Sejarah Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS
Pandemi corona menyebabkan nilai tukar rupiah jatuh. Dalam sejarahnya, rupiah melemah karena berbagai masalah.
Pandemi Covid-19 berdampak pada perekonomian Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sempat jatuh dari tingkat Rp13.000-an ke Rp16.000-an per dolar AS selama minggu terakhir Maret 2020. Pelemahan ini berkait dengan sikap pesimistis pelaku bisnis dan ekonomi terhadap kebijakan pemerintah Indonesia dalam menangani Covid-19.
Untuk meyakinkan kembali pelaku bisnis dan ekonomi, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan sejumlah stimulus ekonomi. Bank Indonesia turut melengkapinya dengan kebijakan di bidang moneter untuk memperkuat rupiah. Hasilnya, rupiah menguat kembali pada perdagangan Jumat, 27 Maret 2020. Bank Indonesia berupaya menjaga stabilitas rupiah demi mendukung keseimbangan perekonomian nasional di tengah pandemi Covid-19.
Dalam rentang sejarah, menjaga nilai rupiah susah-susah gampang. Masalah nilai rupiah bukan hanya saat terlalu rendah, tapi juga ketika ia bisa terlalu tinggi (over-valued) terhadap mata uang lain. Ini bergantung pada situasi yang dihadapi dan sistem nilai tukar yang diterapkan.
Indonesia tercatat kali pertama menggunakan sistem kurs tetap, tak lama setelah merdeka. Sistem ini muncul dari pertemuan 44 negara di Bretton Woods, AS, pada Juli 1944. Melalui pertemuan ini, negara-negara peserta pertemuan sepakat mengaitkan nilai mata uangnya kepada dolar AS. Sebab mereka tidak punya cadangan emas memadai untuk menjaga nilai mata uangnya.
Baca juga: Awal Mula Indonesia Mengutang Pada IMF
Inilah awal periode banyak negara menggantungkan nilai tukarnya pada dolar AS, termasuk Indonesia. Sedangkan AS mengaitkan nilai mata uangnya pada emas tersebab mereka memiliki cadangan emas yang cukup untuk menjaga nilai mata uangnya.
Kurs tetap mensyaratkan adanya cadangan devisa terkontrol suatu negara. "Dengan pengontrolan devisa, maka ruang gerak pelaku pasar untuk menyerang nilai tukar dapat dibatasi," catat Iskandar Simorangkir dan Suseno dalam Sistem dan Kebijakan Nilai Tukar.
Tapi saat itu Indonesia baru merdeka. Cadangan devisa masih sedikit dan uang beredar sangat banyak. Bukan hanya dari sisi nominalnya, tapi juga dari jenis mata uangnya. Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) harus bersaing dengan mata uang Hindia Belanda dan Jepang. Perdagangan valuta asing pun belum ada sehingga masalah utama pemerintah bukanlah ruang gerak pelaku pasar.
Kurs Tetap
Keadaan tadi membuat pemerintah harus menerapkan sistem nilai tukar tetap untuk mempermudah transaksi. "Sebagai dasar penukaran, di Pulau Jawa dan Madura ditetapkan f.50 (uang Jepang) sama dengan uang satu rupiah ORI, sedangkan bagi daerah di luar Pulau Jawa dan Madura: f.100 (uang Jepang) disamakan dengan satu rupiah ORI," ungkap Oey Beng To dalam Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1945–1958).
Perang selama periode revolusi (1945–1949) telah merusak stabilitas ekonomi, menyebabkan gangguan produksi, distribusi, perdagangan, dan menghantam aktivitas ekonomi lainnya. Kebutuhan perang mendorong pemerintah mencetak uang lebih banyak.
Harga barang menjadi mahal. Inflasi pun naik. Nilai tukar ORI kelewat tinggi sehingga ikut membuat harga barang ekspor terlalu mahal. Alhasil penjualan ekspor menurun. Imbasnya devisa kian berkurang.
"Sebagai satu langkah untuk mengatasi permasalahan ekonomi tersebut, dari sisi kebijakan nilai tukar, pemerintah pada 7 Maret 1946 mendevaluasi nilai tukar rupiah sebesar 29,12% dari Rp1,88 per dolar AS menjadi Rp2,65 per dolar AS," ungkap Iskandar dan Suseno. Devaluasi adalah kebijakan pemerintah menurunkan nilai mata uang terhadap mata uang asing.
Baca juga: Negara Baru, Utang Baru
ORI tak bertahan lama di pasaran. Stabilitas nilainya sulit dipertahankan. Pemerintah berkeputusan menarik ORI pada Maret 1950 dan menggantinya dengan uang baru. Ini seiring bergantinya bentuk negara dari negara kesatuan menjadi serikat atau federal sejak Desember 1949.
Bersama keluarnya uang baru, pemerintah menerapkan nilai tukar rupiah sebesar Rp3,80 per dolar AS. Secara umum, keuangan pemerintah belum membaik. Bahkan hingga kembali menjadi bentuk negara kesatuan, defisit anggaran terus terjadi. Cadangan devisa jauh dari harapan. Uang beredar justru makin banyak.
"Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah kembali mendevaluasi nilai tukar rupiah pada Februari 1952 sebesar 66,7%, yaitu dari sebesar Rp3,80 menjadi Rp11,40 per USD," tambah Iskandar dan Suseno.
Selanjutnya pemerintah bergerak menerapkan nilai tukar mengambang untuk pelaku ekonomi tertentu pada 20 Juni 1957. Keputusan ini bertujuan menghidupkan kembali ekspor di sejumlah bidang seperti perkebunan.
