Hamka dan Maag Berjamaah
Perjalanan Hamka ke Mekkah diliputi gelak tawa. Itu disebabkan prilaku para staf KBRI di Karachi yang mengaku terkena maag hingga tak menjalankan ibadah puasa.
Pada September 1975, bertepatan dengan bulan suci Ramadhan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerima undangan Muktamar Masjid se-Dunia di Makkah, Arab Saudi. Sebagai ketua, Buya Hamka mendapat kesempatan untuk berangkat mewakili pemerintah Indonesia. Dalam perjalanan ke Tanah Suci umat Islam tersebut, dia didampingi Sekjen MUI Kafrawi, dan putra sulungnya Yusran Rusydi. Ketiganya dijadwalkan berangkat pertengahan bulan.
Pada 17 September 1975, rombongan Hamka dijadwalkan akan terbang ke Jeddah. Pagi harinya, Hamka dipanggil ke Istana oleh Presiden Soeharto. Presiden ingin secara khusus menyambut MUI yang baru terbentuk pada permulaan tahun itu. Terjadi pembicaraan ringan yang cukup serius di antara Hamka dan Presiden. Terutama soal ketegasan MUI akan penyebaran Kristenisasi di tengah umat Islam Indonesia.
Menurut cerita Hamka, seperti dituturkan Yusran Rusydi dalam Buya Hamka: Pribadi dan Martabat, Presiden mendukung berbagai gagasannya, termasuk usulan agar pemerintah membeli Rumah Sakit Baptis di Bukittinggi yang dianggap Hamka telah secara terang-terangan menukar iman dan kepercayaan orang Minangkabau melalui sistem pengobatan.
“Perjalanan kami dipenuhi dengan rasa suka cita,” tulis Rusydi.
Baca juga: Hamka dan Patung Nabi Muhammad
Setelah melalui malam di udara, sekira pukul 6 pagi, Hamka tiba di Karachi, Pakistan. Mereka sama sekali tidak sempat untuk makan sahur. Beberapa orang staf kedutaan Indonesia, yang sebelumnya telah mendengar kabar perjalanan Hamka, kemudian menemui mereka untuk membantu segala keperluan selama di Karachi sebelum kembali mengudara pada tengah malamnya.
Seorang staf kedutaan lalu meminta kesediaan Hamka untuk berbuka puasa di kediaman salah seorang di antara mereka.
“Oh kami musafir (orang yang sedang dalam perjalanan), tak perlu repot-repot karena kami tidak puasa,” ucap Rusydi.
“Tidak puasa?” tanya seorang staf kedutaan dengan gembira. “Kalau begitu siang ini makan di rumah saya.”
Hamka sempat menolak undangan tersebut. Tapi keinginan mereka disinggahi oleh ketua dan sekjen MUI, membuat ketiganya tidak bisa mengelak. Sekira pukul satu siang, rombongan itu tiba di kediaman penanggung jawab kedutaan wilayah Karachi. Mereka disambut para staf kedutaan beserta istri-istrinya.
Baca juga: Hamka dan Patung Nabi Muhammad
Ketika tiba waktu makan, semua orang bergegas ke ruang makan, menempati kursinya masing-masing. Tanpa ragu mereka mengisi piring dengan makanan di hadapannya. Rombongan Hamka hanya terdiam.
“Oh rupanya di sini lebih banyak orang-orang yang bukan Islam,” Hamka mencoba membuka pembicaraan.
“Tidak Buya, kami Islam. Bahkan saya dan istri berniat hendak menunaikan haji tahun ini,” ucap salah seorang.
Kafrawi dan Rusydi saling bertatap kebingungan.
“Tapi saya sakit maag,” kata orang itu lagi.
“Saya pun maag Buya,” terdengar suara perempuan. “Dan suami saya ini juga maag.” Menunjuk laki-laki di sebelahnya yang hanya mengangguk dan tersenyum.
Pendeknya, tulis Rusydi, semua orang yang ada di depan meja makan pada hari itu adalah penderita maag (sejenis sakit lambung), sehingga tak seorang pun yang menjalankan ibadah puasa. Tapi di atas meja tidak ada menu makanan khusus bagi penderita maag. Hidangan yang tersaji didominasi santan dan cabai rawit. Sungguh aneh.
Baca juga: Hamka dan Tongkatnya
Begitu kembali ke hotel, Hamka mengeluarkan seluruh unek-uneknya. Dia tidak habis pikir dengan kelakar para staf kedutaan itu. Hari itu seolah-olah baru saja rombongan Hamka diberi sajian lakon yang amat menggelikan. Sampai di pesawat pun ketiganya tidak berhenti membicarakan pengalaman unik tersebut.
“Demikianlah kami ke Mekkah diliputi oleh kegembiaraan, dan gelak tawa,” ujar Rusydi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar