Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah
Tugu Romusha di Bayah jadi pengingat bab sejarah getir romusha. Ironisnya kini sudah roboh.
PEDESTAL berbalut cat hitam itu masih bertahan. Tidak seperti bangunan persegi setinggi kira-kira dua meter di atasnya yang, sayang, sudah tumbang. Pecahan keramik putih yang menyelimutinya bertebaran di ilalang sekitarnya.
Masyarakat sekitar menyebutnya Tugu/Monumen Romusha. Letaknya di tepian Jalan Raya Bayah-Malingping, tak jauh dari SMPN 1 Bayah, Banten. Disebut tugu peringatan karena dikatakan masyarakat setempat, situs itu merupakan bekas salah satu kuburan massal romusha.
"Iya (itu) Tugu Romusha. Saya di sini sudah 33 tahun, tugunya sudah ada," ujar Cucu Sulastri, warga setempat, kepada Historia, Jumat (19/1/2024).
Monumen itu masih berdiri tegak saat Historia menyambanginya, Kamis (18/1/2024) sore. Akan tetapi ketika kembali menengoknya sehari berselang, Jumat (19/1/2024), situs itu sudah roboh. Cucu yang memiliki toko pakan hewan di samping situs itu menduga badai hujan ekstrem sejak petang kemarin jadi penyebabnya.
"(Tumbang) kira-kira jam 4 pagi. Mungkin karena hujan angin gitu. Soalnya kan tidak ada (terjadi) gempa," imbuhnya.
Baca juga: Monumen Sukarno Resmi Berdiri di Aljazair
Ironisnya kala mendatangi situs itu sebelum roboh, kondisinya memang sangat tidak terawat. Jangankan terawat, prasasti yang menerangkan identitas dan latar belakang sejarahnya pun sudah hilang. Belum lagi ilalang lebat yang menyelimuti sekelilingnya dan anak tangganya dan kondisi bendera merah-putih di pucuk bangunan itu sudah lusuh dan rusak di tepian kainnya.
Padahal situs merupakan satu-satunya pengingat paling jelas soal sejarah kelam romusha atau pekerja paksa zaman pendudukan Jepang (1942-1943) di pesisir selatan Banten. Menurut rekan seprofesi yang kampung halamannya tak jauh dari Bayah, memorabilia lain sisa romusha sudah hilang seiring zaman, di antaranya jejak rel keretaapi Bayah-Saketi dan stasiun kecilnya sebagai sarana angkut eksploitasi batubara.
Informasi lain juga menyebutkan terdapat sumur dan kuburan massal romusha serta gua bekas tambang batubara di Pantai Pulo Manuk yang berlokasi tujuh kilometer dari situs monumen itu. Sayangnya tidak ada tanda-tanda keberadaannya ketika Historia melacaknya ke pantai yang sudah jadi destinasi wisata itu. Hanya saung-saung yang bertebaran untuk pengunjung semata sepanjang mata memandang di segenap bibir pantai berkarang tersebut.
Baca juga: Monumen yang Ternoda
Bung Karno dan Tan Malaka di Antara Romusha
Tanah di Bayah diketahui kaya akan batubara sudah sejak era kolonial. Sebuah perusahaan partikelir sudah mendapat izin untuk membuka tambangnya sejak 1903, kendati hingga Jepang menduduki Pulau Jawa pada April 1942, tambang itu tak kunjung dibuka. Kekayaan alam yang potensial untuk bahan bakar fosil itu pun jatuh ke tangan Jepang.
"Bayah waktu itu merupakan pusat eksploitasi tambang batubara. Pasokan kebutuhan batubara untuk Pulau Jawa yang sebelumnya dipasok dari Sumatera, terhenti karena operasi militer pasukan Sekutu," tulis Yudi Latif dalam Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan.
Guna keperluan eksploitasi cadangan batubara yang kala itu diperkirakan hingga 20 juta ton itu, Jepang lebih dulu membuat infrastrukturnya berupa jalur keretaapi Bayah-Saketi sepanjang 89 kilometer beserta stasiun kecilnya. Namu amat disayangkan, nyaris tidak ada sisa yang tertinggal. Untuk kebutuhan mendesak pembangunan jalur itu, Jepang mendatangkan puluhan ribu romusha dari Jawa Tengah dan Jawa Timur via ajakan tokoh nasionalis Sukarno alias Bung Karno yang mengetuai Poesat Tenaga Rakjat (Poetera). Pembangunannya dimulai medio 1943 dan selesai pada Maret 1944.
"Setidaknya sekitar 30.000 pekerja (romusha) membangun jalan keretaapi ini. Banyak yang tewas karena malaria dan kekurangan makanan," imbuhnya.
Baca juga: Awal Mula Tambang Batubara
Bung Karno tidak hanya memandori proyek yang banyak memakan korban itu. Tetapi juga ikut menyisingkan lengan baju sebagai pekerja bernomor lengan "970". Belakangan ia menyesalinya.
"Dalam kenyataannya, aku-Soekarno-yang mengirim mereka pergi bekerja. Ya, akulah orangnya. Aku menyuruh mereka berlayar menuju kematian. Ya, ya, ya, ya akulah orangnya. Aku membuat pernyataan untuk menyokong pengerahan romusha," aku Bung Karno dalam otobiografinya yang dituliskan Cindy Adams, Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia.
Saat jalur keretanya sudah rampung, eksploitasi batubaranya pun dimulai. Pemerintah militer Jepang memberi konsesinya kepada perusahaan swasta Bayah Kozan milik keluarga pebisnis Sumitomo. Namun di samping itu, kondisi para romusha di tambang batubara juga tidak lebih baik dari mereka yang menderita di proyek pembangunan keretanya.
"Ribuan orang (romusha) tewas selama operasi penambangan di Bayah yang saat itu terkenal dengan wabah kudis, disentri, dan malaria," sambung Yudi.
Sementara Jepang yang menikmati hasilnya. Diperkirakan Jepang mengeruk 300 ton batubara per harinya.
Baca juga: Romusha di Seberang Lautan
Penderitaan puluhan ribu romusha itu turut jadi perhatian aktivis kiri, Tan Malaka, yang kebetulan menjadi pekerja di pertambangan itu. Dengan nama samaran Iljas Hoessein, Tan berangkat dari Jakarta setelah melihat sebuah pengumuman lowongan kerja juru tulis yang dilihatnya usai ke perpustakaan. Tan lalu melamar dan diterima. Sebagai juru tulis di Bayah Kozan, Tan diam-diam menyusup dan berbaur dengan para romusha di pertambangan tersebut.
Tan nyaris tak pernah berdiam di belakang meja. Ia lebih sering "blusukan" ke beberapa situs tambang di dekat Pantai Pulo Manuk untuk menilik lebih dalam kondisi para romusha. Beberapa kali pula ia mencatat data kematian, yang tertinggi mencapai 500 jiwa per bulannya.
Acapkali ia juga menyebar nasihat di antara para romusha akan pentingnya menjaga kesehatan demi menekan angka kematian. Saking ibanya, kadang Tan Malaka juga merelakan upahnya untuk dibelikan makanan tambahan kepada mereka yang sering kekurangan makanan. Para romusha itu diupah dengan sangat memprihatinkan: 40 sen per hari dan 250 gram beras.
Inisiatif lainnya, sebagaimana disingkap buku Cerita Pilu Korban Kerja Paksa Romusha Jepang, adalah dengan menggalang pemuda setempat untuk mendirikan beberapa dapur umum dan rumahsakit darurat. Itu ia lakoni karena usulannya kepada Jepang untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja berkali-kali menemui jalan buntu.
"Kita dapat mempraktikkan rasa tanggung jawab terhadap golongan bangsa Indonesia yang menjadi korban militerisme Jepang," tukas Tan Malaka dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara.
Baca juga: Batik Romusa dari Banten Selatan
Tambahkan komentar
Belum ada komentar