Nilai tukar mengambang meminimalkan peran pemerintah dalam menentukan besaran nilai mata uang domestik terhadap mata uang asing. Penentuannya terletak lebih besar kepada kekuatan pasar melalui mekanisme permintaan dan penawaran terhadap mata uang itu sendiri. Tetapi secara umum, Indonesia masih menerapkan nilai tukar tetap di banyak bidang usaha ekonomi.
Baca juga: Rupiah Lumpuh, Sukarno Jatuh
Indonesia mengubah sistem nilai tukarnya saat memasuki awal era Orde Baru. Masa ini rezim Orde Baru berhasil memangkas angka inflasi dari 635% pada 1965 menjadi 9,90% pada 1969. Penurunan angka inflasi membuat perekonomian menjadi lebih stabil. Saat itulah pemerintah mengeluarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Repelita memuat targetan pemerintah dalam banyak bidang. Salah satunya berupa stabilitas ekonomi dengan menambah devisa melalui kebijakan pro modal dalam negeri dan luar negeri. Juga beragam upaya untuk meningkatkan angka ekspor. Tapi masalahnya laju inflasi Indonesia masih tergolong tinggi dibandingkan dengan negara mitra dagang utama.
Kurs Mengambang Terkendali
Tingginya laju inflasi berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah yang kelewat tinggi terhadap dolar AS. Ini sangat mengganggu rencana pemerintah meningkatkan ekspor sebab harga barang ekspor akan naik dan mahal. Akibatnya negara mitra dagang mencari barang lebih murah.
Selain itu, sistem kurs tetap warisan pertemuan Bretton Woods pun mulai ditinggalkan negara mitra dagang Indonesia. Sebab sistem kurs tetap rentan mengganggu neraca perdagangan. Pertimbangan itulah yang membuat pemerintah menempuh kebijakan berbeda terhadap sistem nilai tukar
Baca juga: Riwayat Masuknya Modal Asing Ke Indonesia
Karena itu, pemerintah menerapkan nilai tukar mengambang terkendali. Artinya, pemerintah hanya ikut campur bila nilai tukar rupiah bergerak melebihi batas atas dan batas bawah. Interval antara kedua batas ini disebut rentang intervensi. Di rentang inilah campur tangan pemerintah diperlukan.
"Penentuan nilai tukar sangat penting karena mempengaruhi perkembangan neraca perdagangan. Karena neraca perdagangan merupakan sebagian besar dari neraca pembayaran, maka perkembangan neraca perdagangan juga mempengaruhi kedudukan neraca pembayaran," catat Iskandarsjah dalam "Sistem Moneter Indonesia Menganut Kurs Mengambang yang Terkendali", termuat di Mencari Bentuk Ekonomi Indonesia: Perkembangan Pemikiran 1965–1981.
Pemerintah berharap keseimbangan nilai tukar rupiah akan terjaga melalui mekanisme pasar sehingga membuat harga ekspor turun. Dan pada gilirannya, itu akan meningkatkan angka ekspor yang berujung pada penambahan devisa.
Baca juga: Deregulasi, Cara Orde Baru Mengerek Pertumbuhan Ekonomi
Tapi perekonomian Indonesia menghadapi ujian berat pada dekade 1980-an. Harga minyak dan gas (migas) dunia jatuh. Padahal perekonomian Indonesia sejak 1970-an bertumpu pada ekspor migas. Kejatuhan harga minyak mempengaruhi cadangan devisa Indonesia. Dalam keadaan tipis devisa, pemerintah kesulitan untuk ikut campur jika nilai tukar rupiah menjadi terlalu tinggi terhadap dolar AS.
Maka seiring kebijakan deregulasi berbagai sektor ekonomi sejak 1983, pemerintah mendevaluasi nilai tukar rupiah untuk meningkatkan daya saing barang ekspor di luar migas. Melalui dua kali devaluasi pada 30 Maret 1983 dan September 1986, nilai rupiah turun sebesar 38 persen dan 45 persen. Langkah ini terbukti berhasil menggairahkan sektor ekspor. Arus modal asing pun turut meningkat.
Kurs Mengambang Bebas
Stabilitas nilai tukar rupiah berlangsung hingga Juli 1997. Saat itu Rp2.350 seharga satu dolar AS. Selepas Juli, keadaannya mulai berubah. Nilai tukar rupiah mengalami penurunan akibat mekanisme pasar (depresiasi).
"Pemicunya adalah Thailand ketika pada 1996 kepercayaan investor asing tergerus oleh penurunan tajam pertumbuhan ekspor, terutama ekspor sektor padat karya serta membesarnya defisit transaksi berjalan," ungkap Thee Kian Wie dalam "Krisis Ekonomi Indonesia Pada Pertengahan 1960-an dan Akhir 1990-an: Suatu Perbandingan", termuat dalam Dari Krisis ke Krisis.
Para spekulan ikut bermain dalam depresiasi ini. Depresiasi Baht kemudian menular ke mata uang Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Filipina, dan akhirnya Indonesia.
Pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menahan depresiasi. Tapi semuanya gagal. "Pada pertengahan Januari 1998 rupiah jatuh menjadi Rp17.000 per dolar AS, hanya sepertujuh dari nilai sebelum krisis," lanjut Thee.
Untuk mencegah cadangan devisa habis karena menahan depresiasi, pemerintah akhirnya mengubah sistem kurs mengambang terkendali menjadi mengambang bebas. Sistem kurs ini berlaku hingga sekarang.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar