Tanam Paksa Periode Terburuk Penjajahan Belanda
Survei Historia.id dan De Volkskrant menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menganggap tanam paksa merupakan periode terburuk penjajahan Belanda.
Hasil survei mengenai persepsi penjajahan Belanda di Indonesia oleh Historia.id dan harian Belanda De Volkskrant, menunjukkan bahwa tanam paksa merupakan periode terburuk dalam penjajahan Belanda. Survei ini diadakan pada 17 Agustus–16 September 2021.
Dalam survei yang melibatkan 1.604 responden dari 34 provinsi ini, 37.97% responden memilih tanam paksa sebagai sistem yang paling menyengsarakan rakyat.
“Belanda mengambil seluruh kekayaan alam yang ada di Indonesia serta melakukan penindasan dengan melaksanakan tanam paksa,” tulis salah satu responden.
Baca juga: Mencari Titik Temu Dua Sudut Pandang Sejarah
Setelah tanam paksa, 32.04% responden memilih kekerasan militer Belanda pada perang kemerdekaan 1946–1949 sebagai periode terburuk dalam penjajahan Belanda. Disusul dengan 11.16% responden yang memilih pembunuhan massal di Pulau Banda pada 1621. Sementara penaklukkan Aceh dan wilayah lain pada abad ke-19 dipilih 9.60% responden.
Di luar empat periode di atas, 9.23% responden menjawab bahwa hampir keseluruhan masa penjajahan Belanda sama buruknya. Beberapa responden juga menambahkan daftar “dosa” Belanda seperti rasisme, kerja paksa, hingga meninggalkan mental korup pasca-kolonialisme.
Sistem Tanam Paksa
Tanam paksa atau cultuurstelsel merupakan sistem perkebunan yang diinisiasi oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch (1830–1834). Sistem ini merupakan bentuk eksploitasi tanah pedesaan Jawa untuk memaksimalkan komoditas-komoditas seperti kopi, tebu, dan indigo.
Menurut sejarawan Dennys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 1, dalam sistem tanam paksa, setiap desa harus menyisakan seperlima dari lahan suburnya untuk pemerintah kolonial. Dan setiap petani dewasa, harus meluangkan seperlima waktu kerjanya.
“Namun sering perbandingan itu tidak dipatuhi, lahan yang digunakan untuk menanam indigo, kopi, dan tebu kerap kali lebih luas, dengan mengorbankan lahan persawahan,” tulis Lombard.
Untuk menjalankan sistem ini, Van den Bosch memberikan bonus dan insentif untuk mengerahkan para bupati Jawa. Para bupati bertugas mengawasi penanaman, panen, hingga pengangkutan. Bosch hanya perlu sejumlah kecil pegawai administrasi Belanda.
Sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern menyebut bahwa sistem tanam paksa sebenarnya sederhana. Desa-desa Jawa memiliki kewajiban membayar pajak tanah (land rent). Namun, karena pemungutan pajak yang biasanya berupa uang tunai ini tak berjalan lancar, maka sistem tanam paksa dijalankan untuk menggantikan pembayaran pajak tersebut.
Yang jelas, tanam paksa telah memberikan keuntungan yang besar bagi Belanda. Bahkan sejak 1831, anggaran belanja kolonial sudah seimbang. Utang-utang lama VOC juga dapat dilunasi.
“Uang dalam jumlah besar dikirim ke negeri Belanda; dari tahun 1831 hingga tahun 1877, perbendaharaan negeri Belanda menerima 832 juta florins (f.),” tulis Ricklefs.
Tokoh Paling Diingat
Periode panjang tanam paksa tampaknya menjadi salah satu periode yang paling diingat sepanjang penjajahan Belanda. Beberapa responden menyebut kekayaan hasil tanam paksa dan juga rempah-rempah pada periode sebelumnya berhasil membangun kemegahan Belanda di Eropa.
“Negara Belanda beserta kanal-kanalnya untuk mencegah banjir dibangun dari kerja keras tanah jajahan seperti tanam paksa dan monopoli rempah tanpa memperdulikan kondisi masyarakat tanah jajahan. Perilaku mengeruk kekayaan ini menciptakan kematian penduduk lokal dan menciptakan kelaparan serta gizi buruk,” tulis salah seorang responden.
Ricklefs menyebut, pendapatan Belanda dari tanam paksa memang membuat perekonomian Belanda stabil. Utang-utang dilunasi, pajak-pajak diturunkan. Pembangunan kubu pertahanan, terusan, dan jalan kereta api negara juga menggunakan keuntungan dari pemerasan desa-desa di Jawa.
“Ironisnya, dana-dana tersebut juga digunakan untuk membayar ganti rugi kepada para pemilik budak guna memerdekakan kaum budak Suriname. Amsterdam sekali lagi menjadi pasar dunia yang penting bagi hasil bumi daerah tropis, khususnya kopi dan gula,” tulis Ricklefs.
Sistem tanam paksa juga bertalian dengan Van den Bosch sendiri. Dalam survei nama Van den Bosch menempati salah satu posisi teratas dalam daftar tokoh Belanda yang paling dikenal setelah Herman Willem Daendels, Eduard Douwes Dekker, dan Jan Pieterszoon Coen.
Baca juga: Tanam Paksa Dorong Penelitian Pangan
Tanam paksa berangsur-angsur dihapuskan karena perdebatan politik di Belanda yang digaungkan oleh kalangan liberal. Ricklefs mencatat, penghapusan itu dimulai dari komoditas-komoditas paling tidak menguntungkan: lada pada 1862; cengkih dan pala pada 1864; nila, teh, dan kayu manis pada 1865; dan tembakau pada 1866. Kopi dan tebu, komoditas paling menguntungkan, dihapus dari sistem tanam paksa paling akhir.
Undang-Undang Gula tahun 1870 menetapkan bahwa pemerintah akan menarik diri dari penanaman gula selama 12 tahun, mulai 1878. Dalam praktiknya, penghapusan penanaman kopi baru berakhir pada awal 1917. Bahkan di beberapa daerah pesisir utara Jawa, baru pada Juni 1919.
Lombard menyebut, koloni Belanda yang lebih besar datang setelah pembukaan Terusan Suez pada 1869. Perdagangan juga menjadi lebih mudah. Kopi, tebu, dan indigo mulai tergeser oleh tanaman karet, tembakau, hingga kelapa sawit. Eksplorasi timah di Bangka-Belitung serta minyak bumi juga mulai berjalan.
“Cultuurstelsel sedikit demi sedikit ditinggalkan, dan digantikan oleh sistem perkebunan swasta,” tulis Lombard.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar