top of page

Sejarah Indonesia

Bung Hatta Dan Orang Kaya Kaya

Bung Hatta dan Orang Kaya-kaya

Di masa pengasingannya, Hatta banyak terbantu oleh keberadaan suku asli Papua.  Hatta juga merasa kagum dengan kemampuan berhitung mereka.

11 Agustus 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Bung Hatta (no 2 dari kiri) ketika berada di Digul, 1935. Sumber: Repro buku Hatta "Memoir"

Dalam sejarah Indonesia, bila ada tokoh yang berniat lama menetap di tempat pembuangan, maka orang itu ialah Bung Hatta. Hal itu bisa diketahui dari barang-barang yang dibawa ketika pemerintah kolonial mengasingkannya ke Boven Digul. Di samping sekoper pakaian, Hatta memboyong serta buku-bukunya sebanyak 16 peti. Perlu waktu tiga hari untuk mengemasnya dari kediaman Hatta di Jalan Sawah Besar, Batavia.


Pada 28 Januari 1935, Hatta tiba di Tanah Merah, Boven Digul, Merauke. Kekhawatiran melanda Hatta waktu akan memulai perjalanan ke tempat pembuangan: bagaimana caranya mengangkut kumpulan buku-buku. Dari kantor pemerintahan setempat ke kampung pembuangan jaraknya sekira 1,5 km berjalan kaki. Tidak terbayangkan betapa melelahkannya jika itu dilakukan secara bolak-balik.


“Seorang anggota Panitia Penerimaan mengusulkan kepadaku, supaya barang-barangku itu diminta tolongkan mengusungnya oleh orang Kaya-kaya (penduduk asli) yang ada disitu yang sudah agak ‘jinak’, yang sebagian sudah  bekerja pada orang buangan,” tutur Hatta dalam Memoir.


Hatta menerima usulan itu. Negosiasi terjalin antara Hatta dengan seorang pemimpin orang Kaya-kaya. Mereka sepakat dengan ongkos yang harus ditanggung Hatta, yakni satu uang kelip untuk tiap-tiap peti. Uang kelip setara dengan 5 sen, berbentuk bundar dan berlobang ditengahnya. Dengan demikian, Hatta pun melanjutkan perjalanan dengan hati tenang bersama dengan orang Kaya-kaya yang menggotong barangnya.  


Kira-kira tengah hari, rombongan Hatta sampai di rumah yang telah disiapkan pemerintah kolonial. Koper dan peti besi tempat buku-buku Hatta juga dibawa ke situ. Di rumah itu sudah menanti Sutan Said Ali bersama istinya Uni Umi. Said Ali seorang Digulis asal Minangkabau yang dikenal Hatta sebagai guru Sekolah Adabiah di Padang pada 1918.


Menurut kebiasaan di Boven Digul, orang Kaya-kaya bekerja pada orang-orang buangan dengan perjanjian tertentu. Kontrak kerja biasanya berlangsung selama dua bulan. Selama bekerja mereka mendapat sehelai kemeja tangan pendek dan celana pendek. Majikan juga harus memberi makan orang Kaya-kaya yang bekerja di rumahnya.


Atas rekomendasi Uni Umi, Hatta dapat mempekerjakan seorang Kaya-kaya sebagai asisten rumah tangga. Pagi-pagi pukul 9 orang Kaya-kaya itu sudah datang dan pulang kembali pada pukul 5 sore. Kerjanya hanya mencuci pakaian dan kadang-kadang membantu menanak nasi. Hatta memberikan separuh dari beras ransumnya beserta ikan asin yang tidak digoreng kepada asistennya itu. Bagi orang Kaya-kaya, ikan asin cukup dengan dibakar saja. Apabila asistennya akan pulang ke hutan, Hatta mengupahnya dengan sehelai baju dan celana pendek serta satu kampak.


“Selama aku di Digul kubelikan juga untuk dia, tiap kali mau pulang, sekilo tembakau,” ujar Hatta.  


Pada akhir tahun, pemerintah kolonial berencana memindahkan Hatta ke tempat pengasingan yang lain, Banda Neira. Lagi-lagi orang Kaya-kayalah yang berjasa menyelematkan “harta” dari kampung pembuangan menuju pelabuhan. Hatta meminta sebanyak 20 orang Kaya-kaya untuk mengotong koper pakaian dan peti-peti bukunya.


Ketika merundingkan biaya angkut, Hatta mendapati kemajuan yang signifikan dalam hitung-hitungan orang Kaya-kaya. Waktu pertama kali tiba di Digul, orang Kaya-kaya mematok ongkos sebesar 5 sen. Ketika Hatta akan pindah ke Banda Neira, orang Kaya-kaya meminta tarif sebesar 10 sen.


“Satu kemajuan dalam pikiran dalam waktu hampir satu tahun,” kenang Hatta. “Dengan segala senang hati kubayar upah yang mereka minta itu.”


Oleh karena itu, rasanya tidak berlebihan kalau mau dikata bahwa ada keringat orang Papua dalam perjuangan Bung Hatta.  

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim dikenal dengan julukan Napoleon dari Batak. Menyalakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda di tanah Simalungun.
Antara Raja Gowa dengan Portugis

Antara Raja Gowa dengan Portugis

Sebagai musuh Belanda, Gowa bersekutu dengan Portugis menghadapi Belanda.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page