta.
“Mengapa, Oom?” tanya Hasjim yang belum tahu duduk perkaranya.
“Mereka menyambutku dengan nyanyian hymne.”
“Itu maksudnya mau menghormati, Oom,” kata Hasjim memberi komentar.
“Hymne itu lagu pujaan kepada dewa, tahu?”
“Teks lagunya bagaimana, Oom?”
“Ya berisi pemujaan atas pribadiku.”
“Ah, kalau begitu secara agama mereka sudah sesat, secara bernegara mereka sudah feodal,” Hasjim memberi penilaian.
“Ya itulah yang aneh. Orang Minangkabau yang selama ini terkenal demokrat, setelah merdeka mereka menjadi feodal,” kata Hatta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar