Mengadili Jenderal Polisi
Untuk pertama kali jenderal polisi diadili. Menimbulkan krisis kepemimpinan di tubuh Polri.
Bharada E telah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Brigadir J. Selain itu, Tim Khusus dan Inspektorat Jenderal Khusus Polri juga telah memeriksa 25 anggota polisi. Tiga di antaranya jenderal polisi termasuk tokoh utamanya, Irjen Pol. Ferdy Sambo, yang telah ditempatkan di tempat khusus di Mako Brimob. Pemeriksaan untuk menentukan apakah mereka melanggar etik atau pidana.
Dalam sejarah Kepolisian pernah jenderal polisi dimejahijaukan. Kasusnya korupsi, bukan pembunuhan. Kasus ini dibongkar oleh Panda Nababan, wartawan investigatif Sinar Harapan.
Pada pertengahan 1978, Panda bertamu ke rumah mantan Kapolri Jenderal Pol. (Purn.) Hoegeng Iman Santoso. Hoegeng menunjukkan kopi surat kepada Kapolri Jenderal Pol. Widodo Budidarmo. Isinya berbunyi: “Wid, sekarang ini polisi kaya-kaya. Ada yang membeli rumah mewah di Kemang dan membuat jalan pribadi beraspal. Dari mana duitnya itu?”
Baca juga: Kini Bharada E Dulu Bripda Djani
Menurut Aris Santoso, dkk. dalam biografi Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa, setelah pensiun Hoegeng masih rajin mengirimkan memo-memo yang berisi keluhan masyarakat atas kinerja polisi. Tak hanya dari masyarakat, Hoegeng juga kerap mendapat informasi dari bekas anak buahnya yang masih berdinas di Kepolisian.
Pada awal 1977, seorang perwira menengah polisi yang berdinas di bagian Provost melapor kepada Hoegeng tentang tindakan curang sejumlah perwira tinggi Polri di bagian Jawatan Keuangan. Setelah menulis memo pribadi kepada Kapolri Widodo Budidarmo, Hoegeng membocorkan informasi dugaan korupsi di Jawatan Keuangan itu kepada wartawan, yaitu Panda Nababan. Tak lama kemudian meledaklah kasus korupsi yang nilainya miliaran rupiah itu di media massa.
Hoegeng secara terbuka berkomentar di surat kabar, sebagai mantan Kapolri merasa benar-benar prihatin dan malu dengan kasus manipulasi di Mabes Polri itu. Dia berharap agar Kapolri Widodo Budidarmo mengusut dan menindak tuntas penyelewengan dana tersebut. “Kalau tidak, saya akan nyorakin terus,” kata Hoegeng dikutip Aris Santoso, dkk.
Berbekal informasi dari Hoegeng, Panda melacak polisi kaya itu. Diketahuilah pemilik rumah mewah di Kemang adalah Kolonel Suroso, perwira di Jawatan Keuangan Polri. Panda kemudian mencari tahu dugaan kasus korupsi yang melibatkan Suroso. Sumber-sumber dari dalam Kepolisian menuntun Panda kepada Deputi Kapolri Letjen Pol. Siswadji.
“Rupanya banyak juga perwira polisi idealis yang muak dengan perilaku Siswadji dkk.,” kata Panda dalam otobiografinya, Menembus Fakta.
Panda kemudian memberitakan kasus korupsi miliaran rupiah yang melibatkan pejabat hingga Deputi Kapolri (sekarang sepadan dengan Wakil Kapolri). Setelah beritanya muncul di Sinar Harapan, Panda menyebut Kapolri Widodo Budidarmo meminta kepadanya dan petinggi Sinar Harapan untuk menyetop berita tersebut. Menteri Hankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Maraden Panggabean juga meminta berita korupsi di Kepolisian dihentikan.
Walaupun mendapat tekanan dari aparat pemerintah, Panda dan tim melanjutkan investigasinya. Sinar Harapan terus memuatnya hingga kasus korupsi di Kepolisian terungkap.
Baca juga: Iptu Tembak Briptu
Publik pun terkejut dengan terbongkarnya kasus korupsi di Kepolisian. Selain Siswadji dan Suroso, kasus korupsi itu juga melibatkan Kepala Jawatan Keuangan Polri Brigjen Pol. Suprajitno dan Letkol Paiman Sumarna, juga perwira Jawatan Keuangan Polri.
“Bagi banyak orang, kasus tersebut jelas menarik perhatian karena untuk pertama kalinya seorang jenderal berbintang tiga diajukan ke depan hakim, untuk dituntut dengan dakwaan korupsi,” kata Panda.
Siswadji dan kawan-kawan diadili di Mahkamah Militer Tinggi II Jawa Barat. Siswadji didakwa melakukan kejahatan korupsi, memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan merugikan negara. Sebagai pejabat negara yang mengurus keuangan Polri, mereka telah menilap uang sisa dana belanja pegawai, lauk pauk dan uang perjalanan dinas, serta sisa dana sebesar Rp450 juta setiap bulan. Sepenjang tahun 1973 sampai 1977, total dana yang digelapkan mencapai Rp4,8 miliar, angka yang fantastis untuk ukuran saat itu.
Baca juga: Mengadili Polisi Brutal
Siswadji, pemegang 19 tanda jasa dan kesetiaan, divonis delapan tahun penjara dan denda Rp7 juta. Sementara tiga perwira bawahannya; seorang dihukum tujuh tahun penjara dan dua orang masing-masing enam tahun penjara. Siswadji mencoba menyeret Kapolri Widodo Budidarmo. Dia menyebut Kapolri ikut menikmati hasil korupsi berupa rumah yang ditempatinya. Kapolri membantah tuduhan itu dan mengatakan bahwa rumah itu pemberian Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.
“Memang Widodo tidak ikut terseret dalam perkara korupsi Siswadji,” kata Panda. “Tapi, tak berapa lama kemudian, Widodo dicopot dari jabatannya sebagai Kapolri dan ditugaskan sebagai duta besar di Kanada.”
Namun, lima tahun sejak terbit otobiografinya, Panda menyebut Widodo berperan dalam membongkar kasus Siswadji. “Terungkapnya kasus Siswadji merupakan prestasi Widodo,” kata Panda dikutip Julius Pour dalam harian Kompas, 15 September 2004.
Pernyataan Panda tersebut disampaikan dalam perayaan 77 tahun Jenderal Pol. (Purn.) Widodo Budidarmo sekaligus membahas biografinya, Semua Karena Kuasa & KasihNya di Hotel Twin Plaza, Jakarta, 11 September 2014.
Baca juga: Aksi Semena-Mena Polisi
Menurut Panda, kasus Siswadji bermula dari surat pribadi Hoegeng, bekas Kapolri yang sudah pensiun, mengenai proyek pembangunan sebuah rumah. Widodo melakukan pengusutan yang ternyata pelakunya Deputi Kapolri. Kasus Siswadji nyaris tidak jadi diajukan ke pengadilan karena Menteri Hankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Maraden Panggabean berpendapat, “selesaikan saja diam-diam sebab akan malu kita semua nanti”. Tetapi, Widodo menegaskan, “Justru harus diajukan ke pengadilan untuk memberi teladan bahwa kita benar-benar sangat serius dalam upaya memberantas korupsi”.
Dalam otobiografinya, Panda menyebut keterangan Laksamana Sudomo, Panglima Kopkamtib, yang mengatakan kasus Siswadji setidaknya melibatkan 14 perwira tinggi Polri. Jika tidak semuanya terlibat, setidaknya mengetahui ketidakberesan pengurusan uang negara tersebut. Bahkan, kemudian munjul joke yang mengatakan tak ada satu pun perwira Polri yang tidak kecipratan hasil korupsi Siswadji.
“Gara-gara kasus Siswadji, tubuh Kepolisian dilanda krisis kepemimpinan. Soeharto bingung mencari perwira tinggi polisi untuk Kapolri,” kata Panda.
Soeharto kemudian ingat ada satu perwira tinggi Polri yang sedang bertugas sebagai duta besar di Jerman Barat. Karena itulah Jenderal Pol. Awaloedin Djamin, menantu mantan Perdana Menteri Ir. Djuanda, dipanggil pulang untuk menjadi Kapolri.
Baca juga: Awaloedin Djamin: Soekanto Bapak Polisi Kita
Sebenarnya masa jabatan Kapoli Widodo Budidarmo hampir habis, namun kasus korupsi Siswadji mempercepatnya. Widodo telah menyiapkan penggantinya, yaitu Letjen Pol. Soetadi, dan mengusulkannya kepada Presiden Soeharto. Namun, Soeharto memilih memanggil pulang Awaloedin Djamin yang baru satu setengah tahun menjabat duta besar di Jerman Barat.
Awaloedin Djamin dilantik sebagai Kapolri kedelapan pada 24 September 1978. Dua hari kemudian diadakan upacara timbang terima secara militer. Dalam biografinya, Pengalaman Seorang Perwira Polri, Awaloedin mengakui tugas beratnya sebagai Kapolri.
“Tugas berat yang saya emban sebagai pimpinan tertinggi Polri di pengujung tahun 70-an itu adalah membenahi Polri dan mengangkat citra Polri yang sangat rendah ketika itu,” kata Awaloedin.
Awaloedin tidak menyebut penyebab anjloknya citra Polri. Tentu saja karena kasus korupsi Siswadji.
Rincian Kasus Korupsi Letjen Pol. Siswadji
- Kerugian negara Rp4,8 miliar
- Membeli rumah kediaman Siswadji di Jalan Daha, Jakarta Rp150 juta.
- Membeli peralatan kamar mandi dan generator buat Siswadji Rp100 juta.
- Uang saku Siswadji bolak-balik delapan kali ke luar negeri Rp20 juta.
- Membeli tanah, rumah, dan mobil BMW.
- Membeli perhiasan istri Siswadji Rp20 juta.
- Membeli mobil Rp7 juta.
- Membeli lampu Kristal buatan Italia Rp30 juta.
- Pertandingan golf Rp16 juta.
- Menjamu tamu Rp336 juta.
- Memperbaiki rumah pejabat Kepolisian Rp120 juta.
- Perjalanan beberapa pejabat Kepolisian di dalam dan luar negeri Rp327 juta.
- Membeli toko Karya Bakti di Cilandak, Jakarta untuk Suprajitno Rp50 juta.
Sumber: Otobiografi Panda Nababan, Menembus Fakta (2009).
Tambahkan komentar
Belum ada komentar