Menguak Sisi Lain Freeport
Kisah pengalaman Chappy Hakim saat menduduki posisi sebagai presiden direktur perusahaan tambang terbesar di Papua.
PT Freeport Indonesia (PTFI) punya sederet reputasi buruk. Perusahaan asal Amerika ini dikenal sebagai "penjarah" kekayaan alam di Papua lewat eksploitasi pertambangan. Selama setengah abad lebih beroperasi, Freeport terus mendulang laba. Sementara itu, kontribusi bagi masyarakat Papua sebagai tuan rumah tidak begitu kentara. Berbagai media asing bahkan membubuhkan predikat “number one public enemy” kepada Freeport. Benarkah demikian?
“Sangat tidak masuk akal bila PTFI yang dianggap sebagai VOC, neokolonialisme dan lain-lain, predikat buruk melekat di dalamnya, tetapi dapat bertahan lebih dari 50 tahun,” kata Marsekal (Purn.) Chappy Hakim dalam peluncuran bukunya Freeport: Catatan Pribadi Chappy Hakim di Perpustakaan Nasional RI, 28 Oktober 2019.
Chappy pernah menjabat Kepala Staf AU (KSAU) periode 2002-2005. Pada 2016, pemerintah Indonesia dan Presiden Direktur Freeport McMoran Richard C. Akerson menunjuk Chappy sebagai presiden direktur PTFI. Ketika menduduki jabatan eksekutif tertinggi, Chappy memikul beban untuk menambal sejumlah “bopeng” di wajah PTFI. Namun tidak lama Chappy menjabat presiden direktur karena mengundurkan diri pada 2017. Ini terjadi setelah pemerintah mengeluarkan peraturan (PP No. 1 tahun 2017) yang mengharuskan PTFI menghentikan kegiatannya di Papua.
Baca juga: CIA Menggulingkan Sukarno demi Emas di Papua
Mengubah Citra “Penjarah”
Dalam catatan pribadinya, Chappy meluruskan banyak hal tentang Freeport. Menurutnya pegunungan Grasberg yang jadi basis utama eksploitasi PTFI bukanlah tambang emas, melainkan tambang tembaga dengan kandungan emas dan perak terbesar di dunia. Soal komposisi tenaga kerja, Chappy mencatat PTFI memperkerjakan lebih kurang 99 persen orang Indonesia yang 36 persennya adalah putra daerah asal Papua. Hanya 1 persen yang ekspatriat. Tidak seperti kebanyakan perusahaan milik negara (BUMN), Chappy mengatakan bahwa PTFI bersih dari kelakuan korupsi.
“Selama 50 tahun lebih tidak pernah ada skandal korupsi di Freeport, salah satu penyebabnya adalah sistem manajamen dan pengawasan yang sangat ketat,” ujar Chappy.
Baca juga: Melacak Jejak Silam Freeport Mengeksploitasi Bumi Papua
Chappy mencatat, sejak 1996, PTFI telah menggelontorkan Rp9,1 trilyun untuk masyarakat setempat yang bermukim dekat lokasi penambangan. Investasi yang tidak banyak terekspose ke publik ini meliputi pembangunan Kota Kuala Kencana sebagai percontohan kawasan bebas penyakit malaria, infrastruktur (darat dan udara) di Tembagapura dan Mimika. Dalam pengembangan sumber daya manusia, PTFI membangun berbagai fasilitas sekolah, fasilitas kesehatan. PTFI juga mensponsori klub sepak bola Persipura dan membangun kompleks olahraga Mimika Sport Complex yang dipersiapkan untuk PON 2020.
Menurut Chappy seandainya pun PTFI tidak beroperasi, pegunungan Grasberg yang sulit dijangkau ini hanyalah kawasan hampa manusia. Pemerintah Indonesia belum tentu punya modal dan kemampuan untuk mengolahnya. “Freeport tidak bermasalah,” kata Chappy merujuk sistem manajemen maupun tata kelola internal, “yang bermasalah itu orang-orang yang ada di rumah kita sendiri.” Dalam hal ini, Chappy merujuk kasus “Papa Minta Saham” pada 2015 yang menyeret nama Setya Novanto, ketua DPR saat itu.
“Kalau melihat sejarah masuknya PTFI ini banyak menimbulkan pertanyan-pertanyaan yang tidak pernah terjawab dan jawaban-jawaban itu –sesuai dengan kreativitas kita– banyak sekali. Itulah sebabnya kemudian ia menjadi number one public enemy,” kata Chappy.
Terlanjur Buruk
Sepak terjang Freeport dalam catatan Chappy Hakim menuai berbagai tanggapan. Kehadiran Freeport di Indonesia berkaitan sekali dengan persoalan memori di masa lalu. Sederet reputasi buruk yang melekat pada Freeport melalui proses yang begitu panjang. Perlu diingat, kedatangan Freeport ke Indonesia merupakan undangan dari pemerintah Orde Baru yang saat itu berkuasa.
Wartawan senior Ninok Laksono mengatakan, nama Freeport tidak dapat terlepas dari citra perambah kekayaan alam Papua demi untung sebesar-besarnya. Belum lagi isu ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan sebagai dampak yang ditimbulkan dari kegiatan eksplorasi. Pada 1980-an, Ninok menyaksikan kejomplangan yang terjadi antara orang Papua yang masih tidak berpakaian sementara di komplek permukiman pekerja Freeport di Tembagapura dibangun laiknya kota Amerika. “Bagaikan langit dan bumi,” kata Ninok.
Baca juga: Papua dan Ambisi Presiden Sukarno
Menurut Ninok berbicara mengenai Freeport maka merujuk bagaimana sejarah masuknya ke Indonesia. Freeport merupakan perusahaan asing pertama yang digandeng rezim Orde Baru lewat Undang-Undang Penamanan Modal tahun 1967. Sejak itulah malai Freeport mengeruk isi gunung tembaga di Grasberg.
“Ini terjadi karena di satu sisi kita membangun resources untuk pembangunan yang dicanangkan Presiden Soeharto tapi tidak memiliki dana dan teknologi. Jadi, win-win nya itu diberikan kesempatan kepada investor asing untuk mengolah sumber daya kita. Memang masa itu, dan masa berikutnya kita tidak mengerti persislah,” kata Ninok.
Citra yang sama turut dirasakan budayawan Jaya Suprana. Menurut pendiri Museum Rekor Indonesia (MURI) ini, Freeport tidak ubahnya seperti perampok yang menggerogoti kekayaan alam di Papua. “Sangat buruk,” katanya. Kendati demikian, Jaya juga secara adil menyatakan kesan positifnya terhadap kontribusi Freeport, terutama dalam mendukung keanekaragaman beragama.
Baca juga: Papua di Tangan Presiden Soeharto
“Satu-satunya mesjid dan gereja di dalam tambang di bawah tanah di dunia itu hanya ada di Freeport. Itu kan makanannya Museum Rekor Indonesia,” ujar Jaya, “saya perlu meletakan itu bukan untuk memberikan nilai tapi memberi penjelasan kepada masyarakat Indonesia apa sebenarnya Freeport ini.”
Sementara itu, ekonom Kwik Kian Gie menegaskan Freeport menangguk untung yang sangat besar selama beroperasi di Papua. Dia pun mengakui tidak ada korupsi di perusahaan raksasa itu. Tapi Kwik yang pernah jadi menteri koordinator ekonomi di era Megawati itu menutup uraiannya dengan sebuah tanya.
“Kalau kita melihat Konferensi Jenewa tahun 1967 –yang membagi-bagi kekayaan alam Indonesia– apakah tidak ada corruption of mind di sana yang menimbulkan berbagai pertentangan dan perdebatan?”*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar