D.I. Pandjaitan Bernatal di Tengah Hutan
Pengalaman seorang tentara sewaktu bergerilya. Jauh dari keluarga dan merayakan hari raya dalam belantara.
Virus Corona yang mewabah belakangan hari ini membuat aktivitas masyarakat dunia lumpuh. Penyebarannya begitu cepat sehingga memakan banyak korban jiwa. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkannya sebagai wabah pandemi. Beberapa negara bahkan memberlakukan karantina wilayah (lock down)
Pun demikian di Indonesia. Untuk mencegah penularan, kegiatan di luar rumah tidak diperkenankan. Pemerintah pusat maupun daerah mengimbau masyarakat agar menjalankan aktifitas dari rumah, termasuk belajar, bekerja, dan beribadah. Bagi anda yang ingin menikmati waktu berkualitas bersama keluarga, inilah saatnya.
Di masa revolusi kemerdekaan, berada di rumah berkumpul bersama keluarga adalah kesempatan langka yang sangat mahal. Hal seperti inilah yang dialami Kapten Donald Isaac Pandjaitan ketika Belanda melancarkan agresi militer yang kedua. Waktu itu Pandjaitan menjabat sebagai kepala staf umum yang mengurusi logistik Komandemen Sumatra.
Pada 24 Desember 1948, Pandjaitan mengadakan misi ke Riau. Panglima Komandemen Sumatra Letnan Jenderal Hidayat Martaatmadja menugaskan Pandjaitan mencari senjata untuk persiapan perang gerilya. Pandjaitan disertai beberapa orang stafnya. Mereka antara lain Letnan Pieter Simorangkir, Letnan Sumihar Siagian, Sersan Mayor G.G. Simamora, dan Bustami - Wali Negeri Rao - sebagai penunjuk jalan. Pukul 06.25 pagi, rombongan Pandjaitan berangkat dari Rao, Pasaman, Sumatra Barat.
“Mereka berlima menelusuri jalan tikus, memasuki rimba raya di lereng-lereng Bukit Barisan. Bustami yang mengenal wilayah gawat itu berjalan di depan,” tutur istri Pandjaitan, Marieke Pandjaitan br, Tambunan dalam D.I. Pandjaitan: Gugur dalam Seragam Kebesaran.
Setelah 5 jam menerobos hutan, menuruni lembah, dan mendaki bukit, perjalanan mendekati perkampungan. Setibanya di Kampung Pintu Padang, rombongan Pandjaitan singgah sebentar untuk makan siang. Penduduk menerima dan menjamu mereka dengan baik. Atas sambutan hangat itu, Pandjaitan sekalian mengajak rakyat setempat untuk ikut berjuang dalam perang gerilya. Diterangkannya bagi mereka yang tidak memanggul senjata, dapat menyiapkan makanan dan mengirimkannya ke garis depan. Ajakan Pandjaitan bersambut. istri pemuka setempat memberikan perhiasan miliknya untuk biaya perjuangan. Setelah minta diri dan mengucapkan terima kasih rombongan Pandjaitan melanjutkan perjalanan.
Tujuan selanjutnya Desa Rumbai yang berjarak sekira 36 km dari Pintu Padang. Kurang dari lima jam, mereka sudah sampai. Karena hari telah petang, mereka beristirahat di sebuah kedai yang di atasnya difungsikan sebagai penginapan.
Setelah berbaring hingga pukul 20.45, Pandjaitan belum dapat tertidur. Pandjaitan menyadari bahwa saat itu adalah malam Natal. Sebagai seorang Kristiani, saat demikian lazimnya mengadakan misa diikuti dengan kebaktian di gereja pada keesokan pagi bersama keluarga. Pandjaitan teringat pula dengan istri dan anaknya yang sedang mengungsi pasca agresi.
Baca juga:
Tetiba Pandjaitan bangkit dan mengambil dua buku bersampul hitam: Kitab Injil dan Kidung Pujian. Dia menatap Siagian, Simorangkir, Simamora yang masih terjaga. Ketiganya Kristen. Sementara Bustami yang beragama Islam, sudah tertidur pulas
“Gentlemen,” kata Pandjaitan, “Tidak seorang pun di antara kita yang menduga akan sampai di tempat ini. Hal ini disebabkan oleh panggilan tugas. Justru inilah yang saya sebut sebagai kehendak Tuhan.”
Kendati jauh dari keluarga dan gereja, Pandjaitan membesarkan hati para stafnya. Sebagai wujud syukur, Pandjaitan memimpin mereka melantunkan kidung pujian. Dengan pelan-pelan namun khidmat, mereka melantunkan lagu Malam Kudus. Pandjaitan menutup ibadah itu dengan doa, selanjutnya mereka saling bersalaman. Selamat hari Natal!
Baca juga:
Pagi-pagi tanggal 25 Desember, rombongan Pandjaitan melanjutkan perjalanan menuju Riau. Mereka terjaga dengan tubuh yang lebih segar setelah berisitrahat semalam. Setelah sarapan, mereka berangkat pukul 06.20 pagi.
Menurut Marieke perayaan Natal 1948 di desa kecil yang dikelilingi oleh hutan belantara itu sungguh amat terkesan di hati Pandjaitan. Dia selalu ingat peristiwa yang sangat mengharukan itu. Di tengah perjuangan gerilya, Pandjaitan menjalani kewajiban terhadap negara dan sekaligus terhadap Tuhan.
“Hari yang suci itu dialaminya selagi bangsa dan negara dalam ancaman penjajahan, apalagi isteri dan anak-anak yang masih kecil tengah dalam pengungsian,” kenang Marieke.
Pandjaitan kelak menjadi Atase Militer Republik Indonesia untuk Jerman Barat. Dia mencapai puncak karier militernya sebagai Asisten IV/Logistik Menteri Panglima AD. Setelah gugur dalam Insiden 30 September 1965, namanya kemudian lebih dikenal sebagai salah satu dari pahlawan revolusi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar