Bukan Sembarang Syahbandar
Cerdas, pekerja keras, dan punya loyalitas serta jaringan luas, peranakan Tionghoa ini memotori Banten menjadi kerajaan yang disegani.
BANTEN, 1670-an. Sebuah junk besar asal Tiongkok mendarat di pelabuhan dengan membawa 10 ton emas, benang, sutra, uang kepeng, dan produk-produk mewah lainnya. Junk itu merupakan bagian dari rombongan junk besar milik “raja kapal” asal Tiongkok, Koxinga atau Guo Xing-ye. Dia adalah konglomerat Tiongkok pendukung Dinasti Ming yang lari ke Taiwan dan mendirikan basis bagi simpatisan anti-Dinasti Qing.
Orang-orang Belanda, yang mendukung Dinasti Qing setelah menggulingkan Dinasti Ming, memusuhi Koxinga. Namun junk Koxinga bisa mendarat lantaran pembelaan Kaytsu, syahbandar dan orang kepercayaan Sultan Ageng Tirtayasa, dan jaminan dari Kyai Ngabehi Cakradana (Tantseko), mantan bawahan Kaytsu.
Sultan Ageng Tirtayasa sendiri yang mengangkatnya jadi syahbandar karena percaya akan kecerdikan dan loyalitasnya. Dan yang terpenting, Kaytsu sudah Muslim. “Tampaknya perpindahan agama sudah menjadi persyaratan yang diperlukan untuk orang Banten keturunan asing untuk menjadi pejabat administratif,” tulis Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. Sultan memberinya gelar “Kyai Ngabehi”.
Cerdik dalam berdiplomasi, luwes dalam bergaul, teguh menjaga kepercayaan, serta punya jaringan luas membuat karier Kaytsu cepat menanjak. “Kaytsu yang cerdik dan berpikiran jauh ke depan serta diandalkan sepenuhnya oleh raja saat itu, Sultan Ageng, tampaknya hanya memiliki satu tujuan dalam hidupnya, yaitu memulihkan perdagangan internasional di Banten,” tulis Guillot.
Untuk memuluskan cita-citanya, Kaytsu meyakinkan sultan pentingnya Banten memiliki armada niaga dan terlibat dalam perdagangan internasional guna memajukan perekonomian kerajaan. Armada niaga dibutuhkan untuk mendatangkan komoditas dari berbagai tempat untuk guna di Banten yang pada akhirnya menarik pedagang asing.
Sultan menerima usul Kaytsu. Armada pun dibangun. Kaytsu mengawasi pembelian dan pembuatan kapal-kapal. Pengiriman kapal niaga dimulai tak lama kemudian. Dengan Tantseko, dia memperluas jaringan niaga dengan dunia luar. Di antaranya dengan keluarga Zheng Zhilong, ayah Koxinga, yang bermarkas di Amoy, Taiwan, Manila, dengan kantor perwakilan di negara-negara Eropa dan Jepang. Zhilong adalah petualang sekaligus pengusaha Tionghoa pendukung Dinasti Ming yang dihukum mati oleh Dinasti Qing.
Jalur pelayaran ke Manila, yang berisiko tinggi namun menguntungkan, diambil. Dan tak kalah penting, Banten menjadi kerajaan niaga yang menjual beragam komoditas –sebelumnya hanya menjual lada. Dengan jatuhnya Makassar dan ditutupnya pelabuhan Tiongkok setelah Dinasti Ming jatuh, Banten akhirnya menjadi pelabuhan internasional. Berkat Kaytsu pula perekonomian kerajaan melonjak pesat.
“Sebelum meninggal tahun 1674, syahbandar Kaytsu yang sangat giat ini sempat menyaksikan impiannya terwujud ketika Banten berubah menjadi pelabuhan persinggahan utama di Nusantara untuk kapal-kapal bukan VOC dan sebagai tempat perdagangan kunci bukan saja untuk pasar Asia Timur dan Barat tapi juga untuk Eropa dan sebagian kecil Amerika melalui Manila,” tulis Guillot.
Mulanya hampir tak ada orang yang mengenalnya. Namanya mulai disebut setelah ada perselisihan dagang lada antara orang Belanda dan Prancis di Batavia. Dia bersama dua teman Tionghoanya menjadi saksi; dan namanya pun tertulis dalam dokumen terkait perkara itu berikut tandatangannya.
Kaytsu kemungkinan termasuk di antara orang-orang Tionghoa yang hijrah ke Batavia menyusul kondisi tak menentu di Banten akibat pendirian Batavia oleh Jan Pieterzoen Coen. Sewaktu perdagangan Banten kembali menggeliat, Kaytsu kembali ke Banten. Tapi, rivalitas Banten-Batavia masih tinggi. Terlebih, pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, armada VOC memblokade Teluk Banten akibat serangan Tirtayasa ke kapal-kapal dan wilayah Batavia.
Ketika pintu perundingan terkunci rapat, sejak 1656 orang-orang Tionghoa di Banten berinisiatif menjadi penengah. Syahbandar kerajaan, seorang Tionghoa bernama Abdul Wakkil, mengirim beberapa orang ke Batavia untuk menemui Bingam, kapitan Tionghoa di kota itu. Kaytsu ikut mendampingi Wakkil. Setelah menjadi syahbandar, menggantikan Wakkil, Kaytsu mengirim surat berbahasa Melayu ke Kapitan Bingam yang berisi keterangan bahwa sultan tak akan menyerang kapal-kapal Batavia lagi.
Selama berbulan-bulan Kaytsu mondar-mandir Banten-Batavia dan berkirim surat ke Bingam dan Joan Cunesu, penasehat orang-orang Belanda, untuk menyelesaikan konflik. Setelah itu dia memimpin sebuah delegasi terdiri dari lima Tionghoa Banten berangkat ke Batavia. Kaytsu bukan hanya mewakili kesultanan, dia penyambung lidah pedagang Banten, golongan yang paling dirugikan oleh keadaan tak aman itu. VOC akhirnya mengirim dua utusan, Symon Symonsz dan Joan van der Laen, ke Banten pada 1659.
“Mulai masa itu dia tampil sebagai salah satu unsur terpenting dalam pemerintahan Banten,” tulis Gabriel Rantoandro, “Kiyai Ngabehi Kaytsu di Banten: Syahbandar dan Perantara”, dimuat dalam Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard.
Sultan memasukkannya sebagai bagian penting kerajaan. “Dia orang istana yang bebas keluar-masuk, sebebas dan sesering para pangeran, kerabat raja, dan penasihat sultan, terutama dalam situasi-situasi mendesak,” tulis Rantoandro.
Di Banten, Kaytsu melayani utusan tersebut meski tugas utamanya mengawasi jalannya perundingan. Dia kerap mengundang mereka makan di rumahnya di pecinan, dekat loji Inggris. Ketika ada waktu luang, Kaytsu menyuguhi hiburan wayang kulit. Perlakuan hangat Kaytsu mempengaruhi psikis para utusan. Kesepakatan damai akhirnya dicapai kedua belah pihak. Menurut Guillot, Kaytsu adalah satu-satunya syahbandar yang dikenal dalam sumber-sumber Eropa tahun 1660-an.
Sebagai orang kepercayaan, selain mengembangkan perdagangan kerajaan, Kaytsu juga menjalankan usaha pribadi Sultan Ageng Tirtayasa. Dan kepercayaan itu Kaytsu bayar penuh dengan kemajuan pesat usaha itu. Berbarengan dengan itu, Kaytsu sendiri mengembangkan usaha sendiri. Kapal-kapalnya bertambah dan merambah jauh ke negeri seberang. Sewaktu meninggal dunia, tulis Rantoandro, dia meninggalkan modal 70 ribu-90 ribu real dalam bentuk emas, perak, dan komoditas berharga lain.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar