Bogem Mentah Leo Wattimena
Begitu sayangnya sang komodor pada P-51 Mustang yang senantiasa diterbangkannya. Dia tidak rela jika ada yang mengusik apalagi mengotori tunggangan tempurnya itu.
Suatu pagi yang cerah di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakumah. Komodor (Udara) Leo Wattimena sedang memanasi pesawat P-51 Mustangnya di pinggir landasan. Namun, kondisi landasan Pangkalan Halim saat itu tidak begitu mulus. Pada pertengahan 1965, salah satu pangkalan udara tertua itu tengah direnovasi. Pengerjaannya meliputi perpanjangan landasan 24 sepanjang 1000 meter dan pengurukan kerendahan tanah setinggi 20 meter. Proyek itu dinamakan Proyek Pringgodani.
“Kami mendapat bantuan sepenuhnya dari Zeni Angkatan Darat berupa truk-truk dan alat-alat berat beserta personil-personilnya,” kata Kolonel (Udara) Wisnu Djajengminardo dalam Kesaksian: Memoir Seorang Kelana Angkasa.
Baca juga:
Wisnu saat itu menjabat sebagai komandan PAU Halim Perdanakusuma. Dia juga merupakan teman baik Leo Wattimena. Mereka seangkatan ketika sama-sama mengikuti sekolah penerbangan di Akademi TALOA, California, Amerika Serikat. Meski keduanya sejawat akrab, namun secara kedinasan, Leo yang menjabat Panglima Komando Operasi (Pang Koops) AURI adalah atasan Wisnu.
Ketika Leo bersiap-siap untuk tinggal landas, tiba-tiba truk tanah melintas. Tidak pelak lagi, tanah dan debu mengotori pesawat Mustang yang akan dikemudikan Leo. Kontan saja pilot tempur berdarah Ambon itu tersulut amarahnya.
Dari dalam pesawat, Leo berteriak memerintahkan agar truk itu berhenti. Leo lantas turun dari kokpit dan dengan geram menghampiri truk yang sudah menepi tersebut. Tanpa pikir panjang lagi, Leo langsung mendaratkan bogem mentah ke wajah sopir truk. Sang sopir yang berpangkat kopral itu mulutnya berdarah. Beberapa buah giginya pun tanggal akibat ditinju Leo Wattimena. Setelah Leo melampiaskan emosinya, Si Kopral malang itu malah ditahan di Pangkalan Halim.
Baca juga:
Insiden pemukulan itu sampai kepada Wisnu yang bertanggung jawab atas keamanan di PAU Halim. Untuk memperoleh penjelasan, Wisnu mendatangi kantor Panglima Koops. Di sana, Wisnu mempertanyakan kelakuan sahabat sekaligus atasannya itu.
“Lee, wat heb je nou weer gedaaan? (Lee, kau bikin gara-gara apa lagi?),” tanya Wisnu.
“Sorry, Nu, saya khilaf. Tolong temui Komandan Zeni untuk minta maaf. Biaya pengobatan akan saya tanggung,” balas Leo.
“Komodor Leo yang harus pergi sendiri dan selesaikan masalah ini,” Wisnu menyanggah.
“Ah, saya kan kostjongen (anak kos) dan kamu kostbaas (induk semang)-nya,” kata Leo berkilah.
Secara administratif, ungkap Wisnu, Pang Koops memang berumah di Pangkalan Halim. Wisnu kemudian memerintah anggota Polisi Angkatan Udara untuk melepaskan si kopral yang ditahan tadi. Dari Halim, Wisnu mendatangi Direktorat Zeni di Jalan Matraman dengan berat hati. Tapi, apa boleh buat. Dia mesti pasang badan agar tidak menimbulkan ketegangan antar matra.
Baca juga:
Semula, Komandan Zeni Kolonel Soeratmo menerima Wisnu dengan muka masam. Namun, setelah melihat Komandan Pangkalan Halim yang menghadap untuk menyelesaikan persoalan, hati sang kolonel melunak juga. “Tolong sampaikan ke Komodor Leo agar tak semena-mena memukul anak buah,” begitu pesannya.
Leo Wattimena dalam Pahlawan Dirgantara: Peranan Mustang dalam Operasi Militer di Indonesia suntingan Soemakno Iswadi, memang diakui sebagai pilot legendaris Mustang yang temperamental. Namun, dibalik pribadinya yang keras, sebetulnya Leo seorang yang menyenangkan.
“Tetap ada sisi halus dalam dirinya”, kata kolega sesama penerbang AURI Marsekal Ashadi Tjahjadi (Kepala Staf AU 1978—1982).
Baca juga:
Penerbangan Terakhir Leo Wattimena
Pesawat Mustang sendiri ibarat cinta pertama bagi Leo Wattimena. Begitu sayangnya sehingga dia tidak rela tunggangan tempurnya itu dijamah apalagi dinodai. Kecintaan itupun kiranya terkilas ketika Leo akhirnya ditugaskan ke Vatikan sebagai duta besar pada 1969. Tiada lagi pesawat andalan yang biasa diterbangkannya dengan manuver akrobatik. Leo menjadi terpukul lantaran harus berpisah dengan pesawat P-51 Mustang.
“Begitu pensiun, ia seperti kehilangan orientasi,” tulis Iswadi.
Sementara itu, meski dirinya sempat dibikin repot oleh ulah Leo yang lepas kendali, relasi pertemanan antara Wisnu dengan Leo tidak pernah berubah. “Sampai akhir hayatnya Leo adalah teman karib saya, Perwira Tinggi ABRI yang pertama menginjakkan kaki di bumi Irian Barat itu,” kenang Wisnu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar