Bubar Sebelum Terbang
Untuk menembus blokade udara Belanda, Campbell dan mitranya mendirikan maskapai Asian Airlines. Namun, ia tak sempat terbang.
SETELAH dipecat sebagai Wakil Dagang Sementara Indonesia di Australia, Campbell tetap berkomitmen untuk membantu perjuangan Indonesia. Saat di Indonesia, Campbell menyatakan bahwa penghapusan keadaan status quo hanyalah soal waktu. “Tunjukanlah senjata-senjata api, politik, dan senjata diplomasi tuan, sampai imperialisme dan kapitalisme sudah lenyap dari negeri tuan,” seru Campbell, dalam siaran radio di Yogyakarta dan dikutip Soeloeh Ra’jat, 24 April 1947.
Pengalaman tak dapat visa dari Belanda ketika akan mengunjungi Indonesia, sehingga harus melalui Singapura, bisa jadi menjadi alasan Campbell ingin mendirikan maskapai penerbangan komersial. Dia ingin menembus blokade udara Belanda yang sangat ketat dan membantu perjuangan Republik Indonesia dan Malaya.
“Clarrie Campbell tergerak untuk mendirikan sebuah layanan penerbangan oleh pemerintah Indonesia,” tulis Drew Cottle dalam “Unbroken Commitment: Fred Wong, China, Australia and A World To Win,” The Hummer, Vol. 3 No. 4 tahun 2000. Clarrie adalah nama panggilan Campbell.
Asal-mula penerbangan komersial milik Campbell dimulai pada Desember 1945. Saat itu seorang pengusaha asal Sydney, O.K. Kennedy, membahas masalah perdagangan Australia dan Timur Jauh dengan E.V. Burgoyne, mantan perwira Australian Imperial Force dan agen sebuah perusahaan Hong Kong di Australia. Kennedy mengusulkan kepada Burgoyne untuk membeli pesawat Catalina yang sudah tak dipakai dan dilepaskan oleh Royal Australian Air Force (RAAF) di Rathmines –daerah pinggiran kota di sebelah selatan kota Dublin– dan mengubahnya menjadi angkutan udara. Burgoyne menyetujui dan menyerahkan kepada Kennedy untuk merealisasikan rencana tersebut.
Kennedy kemudian memasang iklan di Sydney Morning Herald, mengundang para mantan prajurit, pilot RAAF, insinyur, dan operator radio untuk mendirikan layanan angkutan udara luar negeri. G.C. Brickwood, J.O. Diggins, V.M. Trevitt, E.V. MacDonald-Brookes, dan JR Garemyn menanggapi tawaran Kennedy, masing-masing memberi 300 pound Australia untuk membeli pesawat Catalina. Tapi Kennedy tak pernah membeli pesawat itu. Komisi Pelepasan Persemakmuran (Commonwealth Disposals Commission) –sebuah komisi yang bertugas menjual alat-alat sisa atau yang tidak dipakai lagi (Pelita Rakjat, 8 Juni 1948)– menekannya, dan dia kemudian meninggalkan usahanya.
Pada Juni 1947, Burgoyne berbicara dengan Jack Wells, anggota partai komunis terkemuka, dan memperkenalkannya kepada Campbell, yang setuju mendirikan perusahaan maskapai penerbangan. Pada 29 Juli 1947, Campbell mendaftarkan kemitraannya di bawah Business Names Act dengan nama “Asia Airlines”. Namun perusahaan itu tak berkembang; modalnya juga belum cukup untuk membeli pesawat.
“Tak puas dengan kurangnya kemajuan, kurangnya modal, dan ketidakpatuhan Campbell,” tulis Drew Cottle dan Angela Keys, “Asian Airlines: An Early Australian Cold War Mystery,” dalam situs The History Cooperative, “Burgoyne menarik diri dari perusahaan itu.”
[pages]
Pada awal 1948, Campbell mengubah maskapainya menjadi perusahaan publik yang terdaftar sebagai “Airlines Asia Pty Ltd” dengan modal saham 25.000 pound Australia. Campbell menjadi managing director atau chief executive officer (CEO) dan kantor perusahaannya berada di sebuah gedung Haymarket yang disewakan kepada Serikat Pelaut China dan Liga Pemuda Cina. Campbell kemudian menggandeng mitra baru: Fred Wong, Lewis Wong, W.J. Lee, dan beberapa mantan prajurit.
Kenneth Frederick “Fred” Wong adalah anggota komunis China yang paling aktif di Sydney; Presiden Klub (Liga) Pemuda China di Sydney dan aktif di Serikat Pelaut China. Dia ambil bagian dalam film Indonesia Calling karya Joris Iven. Lewis Wong adalah seorang komunis kelahiran Semarang dan sekretaris Serikat Pelaut China, sementara W.J. Lee adalah pengacara Serikat Pelaut China. Campbell dan Fred Wong menjadi pemegang saham mayoritas perusahaan.
Pada Juni 1948, Campbell, Fred Wong, dan Louis Wong mendekati Perdana Menteri Ben Chifley untuk membeli pesawat. Karena Campbell adalah orang kepercayaan Chifley, dia dengan mudah dapat membeli sembilan pesawat Catalina dari Komisi Pelepasan Persemakmuran.
Pesawat Catalina merupakan pesawat amfibi yang dapat mendarat di air (flying boats) dan biasa digunakan untuk mengangkut orang dan barang. “Pada 1940-an, Belanda menggunakan pesawat Catalina sebagai sarana perhubungan udara di Indonesia,” tulis Chappy Hakim dalam Awas Ketabrak Pesawat Terbang, “yang antara lain menghubungkan Surabaya dengan Banda Neira di Kepulauan Maluku setiap sebulan sekali.”
Di parlemen Australia, Chifley mendapat cercaan pertanyaan dari E.J. Harrisons, wakil pemimpin golongan oposisi. Chifley membenarkan bahwa Komisi Pelepasan Persemakmuran menjual sembilan pesawat Catalina kepada Campbell, seorang pemilik Marx House, markas besar partai komunis di Sydney. “Pesawat itu diberikan kepada Campbell karena ia telah memberi harga yang tertinggi,” tulis Pelita Rakjat, 8 Juni 1948. “Chifley juga menerangkan bahwa Asian Airlines tidak ada rencana untuk membuka perhubungan di dalam atau pun di luar negeri.”
Menurut Cottle dan Keys, Asia Airlines dibentuk bukan untuk bisnis yang menguntungkan, tapi sebagai cara membangun kelangsungan hidup ekonomi “bayi” Republik Indonesia melalui jaringan perdagangan yang lemah dan akan berusaha menembus blokade Belanda.
“Campbell percaya, bagaimanapun, bahwa Asian Airlines layak,” tulis Cottle dan Keys. “Keyakinan seperti itu didasarkan pada komitmen politik daripada ketajaman bisnis.”
[pages]
Namun, keberadaan Asian Airlines tak dikehendaki pemerintah Australia. Layanan Keamanan Persemakmuran melakukan kampanye penekanan terhadap perusahaan Campbell. Setiap pemegang saham yang memiliki latar belakang politik digambarkan sebagai komunis. Motif mereka dan rencana untuk maskapai dinyatakan subversif. “Wartawan-wartawan terpilih dan anggota parlemen diberitahu bahwa Asia Airlines digunakan untuk membawa narkoba dan senjata untuk kelompok-kelompok kriminal di seluruh Asia Tenggara,” tulis Cottle.
Campbell dan Fred Wong jalan terus. Bahkan Asian Airlines mendapatkan izin terbang ke Indonesia dan Malaya. Campbell juga sudah menyiapkan pangkalan pendaratan pesawat di Danau Boga, Victoria. Selama Perang Dunia II, Danau Boga menjadi bagian integral dari pertahanan Sekutu. Sejak awal 1938, pemerintah Australia mengetahui keberadaan Danau Boga sebagai lokasi potensial untuk aktivitas pesawat-pesawat amfibi, seperti Catalina.
Pada 23 Juli 1948, Fred Wong berangkat ke Danau Boga untuk memeriksa pesawat yang telah dibeli. Fred Wong dibantu Albert Taylor Stewart, seorang karyawan baru Asian Airlines yang mantan insinyur penerbangan RAAF, untuk memperbaiki ekor salah satu Catalina. Mereka melakukan perbaikan di sebuah perahu mengapung di danau. Ketika mereka mencoba memindahkan roda ekor, perahu terbalik. Keduanya terlempar ke danau. Stewart selamat, sedangkan Wong tenggelam. Tubuhnya kemudian ditemukan seorang nelayan setempat.
Sementara itu, pada awal Agustus 1948, Campbell berada di Singapura berusaha untuk meyakinkan para pejabat penerbangan sipil agar Asian Airlines dapat memulai pengiriman layanan udara dari Australia yang meliputi Timur Jauh dan berbasis di Singapura. Campbell sangat terpukul dengan kematian Fred Wong, mitra yang diandalkannya.
Asian Airlines pun tak sempat menjalankan misinya. Kematian Fred Wong membuat Asian Airlines bubar. Campbell kemudian pindah dan menetap selamanya di Singapura, menjalankan bisnis emulsi bitumen-nya untuk memasok pembangunan jalan di Malaya selama masa darurat perang. Dia meninggal pada 1972 di Singapura.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar