Ahmad Yani dalam Seragam PETA
Masa pendidikan Ahmad Yani di PETA sarat ulah dan akal-akalan jenaka. Suatu ketika ia kena batunya.
MELETUSNYA Pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar pada 14 Februari 1945 mengubah situasi di semua daidan alias batalyon. Hampir semua perwira muda PETA berpangkat shodancho (komandan kompi, red.) ke atas dicurigai Jepang. Ahmad Yani dan Sarwo Edhie dua di antaranya.
Pemberontakan para serdadu PETA di Daidan Blitar pimpinan Shodancho Supriyadi 76 tahun lampau memang akhirnya kandas. Sejumlah pelakunya ditangkap hingga dieksekusi. Beberapa di antaranya dinyatakan hilang secara misterius, termasuk Supriyadi.
Ketika peristiwa itu meletus hingga dinetralisir Jepang, nyaris semua daidan di Jawa Tengah dan Jawa Barat belum mengetahuinya. Jepang menerapkan isolasi agar satu daidan dengan daidan lainnya yang tersebar dari Jakarta hingga Jawa Timur tak saling berhubungan. Maka pemberontakan PETA di Blitar, Cimahi, dan Cilacap pun tak terdengar daidan-daidan di kota-kota lain. Hanya beberapa perwira muda PETA yang menginsyafinya lewat sejumlah gelagat aneh Jepang di markas-markas mereka.
“Pada saat pemberontakan PETA Blitar meletus, seluruh Daidan dijaga, dikonsinyir oleh Jepang selama dua hari. Kepada para perwira diajukan pertanyaan-pertanyaan oleh Jepang dalam usahanya menjaga sikap anggota-anggota PETA,” tulis tim Dinas Sejarah Militer dalam Sedjarah TNI-AD Kodam VII/Diponegoro.
Baca juga: Di Balik Patung Jenderal Ahmad Yani
Ahmad Yani dan Sarwo Edhie juga termasuk di antara perwira PETA yang ditanyai. Keduanya akhirnya dimutasi dari Prembun ke Bogor, markas PETA tempat awal mereka ditempa satu setengah tahun sebelumnya. Memutasi beberapa perwira PETA menjadi salah satu langkah preventif Jepang agar peristiwa serupa tak terulang.
“Yani, Sarwo Edhie dan Sudarmadji kembali (ditempatkan) ke Bogor dan diwajibkan belajar bahasa Jepang lagi. Belakangan mereka sadari sebenarnya ketiganya termasuk orang-orang yang dicurigai Jepang. Karena perkembangan itu seluruh satuan PETA dilucuti dan Yani dan kawan-kawannya mendapat tugas untuk menjaga asrama-asrama PETA (Bogor) tanpa peluru,” kata Amelia Yani mengisahkan pengalaman ayahnya, mendiang pahlawan revolusi Jenderal Ahmad Yani, semasa berseragam PETA dalam Profil Seorang Prajurit TNI.
Kisah Lucu Ahmad Yani di Markas PETA
Kala Jepang masuk Indonesia pada 1942, hidup Ahmad Yani ikut berubah. Ia yang sebelumnya baru menyelesaikan pendidikan topografi di Topografische Dienst di Malang, tak bisa melanjutkan sekolahnya lagi di AMS B (Algemeene Middelbare School, afdeling B) di Batavia.
Maka setelah pulang kampung ke Purworejo, Ahmad Yani tak punya pilihan selain melanjutkan pendidikannya ke institusi-institusi yang didirikan Jepang. Jawa Boei Gyugun Kanbu Renseitai, semacam sekolah pendidikan militer di Magelang, jadi pilihannya pada pertengahan 1943. Sekolah itu juga dimasuki Sarwo Edhie dan Raden Mas Soesalit Djojoadhiningrat, putra tunggal Raden Adjeng Kartini.
Di sana, pemuda Yani mendapat pelatihan fisik dan latihan yang bersifat akademik. Mengetik dengan mesin tik salah satunya. Demi melancarkan keterampilannya di mesin tik, Yani kursus mengetik di sanggar ARTI di Purworejo. Di sini pula Yani berkenalan dengan Yayuk Ruliyah Sutodiwiryo, perempuan yang kemudian dinikahinya.
Baca juga: Aneka Olahraga Jenderal Ahmad Yani
Dari Renseitai, Ahmad Yani didaftarkan untuk ditempa lagi sebagai calon perwira berpangkat shodancho di Bogor pada Oktober 1943 bersama sekira 100 jebolan Renseitai Magelang, termasuk Sarwo Edhie. Di Bogor, Yani berkenalan dengan banyak pemuda yang kelak jadi petinggi TNI di masa perjuangan, seperti Zulkifli Lubis yang datang dari Renseitai Cimahi.
“Selama pendidikan shodancho berjalan, regu bapak dinilai oleh pelatih Jepang maupun kawan-kawannya lebih maju daripada yang lain. Sebagai bekas Renseitai dan regunya dinilai cukup baik, regu Yani tak lagi ikut merangkak dalam latihan fisik tetapi lebih sering jadi pembantu pelatih. Biasanya memerankan kelompok musuh dan saat menunggu latihan serangan kepada kelompok Yani, dipakai untuk mencari kopi. Saat siswa menyerbu, regu Yani sudah menghabiskan kopi mereka semua,” sambung Amelia.
Baca juga: Nasihat Menjelang Pemberontakan PETA Blitar
Anekdot lain datang dari kerapnya Yani memanfaatkan “reputasinya” sebagai salah satu calon perwira terbaik dari penilaian Jepang dengan sejumlah aksi akal-akalan demi mengisi perutnya. Aksi itu dilakukannya karena jatah makan di markas selalu dibatasi Jepang.
“Biasanya pada malam hari, apabila dapur sudah dikunci, Yani gemar mencuri roti yang besar dan keras, namanya roche brood, yang ditaruh di bakul bambu di ujung dapur, jauh dari pintu. Untuk mengambilnya harus pakai galah. Yani selalu berhasil mengambilnya tetapi tak pernah tertangkap atau ketahuan,” ujar mantan duta besar RI untuk Bosnia dan Herzegovina tersebut.
Yani dikenal kawan-kawan seasramanya sebagai orang yang langganan kelayapan ke luar markas tanpa izin Jepang. Itu dilakukan Yani dengan lompat pagar. Sebagai imbalan tutup mulut buat kawan-kawannya, Yani selalu membawakan “buah tangan” berupa singkong atau pisang goreng.
Yani dan kawan-kawannya baru kena batunya tepat sehari sebelum dilantik untuk kelulusan pendidikan mereka. Kisahnya berawal dari hilangnya arloji milik Tresno, kawan Yani. Kejadian yang dianggap memalukan itu berujung pada hukuman berjaga semalam suntuk bagi seluruh peleton.
Baca juga: Cerita dari Museum PETA
Untuk menanggulangi serangan kantuk, Yani dan kawan-kawannya mengakalinya saat sedang tidak diawasi serdadu Jepang. Dalam kurun waktu tertentu, setiap kawannya akan bergantian bergantian untuk terjaga agar yang lain bisa tidur. Akal-akalan itu akhirnya terpergok gegara kecerobohan Yani.
“Tiba giliran Yani kira-kira pukul tiga pagi. Yani sambil tiarap di pinggir tempat tidurnya, menungging mengintip dari celah bawah pintu, kalau-kalau melihat ada kaki (serdadu) Jepang lewat. Celakanya saat pengawas Jepang lewat, Yani ternyata tak memberi aba-aba apapun. Tentu saja mereka harus mengulangi hukuman berat, saling menempeleng satu sama lain. Setelah pengawas pergi, seluruh peleton menggerutu: ‘Sopo sing jogo mau (siapa yang giliran jaga tadi)?’ Yani menjawab: ‘Aku! Tapi turu (tapi tidur)!’” lanjut Amelia.
Keesokannya, mereka tetap dilantik di Lapangan Gambir dan resmi menyandang pangkat shodancho. Shodancho Yani kemudian ditempatkan ke Daidan Prembun (Kebumen), membuatnya bisa dekat lagi dengan kekasihnya, Yayuk, di Purworejo. Keduanya kemudian menikah pada 5 Desember 1944.
“Tentu saja Yani tidak melapor karena ada peraturan bahwa seorang shodancho dalam kurun waktu tertentu belum boleh menikah. Oleh karenanya pada 6 Desember subuh Yani sudah harus meninggalkan pengantin barunya,” tambah mantan politikus Partai Hanura tersebut.
Namun, kehidupan Shodancho Yani di Daidan Prembun justru lebih memprihatinkan ketimbang saat masih di asrama PETA Bogor. Situasi Jepang yang makin pelik di Perang Pasifik berimbas pada minimnya jatah makanan layak bagi para perwira PETA.
“Keadaan ekonomi juga merosot terus. Tentara PETA di Prembun mulai hanya memakai baju sobek-sobek. Hem (kemeja) putih di dalamnya tinggal kerahnya saja. Makan pagi biasanya berupa bubur lem atau kanji. Hanya makan siang dan malam mereka mendapat nasi. Sekali-sekali mereka mendapat jatah ayam goreng. Supaya ayam goreng Yani tidak dicuri temannya, biasanya diidoni disik (diludahi dulu) supaya tak ada yang tega mencurinya,” tandas Amelia.
Baca juga: Supriyadi, Menteri Pertahanan yang Hilang
Tambahkan komentar
Belum ada komentar