Bung Karno Kemalingan
Sering pulang-pergi Padang-Bukittinggi untuk menertibkan rakyat sekaligus mengorganisir perjuangan kemerdekaan, Bung Karno mengalami nahas di Bukittinggi.
KOTA Padang chaos ketika Bung Karno dan keluarganya tiba di sana pada 26 Februari 1942 setelah melalui perjalanan panjang dari Bengkulu. Penjarahan terjadi di toko-toko yang ditinggalkan pemiliknya. Sebagian penduduk pilih mengungsi. Aparat keamanan kolonial sibuk menyelamatkan diri masing-masing. Pun para serdadu KNIL yang lari pontang-panting alih-alih mempersiapkan perlawanan terhadap pasukan Jepang yang akan datang.
Ketiadaan ketertiban itu menggugah Bung Karno untuk bertindak. Dibantu Woworuntu, kawannya yang dikenal sejak masa pembuangan di Bengkulu, Bung Karno segera mengumpulkan masyarakat di sebuah lapangan dekat sebuah pasar.
Baca juga: Sukarno Menembus Hutan Bukit Barisan
“Saudara-saudara, saya minta kepada saudara-saudara untuk mematuhi tentara yang akan datang. Jepang mempunyai tentara yang kuat. Sebaliknya kita sangat lemah. Tugas saudara-saudara bukan untuk melawan mereka. Ingatlah, kita tidak mempunyai senjata. Kita tidak terlatih untuk berperang. Kita akan dihancurleburkan, jikalau kita mencoba-coba melakukan perlawanan secara terang-terangan. Kita harus mencari kemenangan yang sebesar-besarnya dari musuh ini. Maka dari itu, saudara-saudara, hati-hatilah. Rakyat kita harus diperingatkan supaya jangan mengadakan perlawanan. Walaupun bagaimana, hindarkanlah pertumpahan darah di saat-saat permulaan. Jangan panik. Ketentuan pertama yang diberikan oleh pemimpinmu adalah mentaati orang Jepang. Percaya kepada Allah Subhanahuwata’ala bahwa Ia akan membebaskan kita,,” kata Bung Karno dalam pidatonya sebagaimana dimuat dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Setelah rapat akbar itu Bung Karno mengisi hari-harinya dengan berkeliling mengorganisir kelompok-kelompok perjuangan sembari memberi penerangan kepada penduduk agar tak mengadakan perlawanan ketika Jepang tiba. Seminggu kemudian, penduduk menyambut kedatangan Jepang dengan gempita. Toko-toko yang dibuka paksa oleh pasukan Jepang langsung diserbu penduduk miskin dan dijarahi.
Empat hari kemudian, Bung Karno ke Bukittinggi memenuhi permintaan panglima pasukan Jepang di Sumatra Kolonel Fujiyama. “Di sanalah aku mengadakan pertemuan yang sampai sekarang tidak banyak orang mengetahuinya, akan tetapi sesungguhnya merupakan pertemuan yang maha-penting. Pertemuan yang menentukan strategiku selanjutnya selama peperangan. Pertemuan yang sampai sekarang memberikan cap kepadaku sebagai ‘kolaborator Jepang’,” kata Bung Karno.
Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan kerjasama kedua bangsa. Sebagai bayaran untuk kesediaan Bung Karno bekerjasama guna menertibkan rakyat, Kolonel Fujiyama memenuhi syarat yang diajukan Bung Karno untuk bebas berpolitik memperjuangan kemerdekaan negerinya.
Usai perundingan, Bung Karno makin aktif berkeliling ke berbagai daerah untuk menghimbau massa-rakyat agar tertib sambil terus mengorganisir perjuangan kemerdekaan. Aktivitas itu sepenuhnya dilakukan dengan bantuan rakyat karena hampir semua tawaran fasilitas yang diberikan Jepang ditolak Bung Karno. Kepatuhan rakyat pada Bung Karno membuat Jepang senang sekaligus bingung. Kolonel Fujiyama bahkan bingung Bung Karno bisa memperoleh obat tablet kalsium dengan mudah.
“Yang tidak kusampaikan kepadanya ialah, bahwa di Padang banyak orang Tionghoa punya toko yang bisa mencarikan apa saja kalau mereka mau. Dan kalau untuk Sukarno mereka mau,” sambung Bung Karno.
Jepang bingung Bung Karno bisa dengan mudah memperoleh atau menyediakan banyak hal yang sukar diperoleh Jepang. Saat terjadi kelangkaan beras, Bung Karno berhasil menyediakan berton-ton beras yang dihimpun dari berbagai kalangan masyarakat.
Selain ke daerah-daerah lain, Bung Karno ruitn melakukan perjalanan Padang-Bukittinggi. Selain terkesan pada keindahan alam Bukittinggi, Bung Karno melakukan banyak hal penting di kota pusat pemerintahan Jepang di Sumatera Barat itu. Salah satunya, menyelamatkan Anwar, seorang aktivis kemerdekaan yang ditangkap Jepang karena terlibat sabotase.
Baca juga: Cerita Sedih dari Bukittinggi
Di Bukittinggi pula Bung Karno dan Ibu Inggit pernah mengalami sial. Ketika menginap di rumah kawannya, Munadji, kopor yang dibawanya dicuri maling. “Melayanglah tasku itu, di dalamnya kalung emas kepunyaan Inggit dengan liontin pakai berlian,” kata Bung Karno.
Begitu kejadian tersebut diceritakan Bung Karno kepada Anwar St. Saidi, pendiri Bank Nasional, maka berita pencurian kopor Bung Karno pun menyebar ke seluruh penjuru kota. Para pemimpin masyarakat segera bahu-membahu bersama masyarakat mencari si pencuri. Dua hari kemudian, kopor beserta semua isinya yang dicuri oleh seorang Tionghoa pendatang itu ditemukan ulama setempat. Tapi, menurut Hasjim Ning yang merupakan keponakan Bung Hatta, pencurinya bukan orang Tionghoa sebagaimana dipercaya Bung Karno dan masyarakat.
“Ketika kedaulatan RI telah diakui Belanda, banyak temanku dari Sumatera Barat datang ke Jakarta. Aku tanyai mereka tentang peristiwa pencurian kopor Bung Karno di Bukittinggi pada awal masa pendudukan Jepang itu. ‘Ah, yang mencurinya memang orang awak. Karena malu pada Bung Karno, dikatakan saja yang mencuri itu Cina. Padahal, mana berani Cina di sana menjadi pencuri. Apalagi mencuri milik Bung Karno, seorang pemimpin yang sangat dihormati rakyat itu. Terutama pula, di masa itu orang-orang Cina sedang mati kutu, harta dan jiwanya lagi terancam. Inyik Djambek yang menemukan pencurinya,” kata kawan-kawan Hasjim sebagaimana dikutip Hasjim dalam otobiografinya Pasang Surut Pengusaha Pejuang. “Inyik Djambek itu ialah Syekh Moh. Djamil Djambek. Mertua Ucu Bariah, adik ketiga Bung Hatta.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar