Pedir Kaya Jual Merica
Pedir salah satu kerajaan pedagang di Aceh. Rempah juga diperdagangkan di sini.
SORE 21 Juni 2024 ini, KRI Dewaruci sedang berada di sekitar Sigli dan terus berpacu menuju utara. Gelombang laut terus menerus membuat kapal berayun-ayun. Ayunan itu berpotensi menggoncang isi perut manusia yang berada di atasnya. Bagi anggota Angkatan Laut, mabuk laut adalah hal menusiawi. Muntahan yang terbuang ke laut kerap disebut “kasih makan ikan” di sini.
Sigli adalah sebuah kecamatan sekaligus pusat dari Kabupaten Pidie. Selain sejarah perdagangannya, di daerah inilah konon harta karun Portugis Flor de la Mar hilang.
Daerah Pidie tentu punya sejarah. Pidie terkait dengan Kerajaan Pedir di masa lalu. Dulunya, Pidie disebut sebagai Pedir. Orang Tiongkok menyebutnya Poli. Pedir dikenal karena kerajaannya yang aktif dalam perdagangan. Perairan yang dilewati Dewaruci dalam rangka pelayaran Muhibah Budaya Jalur Rempah (MBJR) ini dulunya adalah jalur perdagangan antar-wilayah, juga mencakup perdagangan rempah.
“Pedir, yang berada di tanah Sumatra, sempat menjadi lokasi yang makmur dan penting bagi perdagangan. Kerajaan ini juga dulunya berkuasa atas semua kerajaan yang disebutkan di atas, Negeri Ayer Labu, Kerajaan Lide, dan Kerajaan Pirada,” catat Tome Pires dalam Suma Oriental.
Berdasarkan catatan Odoardus Barbosa dari Lisabon, William Marsden menulis dalam History of Sumatra, awal abad XVI Pedir memiliki pelabuhan persinggahan yang ramai. Di masa itu daerah Pedir didiami banyak pedagang asing. Dalam setahun, setidaknya lebih dari dua kapal asal Cambay dan Benggala datang berdagang ke Pedir. Selain itu, bisa 20 kapal dari Benua Quelim dan Pedu yang datang mengangkut beras.
“Daerah Pedir terkenal dengan kesuburan tanahnya. Di sana banyak ditanami Padi, sehingga Pedir pada waktu itu terkenal sebagai lumbung beras bagi kerajaan Aceh,” catat Muhamad Ibrahim dkk. dalam Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Pedir merupakan penghasil merica/lada. Lada di sana sudah dibudidayakan sejak abad XV. Di masa kejayaan Kerajaan Pedir, menurut Pires, merica diperdagangkan rata-rata 2.000 hingga 3.000 bahar tiap tahunnya. Bahkan, pernah mencapai 15.000 bahar dalam satu tahun. Charles Ralph Boxer dalam Francisco Vieira de Figueiredo A Portuguese Merchant-Adventurer in South East Asia, 1624-1667 menulis, Portugis di Asia menerapkan satu bahar sama dengan 400 pon atau tiga pikul. Satuan bahar berasal dari Kalkuta, India.
Namun, ada masa perdagangan merica di Pedir menukik, hanya sekitar dua hingga tiga bahar merica saja tiap tahunnya. Kemungkinan besar, karena perang. Menurut catatan Pires, Pedir pernah mengalami perang yang menggangu perdagangannya. Alhasil banyak pedagang luar tak datang ke Pedir.
Kendati begitu, Pedir tak jatuh miskin karena berperang dengan negara tetangganya. Pedir tetap terlihat besar kekayaannya. Pedir dikenal sebagai musuh Kerajaan Pasai. Keduanya sama-sama kerajaan dagang, dengan lada/merica sebagai salah satu komoditas utama. Kesamaan itu agaknya yang menimbulkan persaingan.
Merica adalah rempah-bumbu yang masih utuh. Jika sudah dihaluskan, maka rempah atau bumbu ini sudah disebut lada. Sebagaimana di berbagai daerah lain di Nusantara, lada menjadi sumber kekayaan kerajaan-kerajaan di Aceh.
“(Lada, red.) Bagaimana pun merupakan lambang perdagangan Aceh sejak beberapa abad yang lampau hingga tahun 1920,” catat Muhamad Ibrahim dkk.
Selain lada, menurut Pires, barang dagangan di Pedir yang –juga penghasil sutra– lain adalah emas, sutra putih, dan kemenyan. Untuk emas, Pedir mendapatkannya dari daerah pedalaman Aceh. Sementara, kemenyan didapatkannya dari negeri tetangga. Jadi, ekonomi Pedir tergantung pula pada negara tetangganya. Pedir menggunakan koin timah sebagai uang atau alat tukar perdagangannya.
Seperti kerajaan-kerajaan di Aceh yang lain, Pedir akhirnya menjadi kerajaan Islam. Sultan Pedir perama adalah Muzafar Syah, yang meninggal pada 1429. Sultan keduanya, Ma’ruf Syah, meninggal pada 1511.
Intrik dalam istana tentu juga terjadi di Pedir. Pires mencatat, seorang pemimpin kelompok yang dulu diangkat raja, kemudian menggulingkan anak raja tersebut. Setelah penggulingan itu, anak raja itu mengungsi ke Pasai. Dari catatan Ludovico Barthema (Vartoma) dari Bologna, Marsden menulis bahwa daerah pelabuhan Pedir banyak penduduk Mahometan atau Islam, sementara kaum Pagan ada di pedalamannya.
“Pedir itu Pidie yang sekarang. Sudah pecah menjadi dua kabupaten, Pidie dan Pidie Jaya,” kata Miftah Roma Uli Tua Nasution dari Balai Pelestarian Kebudayaan I Aceh, yang ikut dalam pelayaran MBJR.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar