Menelusuri Jejak Chairil Anwar di Ibukota
Mencoba mencari langkah Si Binatang Jalang di Jakarta. Mungkin raganya sudah pergi namun karyanya masih terus menginspirasi setiap sudut kota ini.
Lahir dan besar di Medan, Sumatra Utara, penyair legendaris Chairil Anwar punya ikatan kuat dengan Ibukota Jakarta. Di kota inilah, ia memulai perjalanan abadi menjadi penyair yang mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Pada 2022 ini, karya-karyanya kembali digaungkan di mana-mana sebagai peringatan seratus tahun kelahirannya.
Chairil Anwar lahir pada 26 Juli 1922. Pada usia 19 tahun, ia datang ke Jakarta, yang kala itu masih bernama Batavia. Di Jakarta, Chairil menumpang di rumah pamannya, Sutan Sjahrir, di Jalan Dambrink (kini Jalan Latuharhary) Nomor 19.
Chairil tak perlu waktu lama untuk menyesuaikan diri dan menemukan tempatnya di antara teman-teman baru, terutama ketika bicara soal kesenian. Chairil sering berkunjung ke Pasar Senen yang mana kala itu adalah tempat berkumpul dan berdiskusi para seniman, antara lain Ajip Rosidi dan Misbach Yusa Biran. Nama Chairil Anwar masih hidup di daerah ini.
“Wah buku tentang Chairil yang Aku ini masih jadi salah satu buku paling laku dan dicari saat ini. Semua mau beli ini, mulai dari mahasiswa sampai pekerja,” kata Binsar (68), penjual buku bekas di Terminal Senen ketika ditemui Historia.ID belum lama ini.
Binsar juga mengisahkan, dirinya masih sering mendengar orang bercerita soal Chairil di Pasar Senen. Menurut Binsar, Chairil dikenal sebagai orang yang mudah bergaul dengan siapa saja.
“Walau aku enggak pernah ketemu dia, tapi cerita dia banyak beredar di sini. Dia itu dulu sering nongkrong di deket gelanggang sampai pagi. Preman sini juga menghargai dia. Itulah hebatnya seniman, bisa bergaul sama siapa saja. Mungkin itu kenapa sajaknya itu seperti dekat dengan kami, selalu membangkitkan semangat kelas bawah untuk berjuang di kehidupan,” terang pria yang sudah berdagang di Pasar Senen sejak tahun 1982 ini.
Chairil juga meninggalkan jejak di Pasar Baru. Kawasan pasar yang dibangun pada 1820 ini menjadi inspirasi Chairil, yang dituangkan dalam puisi "Cerita". "Cerita" menggambarkan para pengunjung Pasar Baru, yang bergaya tetapi menyimpan keresahan.
Chairil dikenal dengan penampilan yang urakan dan mulut yang ceplas-ceplos khas seniman. Walau begitu, Chairil memiliki kharisma yang membuatnya memiliki penggemar, tentu saja termasuk penggemar dari kaum perempuan. Chairil pun punya kisah asmara dengan salah satu penggemarnya, yang bernama Sumirat. Mereka bertemu di Pantai Cilincing pada 1943, yang kala itu dikenal sebagai tempat rekreasi banyak orang.
“Sumirat sangat tertarik pada kemauan keras Chairil yang tidak mengenal lelah. Chairil juga membuat sajak di mana pun tempatnya. Kertas-kertas penuh dengan tulisan tangannya. Selain itu, Sumirat suka dengan sikap masa bodoh Chairil ketika berada di tengah keramaian seperti Pantai Cilincing,” tulis Purnawan Tjondronagoro dalam artikel “Chairil Anwar Meminang Calon Istri Setelah Ketemu di Cilincing.”
Dalam perjalanannya, Chairil yang semakin mengenal Batavia mulai memasukan berbagai unsur kota ini ke dalam sajak-sajaknya. Salah satunya adalah trem. Sarana transportasi umum itu muncul dalam sajak berjudul “Aku Berkisar Antara Mereka.”
Kini setelah puluhan tahun terkubur jalur trem satu persatu muncul kembali seiring dengan pembangunan proyek MRT Jakarta. Terakhir jalur trem ditemukan di kawasan Gajah Mada, Jakarta Pusat beberapa hari lalu. Sebuah artefak masa lampau yang hadir kembali seakan ingin ikut merayakan peringatan seratus tahun kelahiran Chairil Anwar.
Lalu ada pula kejadian di Gedung Kesenian Jakarta. Gedung yang sedang direnovasi ini jadi saksi bagaimana renggangnya persahabatan Chairil dengan sastrawan legendaris HB Jassin. Pada 1949, HB Jassin sedang bersiap diri di belakang panggung untuk memainkan naskah teater berjudul "Api" karya Usmar Ismail. Saat ia sedang berkonsentrasi, tiba-tiba munculah tubuh kurus Chairil Anwar dan tanpa basa-basi mencibir Jassin yang mengulas puisinya “Krawang-Bekasi” di majalah Mimbar Indonesia. Karena kesal dicibir soal ulasannya, Jassin langsung melayangkan bogem mentah dan Chairil pun jatuh terpelanting.
Setelah kejadian itu, terdengar kabar bahwa Chairil semakin sering mengunjungi pelukis Affandi di Taman Siswa, Kemayoran. Namun, bukan untuk belajar melukis tapi lebih berlatih angkat besi, untuk memperkuat tubuh supaya bisa membalas dendam kepada Jassin. Pada akhirnya, Jassin justru menjadi orang yang paling menghargai karya-karya Chairil selepas dia meninggal. Banyak peninggalan Chairil baik berupa naskah sajak, foto hingga dokumen penting lainya masih tersimpan di pusat sastra yang didirikan oleh Jassin di Taman Ismail Marzuki (TIM). Bahkan di ruangannya, yang baru selesai direnovasi, masih terpampang lukisan sang sahabat dengan ukuran besar.
Di TIM jugalah Historia.ID bertemu dengan sosok Edy Susanto (45). Pria yang berprofesi sebagai dosen seni ini berhasil meraih juara kedua pada lomba cipta puisi dan esai satu abad Chairil Anwar pada Juli lalu. Esainya yang berjudul Karya dan Sosok Chairil Anwar Menjulang Tinggi di Tengah Problem dan Kontroversi mengupas eksistensi nama besar sosok penyair Chairil Anwar yang berawal dari berbagai kondisi dan situasi yang dipenuhi masalah dan mengundang kontroversial. "Yah, karena dari saya muda, saya sudah tertarik dengan sosok Chairil. Bahasa dalam sajaknya itu luar biasa kuat pengertiannya. Terlepas dari dia itu punya sifat semaunya tapi tidak bisa disangkal bahwa sumbangan dia bagi seni dan sastra bangsa ini sangat besar serta tentu saja meraih piala ini adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya pribadi," tutur Edy.
Usai bercerai dengan Hapsah sekitar tahun 1948, Chairil mengalami penurunan kesehatan. Menurut penulis buku biografi Chairil Anwar, Hasan Aspahani, dalam tubuh sang penyair itu sudah berdiam beragam penyakit sejak lama, mulai dari tifus, sakit paru-paru, hingga infeksi usus. Setelah dirawat selama tujuh hari di Centrale Burgerlijke Zienkenhuis (CBZ), yang sekarang bernama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, tubuh Chairil menyerah. Si Binatang Jalang pun meninggal pada Kamis, 28 April 1949.
Esoknya, Chairil Anwar dikuburkan di TPU Karet Bivak. Bentuk nisannya menjulang seperti pena dan pada batangnya terukir bait “Aku ini binatang jalang. Dari kumpulannya terbuang.”
Ada istilah "seniman pergi meninggalkan karyanya", namun untuk Chairil bukan hanya karya yang ditinggalkan tapi juga semangat perjuangan dalam dunia sastra yang kemudian menjadi sebuah pembaruan dalam dunia syair dan bahasa. Itulah kenapa hingga saat ini puisinya tetap bergema di mana-mana; bukunya masih dicari siapa saja; ia juga diabadikan dalam bentuk patung di Monas. Dan, hari kelahirannya selalu menjadi perhentian banyak orang untuk menengok kembali lembaran-lembaran perenungan Si Binatang Jalang.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar