Kampung Akuarium, Cagar Budaya dan Kehidupan Baru
Cerita tentang kawasan yang dulu menjadi tempat penelitian fauna laut. Kini bersiap menjadi hunian warga.
Jakarta Utara termasuk salah satu wilayah perdagangan tersibuk di Jakarta. Di sini ada Pelabuhan Sunda Kelapa dan Tanjung Priok. Sunda Kelapa berkembang sejak abad ke-16, sedangkan Tanjung Priok bergeliat memasuki masa kolonial Belanda abad ke-19. Selain perdagangan, aktivitas keilmuan juga tumbuh di wilayah ini.
Catatan sejarah menunjukkan adanya aktivitas keilmuan di Jakarta Utara. Di Kampung ini pernah berdiri Visscherij Station (Stasiun Perikanan). Penggagasnya bernama Dr. J.C. Koningsberger, kepala laboratorium Zoologi Pertanian di Kebun Raya Bogor. Didirikan pada Desember 1905, bangunan Visscherij Station ini awalnya berukuran kecil dan semipermanen.
Chandrian Attahiyat, arkeolog Universitas Indonesia, mengatakan kepada historia.id bahwa Visscherij Station berkembang pesat dalam 15 tahun. Perkembangan ini menuntut perbaikan dan perluasan bangunan Visscherij Station. Sepanjang 1919–1922, pemerintah Hindia Belanda membangun ulang Visscherij Station.
Setelah rampung, nama Visscherij Station berganti menjadi Laboratorioum voor het Onderzoek der Zee disingkat LOZ. LOZ kemudian lebih dikenal dengan sebutan Aquarium karena memiliki akuarium yang terbuka untuk umum sebagai tempat rekreasi.
Pada 1955, nama LOZ berubah menjadi Lembaga Penyelidikan Laut (LPL). Nama LPL berubah menjadi Lembaga Oseanologi Nasional (LON) di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 1970. Tujuh tahun kemudian, LON-LIPI pindah kantor.
Gedung lama LON pun terbengkalai. Daerah sekitarnya jadi tak bertuan. Orang-orang dari berbagai latar belakang mendudukinya dan membangun permukiman.
“Saya pertama kali datang ke sini tahun 1994. Tidak jelas ini tanah siapa. Banyak nelayan yang membangun bangunan tinggal di sini, termasuk saya. Hingga sekarang,” ujar Rohim (60), warga setempat.
Kian hari, daerah Aquarium kian padat. Hingga muncullah sebutan Kampung Akuarium. Untuk mengatasi masalah sosial dan kekumuhan di daerah ini, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menggusur permukiman ini pada 2016. Tapi Gubernur Anies Baswedan membangun kembali permukiman di sini melalui rumah susun. Bahkan pelatakan batu pertama sudah dilakukan pada 17 Agustus 2020.
Baca juga: Saat Jakarta Sunyi karena Pendemi
Pro-kontra pun mengalir. Sebab wilayah ini termasuk dalam Kawasan Cagar Budaya. Para penentang pembangunan rusun berpendapat tidak seharusnya Kawasan Cagar Budaya dibangun tempat tinggal. Sebaliknya para pendukung kebijakan ini berpendapat, penetapan Kawasan Cagar Budaya bukan berarti tak boleh ada pembangunan permukiman.
Perdebatan tentang pemanfaatan Kawasan Cagar Budaya bukan hal baru di kota ini. Saat ini mungkin yang paling tepat adalah menemukan titik temu. Seperti kata Wasiyem (59), salah satu warga yang sudah hampir 20 tahun hidup di sana. “Saya berharap kami dapat hidup berdampingan dengan cagar budaya. Saling menjaga dan tidak menggusur satu sama lain.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar