Gejolak Muda Iwa Kusuma Sumantri
Pendidikan ala Barat membuat Iwa muda tertekan. Pilihan sang ayah amat bertentangan dengan cita-citanya. Dia pun melancarkan "pemberontakan" untuk masa depannya sendiri
Bandung,1915. Iwa Kusuma Sumantri memulai pendidikan di Sekolah Pribumi Pamong Praja Hindia Belanda (OSVIA). Dia yang merupakan putra guru Sekolah Kelas Dua bernama R. Wiramanti diharapkan sang ayah memperoleh masa depan yang cerah. Seseorang yang memegang ijazah OSVIA akan dengan mudah memperoleh pekerjaan di pemerintahan. Pada waktu itu jabatan pegawai negeri juga merupakan pekerjaan terhormat di masyarakat. Mereka yang bekerja di pemerintahan akan hidup dengan layak.
Akan tetapi harapan ayahanda itu rupanya tidak sesuai dengan keinginan hati Iwa. “Sesungguhnya, apabila pada saat itu saya mampu menolak perintah orang tua, maka dapatlah saya katakan bahwa sekolah ini sama sekali tidak sesuai dengan hati maupun cita-cita saya sendiri,” kata Iwa.
Meski begitu, Iwa tetap mengikuti ucapan sang ayah untuk bersekolah di OSVIA. Diceritakan Iwa dalam otobiografinya Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah, dia melakukan hal itu karena tidak ingin mengecewakan harapan orang tuanya. Setidaknya, imbuh Iwa, dia harus menunjukkan kepatuhan sebagai bukti jasa terhadap apa yang telah diberikan kedua orang tua dalam hidupnya.
Dengan perasaan antipati, Iwa memulai kehidupan sebagai pelajar OSVIA. Pemuda asal Ciamis itu tinggal di asrama mahasiswa di Bandung. Sekolah yang dia masuki adalah sekolah bagi kalangan elit. Tidak semua orang bisa memasukinya. Bukannya merasa beruntung, Iwa malah tertekan dengan kondisi di sana. Keadaan OSVIA tidak menyenangkan bagi Iwa.
“Cara-cara kehidupan mahasiswa tidak dapat saya terima begitu saja. Pelaksanaan perpeloncoan terhadap calon-calon mahasiswa baru tidak sesuai dengan makna perpeloncoan itu sendiri. Dalam praktiknya perpeloncoan lebih dititikberatkan pada tindakan-tindakan yang berlandaskan sentimen atau balas dendam saja,” kata Iwa.
Baca juga: Gejolak di OSVIA
Tidak hanya itu, Iwa juga mengkritisi cara bergaul anak-anak di sekolahnya. Murid OSVIA kerap terlibat dalam persaingan dengan sekolah Belanda lain di Bandung. Mereka saling berlagak ingin terlihat lebih unggul, baik dalam penampilan maupun pelajaran. Tidak jarang hal tersebut membawa perselisihan di antara para pelajar. Iwa merasa hal itu sama sekali tidak ada gunanya dan hanya mendatangkan kerugian.
Karena sudah benar-benar tidak tahan dengan lingkungan belajar di OSVIA, pada 1916 Iwa memutuskan melarikan diri dari asramanya. Bersama seorang kawan, yang memiliki pandangan dan pendirian serupa, Iwa pergi menuju rumah kakaknya di Kandanghaur, Indramayu. Dari sana, Iwa dan kawannya melanjutkan perjalanan menuju rumah kakaknya yang lain di Cirebon.
“Kami sama-sama menyadari bahwa OSVIA tidak sesuai dengan jiwa kami. Lebih dari itu, kami tidak sudi untuk menjadi alat Belanda nanti, sesudah kami tamat,” ujar Iwa. “Kami muak terhadap sikap Belanda yang sombong dan berkuasa itu, dan kami lebih muak terhadap sikap orang-orang Indonesia yang sok Belanda, lebih dari orang Belanda totok itu sendiri.”
Baca juga: Dari Sekolah Liar hingga Anarkisme
Iwa tahu jika perbuatannya itu bisa merugikan dirinya. Dia juga telah mengecewakan kedua orang tuanya yang telah berjuang memasukkannya ke sekolah pamong praja tersebut. Tetapi Iwa sudah tidak peduli lagi. Saat itu di benaknya hanya ada keinginan untuk menjauhi Bandung, dengan OSVIA yang tidak dia senangi di dalamnya. Iwa tidak ingin meneruskan hidup yang tidak sesuai dengan kehendak hatinya.
Setelah kurang lebih seminggu tinggal di Cirebon, keberadaan Iwa diketahui orang tuanya. Dia lalu disusul oleh Partadireja, guru bahasa Sundanya di OSVIA. Partadireja membujuk Iwa kembali ke Bandung. Karena bujukan manis sang guru, Iwa akhirnya setuju untuk kembali bersekolah. Kepada pihak OSVIA, kedua orang tua Iwa meminta kebijaksanaan agar mereka memaklumi kondisi Iwa yang masih sangat muda. Permohonan itu dikabulkan: Iwa tidak diberi sanksi.
“Namun tetap saya tidak dapat hidup tentram serta belajar sebagaimana mestinya di OSVIA ini. Pergolakan jiwa semakin hebat dalam pribadi saya. Bagi saya, seolah-olah OSVIA merupakan penjara yang mengungkung saya, saya ingin bebas,” kata Iwa.
Perasaan tidak senangnya semakin hari semakin kuat bergojak di dalam diri Iwa. Dia pun kembali memikirkan cara untuk bisa keluar dari OSVIA. Akhirnya Iwa menemukan cara baru untuk mewujudkan impiannya tersebut. Alih-alih memberontak seperti sebelumnya, dia memilih mengungkapkan seluruh isi hatinya kepada sang ayah bahwa dia tidak ingin berada di OSVIA. Sekolah pamong praja itu bertentangan dengan cita-citanya dan selama berada di sana dia sama sekali tidak merasa senang.
Baca juga: Sekolah Masa Revolusi
Mendengar ucapan tersebut, kedua orang tua Iwa sangat terkejut. Mereka merasa telah menempatkan putranya di tempat terbaik yang akan mendukung masa depannya kelak. Namun setelah Iwa mengutarakan cita-cita dan keinginannya, sang ayah menerima sikap Iwa tersebut. Mereka membebaskan putranya memilih sekolah yang dikehendaki.
Sekira akhir 1916, dengan persetujuan kedua orang tua, Iwa pindah ke Batavia. Dia memutuskan bersekolah di sekolah hukum, Recht School. Telah lama ilmu hukum dan sejarah menarik minat Iwa. Dia akhirnya mencurahkan seluruh kemampuannya di sekolah baru tersebut.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar