Njoo Han Siang, Pengusaha yang Tak Disukai Soeharto
Dituduh cukong Soeharto, Njoo Han Siang adalah pengusaha penting era Orde Baru yang "dipinggirkan".
DATANG dari keluarga pedagang di Pecinan Semarang, dia lahir di Yogyakarta tepat pada hari ulang tahun Ratu Wilhelmina, 31 Agustus 1930. Dialah Njoo Han Siang, putra kelima Njoo Gee Tik.
Sehari-harinya, keluarga orangtua Njoo berbahasa Hokkian dan Jawa. Keluarga itu merantau ke Semarang hampir bersamaan dengan kedatangan pasukan Jepang di Jawa, 1942.
Pada 1946, Njoo dikirim ayahnya ke Amoy (kini Xiamen) untuk melanjutkan pendidikan. Tiga tahun kemudian dia pindah ke Hong Kong dan kembali ke Semarang pada 1950. Sambil membantu ayahnya berdagang, dia belajar jurnalistik dengan menjadi wartawan foto freelance untuk Sunday Courier pada masa ini.
“Pada 1954 ia pindah ke Jakarta menjadi wartawan foto majalah Sunday Courier milik Baperki,” tulis Sam Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia.
Baca juga: Liem Sioe Liong Taipan Mie Instan Berpulang
Di ibukota, Njoo bersahabat dengan Adam Malik (salah satu pendiri Antara) dan BM Diah (pendiri harian Merdeka). Namun Njoo tak lama di Sunday Courier. Setelah berbeda pandangan dengan pimpinan Baperki, dia keluar dari media tersebut. Dia keluar bersama PK Ojong –yang kemudian mendirikan Kompas-Gramedia– dan Yap Thiam Hien.
Njoo lalu banting setir dengan terjun ke dunia bisnis. Pada 1958, dia mendirikan PT Delta Baru untuk mencari peruntungan dalam bisnis pelayaran. Ketika itu terjadi kekosongan dalam dunia pelayaran di tanah air karena perusahaan pelayaran Belanda Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM) di Indonesia sudah tak bisa beroperasi dengan lancar akibat nasionalisasi yang dilancarkan pemerintah pada 1957.
Selain di bisnis pelayaran, Njoo juga berbisnis ekspor-impor. Buku Njoo Han Siang: Pertemuan Dua Arus menyebut, Njoo menjadi pedagang ekspor-impor kebutuhan pokok seperti beras dan terigu di bawah bendera CV Krisna yang didirikannya tahun 1959.
Sebagai pebisnis, Njoo tidak membatasi pergaulannya dengan kalangan bisnis semata. Dia bergaul dengan siapapun. Pada 1960-an, Njoo berkenalan dengan Brigadir Jenderal Suhardiman, pimpinan Sentral Organisasi Karyawan (SOKSI), lawan berat dari organisasi buruh yang dekat dengan PKI, SOBSI.
Baca juga: Berpulangnya Probosutedjo Pengusaha Cendana
Perkenalan dengan Suhardiman, yang juga menjadi pimpinan perusahaan PN Jaya Bhakti, itu meningkat jadi persahabatan dan kerjasama bisnis. O.C. Kaligis dalam Kasus-Kasus Perbankan di Indonesia menyebut Njoo bersama Thomas Suyatno dan Suhardiman mendirikan Bank Dharma Ekonomi (BDE) pada 1966. Jaringan bisnis Njoo pun bertambah besar.
Namun, tahun 1966 merupakan masa sulit di tanah air akibat transisi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto. Kondisi itu membuat BDE berkali-kali kena krisis. Pada 1968, bank itu harus ditolong PT PP Berdikari dan pada 1971, dana Bulog nyaris hilang dari bank itu. Bank ini belakangan menjadi bank devisa dengan nama Bank Duta.
Namun, kesulitan dalam bisnis perbankan tak membuat jera Njoo untuk terus menggelutinya. Pada 1968, Bank Umum Nasional (BUN) milik Partai Nasional Indonesia (PNI) sedang bermasalah. Bank ini kemudian diambilalih Njoo. Duduk sebagai direktur utamanya dari 1968-1972, Njoo terus membenahi kinerja BUN. Setelah kinerja BUN baik, Njoo pindah posisi menjadi komisaris dari 1972 hingga 1977. BUN kemudian menjadi bank devisa juga seperti Bank Duta.
Orang seperti Njoo, yang punya kemampuan finansial, pengalaman berbisnis, sekaligus jaringan luas, dianggap penting oleh pemegang kebijakan di pusat. Untuk itu, menurut Rum Aly, Njoo dilibatkan dalam kegiatan Opsus menghadapi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua, yang akan menentukan bergabung-tidaknya Papua dengan Indonesia. Njoo disebut-sebut sebagai “perwira logistik Opsus” dalam Pepera itu. Dari sanalah Njoo kedekatan dengan Aloysius Sugianto, perwira intel Operasi Khusus (Opsus), bermula.
Selain di bidang perbankan, Njoo juga bergerak di bidang bisnis perumahan. Dia mendirikan PT Darmo Permai di Surabaya (1973) dan PT Wai Halim di Lampung (1978) untuk bisnis tersebut.
Kemampuannya dalam bahasa Mandarin membuatnya menjadi penerjemah film Mandarin bersama sutradara Wim Umboh. Dari keterlibatannya dalam bidang perfilman itu Njoo kemudian terjun ke dalam bisnis perfilman. Bersama Kolonel Aloysius Sugianto, Njoo mendirikan PT Inter Pratama Studio Laboratorium (Inter Studio) di Pasar Minggu. Laboratorium film pertama di Indonesia itu menekan ongkos produksi film lokal yang biasanya harus diproses di laboratorium Hongkong atau Australia.
"Saya tidak berambisi besar untuk jadi orang besar dalam dunia film nasional, tetapi saya berambisi membawa film nasional menjadi besar," kata Njoo seperti dikutip Sam Setyautama.
Baca juga: Awal Mula Bisnis Eka Tjipta Widjaja
Film-film yang diproduksi Inter Studio cukup populer dalam jajaran film Indonesia. Dimulai dari film November 1828 (1979), film-film berikutnya yakni Tokoh (1970), Mey Lan Aku Cinta Padamu (1974), Chicha (1976), Duo Kribo (1977) dan masih banyak lainnya. Dunia perfilman itulah yang membuat Njoo berhasil meraih Satyalencana Wirakarya.
Dunia musik yang hampir selalu beriringan dengan dunia film kemudian juga dijajal Njoo. Dirinya ikut andil melahirkan sebuah festival musik bernama Summer 1973. Festival itu menampilkan banyak band Indonesia, semisal Koes Plus. Cikal-bakal band rock God Bless pertama tampil dalam festival itu.
Bisnis film dan musik sama-masa masuk ke dalam bisnis entertainment. Dalam bisnis entertainment, kemudian melebarkan sayap bisnisnya ke bisnis hiburan malam.
“Ia memiliki sebuah kelab malam di kawasan airport Kemayoran bernama Golden Gate,” tulis Rum Aly dalam Menyilang Jalan Kekuasaan Militer.
Baca juga: Cara Eka Tjipta Widjaja Membangun Usaha
Selain hiburan, Njoo Han Siang juga terkait dengan dunia bisnis pendidikan. Dia berjasa dalam pendirian STIE Perbanas. Upaya ini menjadi “pengembaraan” lebih lanjutnya dalam dunia perbankan setelah sebelumnya mendirikan Bankers Club Indonesia sebagai wadah para bankir Indonesia.
Kendati begitu, nama Njoo tak pernah benar-benar sepopuler pengusaha lain –yang juga beretnis Tionghoa– macam Liem Sioe Liong, Prajogo Pangestu, atau Bob Hasan. Mungkin “restu” Cendana menjadi pangkal penyebabnya. Suatu kali, Pangkopkamtip Jenderal Soemitro pernah bertanya ke Presiden Soeharto terkait beberapa pengusaha Tionghoa yang dikenalnya. Ketika nama Njoo Han Siang disebut, Soeharto punya pendapat lain.
“Saya tidak senang sama orang itu,” kata Soeharto seperti diingat Jenderal Soemitro dalam Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar