Arief Sopir Bung Karno
Kisah persahabatan seorang sopir taksi dengan Presiden RI.
DI luar politisi, tokoh pergerakan dan pengusaha, mungkin hanya Arief orang terdekat dari Presiden Sukarno. Sebagai supir pribadi Bung Karno, Arief terlihat tidak pernah merasa canggung jika berhadapan dengan sang presiden, dalam situasi apapun. Kedekatan itu terlihat nyata jika keduanya sedang terlibat suatu pembicaraan.
“Saya sendiri belum pernah melihat Bung Karno marah kepada Pak Arief…” ujar H. Mangil Martowidjojo, ajudan setia Presiden Sukarno sejak 1945.
Baca juga: Kisah Seorang Pengawal Sukarno
Dalam buku Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967, Mangil berkisah, pada sekira akhir 1945 Bung Karno mengunjungi Garut dan berpidato di Lapangan Cisurupan. Begitu selesai, Bung Karno langsung menaiki mobilnya namun tetiba turun kembali karena didapatinya Arief belum ada di belakang setir. Dia lantas menyuruh beberapa ajudannya untuk mencari Arief.
Beberapa menit kemudian, Arief datang diiringi para ajudan. Dengan tenang dia kemudian masuk ke bagian depan mobil dan setelah semua rombongan berada di dalam mobil, Arief pun perlahan menjalankan kendaraan tersebut.
“Rif, kau dari mana saja?” tegur Bung Karno.
Alih-alih merasa gugup, dengan tenang Arief menjawab pertanyaan sang presiden: “Dari ngopi,Tuan. Habis mulai pagi, saya belum minum kopi. Ajudan tidak ngurusi saya. Dan saya kalau belum ngopi, bisa ngantuk di jalan dan bisa kecelakaan. Di dalam mobil, saya yang tanggungjawab sama Tuan, bukan pengawal. Pengawal kan (bertanggungjawab) kalau ada bahaya serangan, itu baru tugas pengawal.”
Mendapat jawaban panjang lebar dari Arief, Bung Karno pun diam seribu bahasa. Namun sesampai di Jakarta, Bung Karno secara tegas memerintahkan kepada para ajudan untuk selalu memperhatikan semua sopir yang mengikuti konvoi.
Baca juga: Berdiri di Atas Mobil Sendiri
Dalam perjalanan lain, Bung Karno merasa terganggu dengan suara berisik yang berasal dari badan mobil. Padahal semua orang tahu, jika sebuah mobil dinaiki oleh Bung Karno maka tidak boleh sama sekali ada suara berisik. Sang presiden bisa ngomel-ngomel.
“Rif, ini apa yang berisik?” tanya Bung Karno.
“Mobilnya, Tuan,” jawab Arief kalem.
“Kenapa tidak kau cari yang berisik itu dan kau betulkan?”
“Dicari sih sudah, Tuan. Tetapi belum ketemu. Orang namanya besi beradu sama besi, ya tentunya berisik sekali, Tuan.”
Mendapat penjelasan dari Arief, Bung Karno pun tidak lagi rewel.
*
Arief memang tidak satu atau dua tahun mengenal Bung Karno. Dia sudah bergaul rapat dengan Si Bung sejak dirinya masih berprofesi sebagai supir taksi pada 1930-an di Batavia. Bahkan bisa dikatakan, taksi yang dikemudikan Arief adalah langganan Bung Karno jika dirinya tengah berkunjung ke Gang Kenari, kediamannya tokoh pergerakan asal tanah Betawi: Husni Thamrin.
Awal-awal mengantarkan Bung Karno ke Gang Kenari, Arief tadinya mengira Si Bung adalah seorang sinyo yang sedang berkunjung ke rumah pacarnya. Namun lambat laun dia tahu bahwa tujuan langganannya itu ke Gang Kenari adalah untuk menjumpai Husni Thamrin.
Baca juga: M.H. Thamrin Bukan Sekadar Nama Jalan
“Tentunya pemuda tampan itu juga adalah seorang tokoh pergerakan,” pikir Arief seperti tertuang dalam buku Menyingkap Tabir Bung Karno karya Anjar Any.
Begitu seringnya Bung Karno menggunakan jasa Arief, hingga muncul keakraban di antara keduanya. Tak jarang sepanjang perjalanan Stasiun Gambir-Gang Kenari, Bung Karno bercerita tentang situasi politik terkini dan betapa tamaknya kekuasaan kolonial mengeksploitasi tanah Hindia. Di sepanjang perjalanan itu pula, Arief yang lugu jadi mengenal apa itu marhaenisme, kejamnya kapitalisme dan bengisnya imperialisme. Juga soal betapa perlunya orang-orang Hindia bangkit menjadi bangsa yang merdeka.
“Kita harus sadar bahwa kita ini bukan bangsa tempe, Arief…” ujar Bung Karno pada suatu perjalanan ke Gang Kenari. Arief mangut-mangut, sementara Si Bung terus berceloteh tentang kedegilan pemerintah Hindia Belanda.
Dan tak terasa taksi sudah mencapai Gang Kenari. Pintu mobil dibuka dan Bung Karno pun keluar. Dia kemudian menjulurkan sebagian kepalanya ke dalam mobil lewat kaca jendela depan. Sambil tersenyum dia berkata: “Rif, biasa…Ngutang dulu ya…”
“Nggak apa-apa, Bung. Lalu besok dijemput?”
“Ya besok dijemput juga di tempat ini. Jangan lupa besok pun masih ngutang lagi,” ujar Bung Karno seraya menepuk pundak Arief.
“Bung jangan berkata itu terus. Bikin malu saja.Sampai besok pagi, Bung!” kata Arief sambil menjalankan mobilnya lagi menuju Stasiun Gambir.
*
Pagi sekali, Arief sudah menyusuri jalanan Batavia yang masih sepi. Bukan menuju Stasiun Gambir tempat dia biasa mangkal, tapi langsung ke Gang Kenari. Namun betapa terkejutnya Arief saat sampai di sana, orang-orang membicarakan penangkapan langganannya itu malam tadi oleh polisi. Entah mengapa, mendengar berita itu, Arief merasa sedih. Ketika dia sibuk mencari rezeki untuk kepentingan perut sendiri, seorang pejuang yang memperjuangkan nasib bangsanya, harus meringkuk di dalam penjara. Demikian Arief merenung.
Baca juga: Sang Orator Keluar dari Penjara
Sejak itu, Arief tak pernah lagi bertemu dengan Sukarno. Dari selentingan berita, dia mendengar pemuda tampan yang dikaguminya itu sudah meninggalkan tanah Jawa. Ya Gubernur Jenderal B.C. de Jonge tanpa ampun membuang sahabatnya itu ke tanah Ende di Pulau Flores, demi membuat Hindia Belanda tidak berisik oleh celotehannya di atas podium.
*
Beberapa tahun kemudian. Suatu malam, ketika militer Jepang baru saja berkuasa, seorang lelaki jangkung datang ke rumahnya. Di depan pintu dia tersenyum lebar sambil menyorongkan tangannya ke arah Arief.
“Apa kabarnya, Rif?” katanya.
Arief baru sadar bahwa itu adalah Sukarno. Dengan gembira dipeluknya lelaki yang usianya tak begitu jauh dari dirinya itu. Sukarno hanya tertawa. Sukarno lantas secara singkat mengisahkan cerita hidupnya selama menghilang dari tanah Jawa. Tak lupa dia pun melunasi seluruh utang-utangnya kepada Arief.
“Sekarang, apakah kamu mau bekerja dengan saya?” kata Bung Karno.
Singkat cerita, Arief menyanggupi ajakan sahabat lamanya itu. Dia kemudian menjadi sopir pribadi Bung Karno dan ikut terlibat dalam arus revolusi bangsanya, termasuk saat dia menyediakan sebatang bambu untuk mengerek bendera Merah Putih pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada 17 Agustus 1945.
Sejak itulah, Arief tak pernah berpisah lagi dengan Si Bung. Suka-duka dilaluinya bersama-sama. Hingga pada 1960, dia menyatakan kepada sahabatnya itu bahwa dirinya tidak sanggup menyopir lagi. Sebagai bentuk rasa terimakasih, Presiden Sukarno kemudian menghadiahi Arief untuk pergi haji. Demikianlah sejumput kisah Arief, sopir pribadi sekaligus sahabat setia Bung Karno.
Baca juga: Saat Pengawal Kepergok Sukarno Curi Sawo
Tambahkan komentar
Belum ada komentar