Dihantam Pandemi Bali bak Kota Mati
Cerita ketika Bali diluluhlantakkan oleh pandemi. Kawasan yang dulu ramai kini sepi dan sunyi.
Sudah hampir delapan bulan virus corona melanda dunia. Selama itu pula semua berjibaku mengatasi virus yang pertama kali terdeteksi di Wuhan, Tiongkok, pada akhir 2019. Hampir semua sektor kehidupan terhantam corona. Salah satunya pariwisata. Ini bikin repot negara yang mengandalkan pariwisata sebagai sumber devisa seperti Indonesia.
Hingga saat ini, Bali menjadi primadona industri pariwisata di Indonesia. Tiap tahun, jutaan wisatawan datang ke Bali. Saking terkenalnya, para wisatawan asing lebih mengenal Bali daripada Indonesia.
Daya tarik Bali adalah fenomena lampau. Provinsi yang juga terkenal dengan kopinya ini sudah menjadi primadona sejak dulu kala. Pintu masuk bagi orang asing terbuka lebar saat Bali dikuasai oleh Belanda pada awal abad ke-20.
Baca juga: Awal Mula Pariwisata di Indonesia
Kapal Dagang Belanda (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) yang berlayar dengan rute Surabaya singgah ke pelabuhan Buleleng, Bali, dengan membawa rombongan turis dari Eropa. Karena permintaan untuk berlayar ke Bali meningkat, maka jalur pelayaran diubah menjadi Bali Express. Mereka juga membangun perwakilan resmi untuk pariwisata pertama di Bali bernama Official Tourist Buerau pada 1924.
Para pelancong dari negeri Barat lekas terkesan dengan panorama alam Bali dan kehidupan masyarakatnya. Buat mereka, Bali jadi surga yang jatuh di bumi Timur. Begitu tenteram dan eksotik. Ritme kehidupan berjalan lambat. Setiap saat adalah ritual. Sesuatu yang tak mereka dapatkan di Eropa.
Baca juga: Pesona Wisata Pulau Dewata
Kesan itu kemudian cepat menyebar ke seluruh dunia. Para pelancong lain pun berdatangan. Seniman, pelukis, penulis dan sutradara film menyinggahi Bali untuk merasakan berkarya dan berlibur di Bali. Mereka menikmati keindahan dan keunikan alam Bali, kemudian turut serta mempromosikan Bali. Begitulah pesona Bali terus mengalir.
Namun, Bali saat ini ibarat putri cantik yang tertidur. Bali ikut terhantam Covid-19. Pariwisata rontok. Kafe dan restoran tutup. Bandara I Gusti Ngurah Rai yang menjadi gerbang utama dan selalu ramai, kini tampak sepi. Jalan Legian yang biasanya begitu padat, saat ini berubah lengang. Keadaan serupa pun tampak di Seminyak.
Baca juga: Letusan Gunung Agung dan Pariwisata Bali
Sepanjang jalan Kuta yang biasanya dipenuhi oleh ribuan wisatawan asing dan lokal, kini kosong. Pedagang merugi. Toko-toko buka, tapi tak ada pembeli. Pengusaha ambruk. Hotel mengobral tarif menginap, tapi kamar-kamar jauh dari penuh. Bahkan tak jarang hanya menyisakan petugas keamanan untuk menjaganya.
“Wah ini sudah hampir 75 persen ruginya. Penjualan toko saya, tak pernah sampai separah ini,” ujar Wayan (48), seorang warga yang membuka toko baju khas Bali di pinggir jalan raya Kuta.
Baca juga: Di Balik Lambatnya Kasus Covid-19 di Bali
Walau pernah diguncang terorisme, Bali tak pernah tidur lama seperti ini. Para wisatawan asing yang terpaksa tetap tinggal di Bali pun merasakan kesulitan keuangan. “Yang sekarang mulai banyak itu ‘bule’ makan di warung-warung, tidak di tempat mahal-mahal lagi,” ujar Kadek (35), sopir transportasi daring yang biasa mengantar turis asing.
“Untuk saat ini, bisa makan saja sudah bagus di Bali,” lanjutnya. Orang-orang di sana berharap pandemi segera berakhir agar semua kembali seperti sediakala. Ekonomi pulih dan putri cantik itu bisa terjaga lagi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar