Masa Muda Ciputra
Ciputra pernah diasuh dengan keras. Ayahnya mati di penjara Jepang, tak diketahui di mana makamnya.
Ciputra, chairman dan pendiri Ciputra Grup, meninggal dunia pada 27 November 2019 pukul 01.05 waktu Singapura. Informasinya disampaikan Rina Ciputra Sastrawinata, anak pertama Ciputra.
Ciputra lahir di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, pada 24 Agustus 1931, dengan nama Tjie Tjin Hoan. Dia anak bungsu dari tujuh bersaudara dari pasangan Tjie Sim Poe dan Lie Eng Nio. Empat saudara tertuanya meninggal.
Karena tak ada sekolah bagus di Parigi, ayahnya mengirim Nyong, panggilan Ciputra, ke Gorontalo. Dia dititipkan kepada seorang tante, Soei Tjeng Sioe, yang tinggal di rumah kakeknya di Gorontalo. Tante Sioe menerapkan disiplin yang ketat dan keras. Saking kerasnya, dia pernah dikurung dalam gudang.
“Saya hanya boleh belajar, tidur siang, sekolah, dan makan. Jika ingin bermain, maka pekaranganlah tempatnya. Satu-satunya tempat di luar selain sekolah yang boleh kami kunjungi adalah sebuah kelenteng Tionghoa,” kata Ciputra dalam biografinya, Ciputra The Entrepreneur karya Alberthiene Endah.
Baca juga: Liem Sioe Liong aipan Mie Instan Berpulang
Tekanan yang keras membuat Ciputra tak dapat belajar dengan baik. Dia hanya kuat dalam pelajaran berhitung dan membenci pelajaran Bahasa Belanda. Padahal, ayahnya mengirim dia ke Gorontalo agar bisa Bahasa Belanda. Nilai pelajaran Bahasa Belandanya buruk sehingga dia tak naik ke kelas tiga.
Hampir seluruh keluarga menghina Ciputra. Termasuk ayahnya yang kecewa. Hanya ibu yang menghiburnya. Meski sedih tak naik kelas, tapi dia senang karena bisa lepas dari tekanan Tante Sioe dan anaknya yang galak, Ci Tiem. Ayahnya memutuskan membawanya ke Bumbulan, desa yang lebih kecil daripada Parigi dan berjarak sekitar 140 kilometer dari Gorontalo. Mereka pindah karena Parigi dihantam gempa dan tsunami.
“Tahun 1938 terjadi gempa bumi hebat di Sulawesi Tengah yang mengakibatkan tsunami dahsyat di Teluk Tomini. Parigi termasuk desa yang porak poranda. Beruntung, Papa dan Mama selamat. Tapi mereka sudah tak mau lagi membangun rumah dan meneruskan hidup di Parigi,” kata Ciputra.
Baca juga: Gempa dan Tsunami di Sulawesi Tengah Tahun 1938
Di Bumbulan, ayahnya mengelola toko kelontong kakeknya dan membuka pabrik kopra. Ciputra hidup bahagia. Tak ada lagi ketakutan dan tekanan seperti saat dua tahun tinggal di Gorontalo.
“Saya telah aman. Berada di tengah pelukan keluarga di sebuah kampung yang begitu tenteram. Namun, segalanya runtuh setelah Jepang datang,” kata Ciputra.
Ayahnya pernah menceritakan kekejaman Jepang saat menduduki Tiongkok. Untuk menghadapi masa itu, dia membeli dua ekor sapi dan sebidang tanah. Dia menggaji seorang pekerja untuk mengelola kebun itu.
“Jangan sampai kita ditangkap tentara Jepang. Itu sangat mengerikan,” kata ayahnya. Nahasnya, dia sendiri yang ditangkap Jepang lalu dipenjara di Manado.
Ciputra dan ibunya baru mendapat kabar ayahnya setelah Jepang menyerah. Hok Sio yang juga diciduk polisi militer Jepang (Kempeitai), memberi tahu bahwa ayahnya sudah meninggal. Penyebabnya bukan karena disiksa tapi sakit perut yang hebat. Dia mati pada bulan ketujuh setelah dipenjara.
“Dia meninggal dalam tahanan Jepang tanpa kami ketahui sampai sekarang di mana keberadaan kuburnya,” kata Ciputra dalam “Indonesia Negara Entrepreneur”, termuat di Guru-Guru Keluhuran.
Baca juga: Awal Mula Bisnis Eka Tjipta Widjaja
Seorang tawanan lain juga memberi tahu bahwa ayahnya hampir mati di perjalanan. Dia mencoba bunuh diri dengan melompat ke laut. Dia lebih baik mati di laut daripada disiksa. Namun, bunuh dirinya gagal, dia berhasil diselamatkan.
“Nyong, mungkin inilah bukti dari pesan ayahmu. Kebun dan dua ekor sapi itu menjadi peninggalannya agar kita bisa tetap hidup. Kita sudah tak mungkin lagi menggantungkan hidup dari toko. Ibumu tidak sepandai ayahmu. Kita harus bekerja keras di kebun. Hanya di sana harapan kita untuk hidup,” kata ibunya.
Sambil sekolah, Ciputra berkebun dan berburu babi hutan. Dia menjalaninya hingga usia 15 tahun sampai tersadar bahwa hidupnya harus berubah. Maka, dia harus melanjutkan sekolah. Ibunya mendukung. Dia pun pergi ke Gorontalo untuk melanjutkan sekolah ke SMP. Setelah lulus, dia melanjutkan ke SMA Don Bosco di Manado. Di sinilah, dia bertemu Dian Sumeler yang kemudian menjadi istrinya.
Baca juga: Cara Eka Tjipta Widjaja Membangun Usaha
Ciputra lulus SMA pada 1953. Dengan berbagai keterbatasan, dia bisa masuk jurusan arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB). Sejak tingkat dua, dia tidak mendapatkan kiriman uang dari ibunya. Tidak ada jalan lain selain harus mencari uang sendiri.
“Selama masa kuliah tersebut saya pernah berdagang batik. Saya mencari batik di Bandung lalu menjualnya ke Medan. Saya juga pernah berjualan furnitur, merancang gambarnya, dan kemudian membayar tukang mebel untuk membuatnya,” kata Ciputra.
Di tingkat empat, Ciputra bersama teman kuliah, Budi Brasali dan Ismail Sofyan, mendirikan perusahaan konsultan PT Perentjana Djaja. “Untuk menjaga biduk perusahaan berjalan lancar sekaligus perkuliahaan terselesaikan dengan baik, kerja keras dan pengelolaan diri yang sangat ketat harus saya lakukan,” kata Ciputra.
Namun, Ciputra tidak puas dengan perusahaan konsultan karena hanya menunggu pekerjaan dari orang lain. Dia kemudian mendirikan PT Pembangunan Jaya bekerja sama dengan pemerintah DKI Jakarta dan beberapa pengusaha nasional.
“Saya bukan lagi pasif menunggu pekerjaan, tetapi aktif menciptakan pekerjaan bagi diri sendiri maupun orang lain. Keputusan menjadi pengembang tetap saya pegang sampai saat ini,” kata Ciputra.
Bila Jaya Grup berdiri pada 1960, selanjutnya pada 1970 Ciputra bersama kawan-kawan dari ITB mendirikan Metropolitan Grup. Pada 1980 dia bersama anak-anaknya membangun Ciputra Grup. Spesialisasi ketiga grup itu adalah pembangunan kota baru yang lengkap dan secara keseluruhan sudah membangun lebih dari 50 kota. Ketiga grup itu juga berinvestasi di luar negeri, seperti di Hawai Amerika Serikat, Singapura, Vietnam, Kamboja, India, Tiongkok, dan negara-negara lain.
Ciputra mengambil hikmah dari perjalanan hidupnya di masa kecil dan remaja yang begitu berat. Tempaan di masa sulit membuatnya menjadi manusia pantang menyerah. “Tanpa kerasnya kehidupan di bawah pengasuhan Tante Sioe dan Ci Tiem, belum tentu saya menjadi Ciputra yang sekarang. Tanpa ujian berat yang saya alami setelah Papa ditangkap polisi Jepang, belum tentu saya menjadi Ciputra yang sekarang,” kata Ciputra.
Ciputra juga merasakan hikmah dari kasih sayang dan teladan dari orangtuanya. Dia berusaha menjalankan pesan ayahnya: “Kau tahu, Nyong. Semua manusia di dunia ini harus berjuang untuk bisa hidup. Selain mencukupi hidupmu dengan materi, kau juga perlu memiliki martabat. Itu sebabnya kau harus menjadi orang yang memiliki sikap baik.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar