Bambu Runcing Dibilang Pagar
Serba-serbi cerita tentang senjata legendaris dalam revolusi Indonesia.
SJAFTA (92) masih ingat kejadian 70 tahun lalu itu. Di pagi yang dingin, dia bersama 18 orang kawannya mengendap-endap di sebuah bukit hijau dekat perbatasan Cianjur dengan Sukabumi yang mengapit jalan setapak. Tak seorang pun di antara mereka yang memegang senjata api kecuali stengun yang dimiliki Letnan Anwar, sang pemimpin lasykar.
“Kami masing-masing hanya memegang sebilah bambu runcing yang dibuat secara terburu-buru di hutan Caringin (terletak di tenggara Cianjur) malam sebelumnya,” kenang eks anggota Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) itu.
Satu setengah jam baru saja berlalu, saat dari kejauhan tetiba terdengar suara berbicara dalam bahasa Belanda. Rupanya patroli yang mereka tunggu sudah mulai datang; sekitar 9 prajurit berseragam hijau kekuning-kuningan, yang sebagian besar merupakan bule totok. Mereka berjalan tak teratur, dan dalam posisi lengah. Begitu rombongan tersebut melintas di bawah mereka, Letnan Anwar meneriakkan aba-aba untuk menyerbu.
“Serang...!”
Sjafta dan kawan-kawannya langsung berloncatan. Dalam hitungan detik, darah pun menyembur diiringi teriakan beringas para gerilyawan bersanding dengan jeritan panik para serdadu yang rata-rata seusia. Sjafta sendiri berhasil menusuk lambung seorang serdadu hingga tewas di tempat. Bisa dikatakan, penghadangan itu sukses besar: sembilan serdadu musuh tewas dan semua senjata berhasil dirampas oleh pasukan Letnan Anwar.
Baca juga: Setengah Mitos Bambu Runcing
Di tengah minimnya senjata (sepuluh berbanding satu), para pejuang Republik tidak punya banyak pilihan lain kecuali menggunakan bambu runcing sebagai alat untuk menghadapi musuh mereka. Sebagai senjata, bambu runcing mulai dikembangkan semasa pendudukan Jepang, yang saat itu dikenal dengan sebutan takeyari. Sejatinya bilah bambu ini digunakan untuk menghadang pasukan payung musuh yang diterjunkan dari udara. Tentara Jepang juga melatih laki-laki dan perempuan cara menggunakan takeyari, yang kalau digunakan biasanya dibarengi teriakan keras dan pekik kemarahan.
“Laiknya seorang prajurit tengah menggunakan senapan bersangkur,” tulis R.H.A. Saleh dalam Mari Bung, Rebut Kembali!
Semasa dididik menjadi perwira Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor pada 1944, almarhum Mayor Jenderal TNI (Purn.) Moestopo pernah menjadikan bambu runcing sebagai tema “disertasinya”. Di hadapan para perwira tinggi Jepang, eks pimpinan Pertempuran Surabaya itu berhasil mempertahankan karya tulisnya yang berjudul "Penggunaan Bambu Runcing yang Pucuknya Diberi Tahi Kuda Untuk People Defence dan Attack serta Biological War Fare". Tidak hanya lulus dan menjadi yang terbaik, karyanya ini malah mendapatkan pujian setinggi langit dari militer Jepang saat itu.
Banyak cara yang dilakukan oleh para pejuang Republik untuk menjadikan bambu runcing miliknya “bukan hanya sekadar bambu”. Dalam bukunya yang berjudul Guruku Orang-Orang dari Pesantren, Syaifuddin Zuhri menyebut figur Kyai Haji Subkhi, seorang ulama besar di Parakan, Temanggung yang pada masa revolusi kemerdekaan dijuluki sebagai Kyai Bambu Runcing. Julukan itu muncul karena Kyai Subkhi menciptakan sejenis bambu runcing yang disepuh doa untuk nantinya digunakan para pejuang republik di medan laga.
Uniknya, para petarung yang datang ke Parakan bukan hanya berasal dari kalangan santri. Para laskar yang tergabung dalam barisan kaum kiri juga mendatangi Kyai Subkhi sekadar untuk mendapatkan barokahnya! Di antaranya adalah Barisan Banteng di bawah pimpinan dr. Muwardi, Lasykar Rakyat dibawah pimpinan Ir. Sakirman (tokoh PKI) dan Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) di bawah pimpinan Krissubbanu.
Baca juga: Pak Oerip Nyaris Terkena Ranjau
Selagi menjadi kepala Kepala Staf Komandemen I TKR Jawa Barat pada 1946, Kolonel A.H. Nasution pernah memiliki kisah lucu terkait bambu runcing ini. Pada suatu hari, dia berkesempatan menemani Kepala Staf Umum Markas Besar Tentara (MBT) Letnan Jenderal TNI Oerip Soemohardjo melakukan inspeksi ke Resimen XIII di wilayah Tanjungsari, Sumedang.
Begitu rombongan Pak Oerip sampai di lapangan, serentak komandan pasukan berteriak:
“Hormat senjataaa...!”
Namun, bukan bedil yang diangkat melainkan bambu runcing. Pak Oerip membalas sikap hormat itu dengan khidmat layaknya seorang komandan tertinggi. Namun, sambil berjalan memeriksa barisan pasukan bambu runcing tersebut, Pak Oerip masih sempat berbisik dalam nada gurauan kepada Nasution: “Nas, kamu suruh aku periksa pagar bambu ya?” demikian kisah Nasution dalam bukunya Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid III.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar