Tugas Negara Harry Tansil
Dipenjara karena kasus cek kosong, Harry Tansil melarikan diri ke Hong Kong dengan alasan tugas negara. Jejaknya diikuti anaknya, Eddy Tansil.
Indonesia dilanda krisis ekonomi sekitar tahun 1965–1966. Inflasi tinggi membuat pemerintahan Presiden Sukarno di ujung tanduk. Kala ekonomi sedang memburuk itu, Tan Tek Hoat, pemilik bank swasta malah membuat kekacauan.
Tan Tek Hoat datang ke Indonesia dari Cina daratan pada 1930-an. Pada zaman Hindia Belanda itu, dia hanyalah penjaga toko “Wie Hong Liong” di Makassar yang khusus menjual onderdil sepeda dan becak. Dari sinilah kemudian naluri bisnisnya berjalan. Mula-mula dia menjual sepeda bekas. Tatkala datang era sepeda motor, dia berinisiatif menjadi importir motor merek DKW. Pemasarannya sukses.
“Tan Tek Hoat lantas merambah dunia perbankan, dengan mendirikan Bank Benteng,” tulis majalah Gama, Juni 1999.
Gama menerangkan, pada 1960-an Tan Tek Hoat sudah dikenal sebagai saudagar kaya di Sulawesi Selatan. Ketika itu dia sudah memiliki Bank Benteng Republik Indonesia (BBRI) dan Bank Pembangunan Sulawesi. Bank yang terletak di persimpangan Jalan Nusantara dan Jalan Timor di tengah kota Ujungpandang itu berhasil meraup banyak nasabah. Namun, dia malah melakukan kejahatan perbankan.
Di tengah krisis ekonomi, Tan Tek Hoat membagi-bagikan cek kosong kepada koleganya dan sering menggunakan akad kredit palsu. Dia pun berperan dalam melemahkan perekonomian era Sukarno itu.
Baca juga: Jejak Setiawan Harjono dalam Bank Aspac
Kasus cek kosong Tan Tek Hoat langsung ditangani oleh pemerintah pusat. Buletin Djembatan Kawanua, 1 September 1966, melaporkan perkara cek kosong yang menghebohkan itu, yang meliputi ratusan juta rupiah telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta sejak tahun 1953. Dalam pemeriksaan tahap pertama, orang-orang yang mengedarkan cek kosong sudah divonis: Chiu Hun Sin (hukuman mati), Siauw Njan Min (15 tahun penjara), dan Tan Tjiong Tok (hukuman seumur hidup).
Selanjutnya, pada 18 Agustus 1966 Hakim Sutidjan dalam sidang Pengadilan Negeri Jakarta memvonis Tan Tek Hoat, general manajer BBRI, đengan sembilan tahun penjara karena terbukti mengedarkan cek kosong. PT BBRI sendiri divonis hukuman denda Rp30 juta dan seluruh milik BBRI dirampas oleh negara. Sementara itu, Indra D. Pontoan, presiden direktur BBRI, dinyatakan bebas karena tidak terbukti mengedarkan cek kosong. Sebelum diputus bebas, Indra telah ditahan selama 26 bulan.
Tan Tek Hoat ditahan di Penjara Khusus Glodok, Jakarta. Namun, dia kemudian melarikan diri. Berita Yudha, 20 Oktober 1966, memberitakan, menurut direksi BBRI dalam likuidasi, Tan Tek Hoat telah kabur ke Hong Kong pada 4 Oktober 1966 menumpang pesawat Garuda dengan nomor penerbangan 902. Dia kabur berbekal identitas paspor Republik Indonesia No. 0906105/JKT yang dikeluarkan di Jakarta pada 25 September 1966. Padahal dia warga negara asing berkebangsaan Republik Rakyat Tiongkok.
Pihak yang mengerluarkan paspor lalu angkat bicara. Berita Yudha, 25 Oktober 1966, menyebut Direktur Jenderal Imigrasi Widikdo Soedikman memberi keterangan bahwa paspor itu memang dikeluarkan kantor imigrasi karena “Tan Tek Hoat dipergunakan oleh suatu unit operasional resmi untuk menjalankan tugas negara”.
Atas dasar “tugas negara” ke luar negeri itu, Dirjen Imigrasi menyetujui pembuatan paspor warga negara Indonesia untuk Tan Tek Hoat. Paspor itu dikeluarkan Kantor Imigrasi Jakarta Kota.
Baca juga: Kasus Bank Vanuatu di Indonesia
Tidak jelas apa sebenarnya “tugas negara” Tan Tek Hoat di Hong Kong. Namun, yang jelas Ketua Presidium Jenderal TNI Soeharto menyampaikan kepada wartawan bahwa “Tan Tek Hoat telah digunakan oleh KOTI untuk tugas negara”. KOTI adalah Komando Operasi Tertinggi.
“Demikianlah kisah orang asing yang telah dijatuhi hukuman itu berhasil lolos ke luar negeri,” sebut mingguan Pembina tahun 1966.
Tan Tek Hoat kembali ke Indonesia pada 15 Oktober 1966. Begitu dia datang, paspornya dicabut kembali.
Pada masa Orde Baru, Tan Tek Hoat kembali ke jalannya menjadi pebisnis. Anaknya, Tan Tjoe Hong atau Tan Tju Fuan merintis usaha sebagai agen tunggal pemegang merek Bajaj pada awal 1970-an. Perusahaannya, Tunas Bekasi Motor merakit kendaraan bermotor teknologi India itu di Tambun, Bekasi.
Baca juga: Gaya Kabur Koruptor dalam Sejarah
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Kelakuan Tan Tjoe Hong mengikuti jejak bapaknya. Dia merugikan negara sebesar Rp1,3 triliun dalam kasus kredit macet Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Kasus itu menyeret para pejabat yang memberi katebelece untuk melancarkan kreditnya. Kakaknya, Tan Tjoe Hin, pemilik Bank Harapan Sentosa, juga terpidana seumur hidup kasus korupsi BLBI Rp1,7 triliun.
Tan Tjoe Hong divonis 17 tahun penjara. Namun, pada 4 Mei 1996, dia melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur.
Achmad Arnold Baramuli (1930–2006), anggota DPR Fraksi Karya Pembangunan dan anggota Komnas HAM, agak terkejut dengan kasus itu.
“Lho, ini kan anaknya Harry Tansil alias Tan Tek Hoat. Bapaknya dulu pemilik Bank Benteng. Saya tahu, karena sama-sama dari Makassar, jadi saya tahu kasusnya, sebab saya waktu itu Jaksa Tinggi Sulawesi. Insting saya lantas bilang, wah ini keluarga sudah nggak beres semua. Jangan-jangan, kali ini juga kembali nggak beres lagi,” kata Baramuli dalam Baramuli Menggugat Politik Zaman.
Tan Tjoe Hong alias Eddy Tansil hingga kini belum tertangkap. Interpol telah mengeluarkan red notice yang menetapkanya sebagai buronan internasional. Sementara kakaknya, Tan Tjoe Hin alias Hendra Rahardja melarikan diri ke Australia dan meninggal dunia di sana pada 2003.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar