Auw Tjoei Lan, Pelindung Kebajikan
Tanpa disadari, keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan amal ayahnya menumbuhkan jiwa filantropis pada dirinya.
IA kaget. Di serambi rumahnya yang terletak di daerah Gunung Sahari (waktu itu Weltevreden), ia menemukan bayi. Naluri kemanusiaan Auw Tjoei Lan pun terusik. Dia ambil bayi itu lalu dia besarkan layaknya anak sendiri. Lalu seorang perawat bernama Zuster Gunning membawa bayi ke rumahnya dan meminta Tjoei merawatnya. Perawat ini bahkan datang berkali-kali. Akhirnya ia memutuskan untuk mendirikan panti asuhan.
Auw Tjoei Lan dan suaminya sudah tinggal di rumah sendiri di Gunung Sahari. Tapi rumahnya terlalu sempit untuk menampung bayi-bayi itu. Dia juga belum punya pengalaman. Tapi setelah berkenalan dengan Nyonya Graaf van Limburg Stirum, istri Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum, jalannya benderang. Nyonya Limburg mendukung gagasannya, bahkan kerap memberi petunjuk.
Hasrat Auw Tjoei Lan kian bergelora. Dia minta bantuan berbagai pihak, dan berhasil mendapatkan uang sebesar 700 gulden. Dengan uang itu, dia menyewa sebuah rumah yang terletak di dekat rumahnya. Panti asuhan pun berdiri. Selain dirinya, Zuster Gunning, dr Zigman, dan dr Boeke jadi pengurusnya. Sementara Graaf van Limburg Stirum dan nyonya duduk sebagai pelindung
Kegiatan amal bukan hal baru bagi Auw Tjoei Lan. Sejak remaja, dia sudah terlibat dalam kegiatan-kegiatan amal ayahnya. Disiplin dan keteguhan hatinya juga dia pelajari dari cara ayahnya mengontrol para pekerja yang menjalankan kegiatan amal. Suatu kali Auw Tjoei Lan mendapat tugas memberikan makan kepada para tunanetra. Lantaran teledor dan kurang bersih membuang duri-duri ikan, dia kena hukum pukulan rotan. Dia jadi lebih berhati-hati menjalankan tugas.
Dia beruntung lahir dan besar dari orangtua yang berpikiran maju. Auw Tjoei Lan kecil tak dipingit seperti kebanyakan anak perempuan masa itu. Di rumah, dia dan saudara-saudaranya mendapat pendidikan Belanda dari seorang guru privat yang didatangkan dari Batavia. Ketika remaja, dia memperdalam pendidikan di Bogor dan tinggal di rumah keluarga seorang pendeta. Selepas dari Bogor, dia kembali ke Majalengka dan menjalankan kegiatan amal ayahnya. Dan ketika menikah, dia memiliki panti asuhan sendiri.
Panti asuhan itu diberi nama Ati Soetji, sama seperti organisasi bentukan dr Zigman. Di kalangan orang Tionghoa panti ini dikenal dengan nama Po Liang Kiok (tempat perlindungan untuk menjaga kebajikan). Nama terakhir ini punya pengaruh besar dalam dunia bisnis, “Sehingga baiknya untuk diperkenalkan organisasi ini di kalangan mereka (Tionghoa),” tulis Myra.
Ati Soetji terus berkembang. Pada 1925 sebuah panti asuhan untuk anak laki-laki dibuka Ati Soetji. Empat tahun kemudian, setelah sempat pindah ke rumah yang lebih besar di Salemba, Ati Soetji pindah lagi ke Kebon Sirih –di kemudian hari jalan tempat panti itu berada dinamai Jalan Ati Soetji. “Gedung ini cukup luas untuk sebuah sekolah dasar, sehingga anak-anak tidak perlu sekolah di luar,” tulis Myra. Pada 1933 bahkan Ati Soetji mampu membuka sebuah mode atelier, bengkel untuk membuat pakaian perempuan, di Menteng.
Ati Soetji sangat memperhatikan perlindungan, kesehatan, asupan gizi, pendidikan, dan kehidupan sosial anak-anak asuhnya. Setiap hari Auw Tjoei Lan datang untuk melihat kondisi anak-anak asuhnya maupun panti. Begitu seorang anak dititipkan kepadanya, dia memeriksakan anak itu ke rumah sakit. Ketika usianya mencukupi, anak asuh akan dimasukkan ke sekolah dasar. Bagi yang pintar, panti akan memasukkan ke sekolah lanjutan.
Hubungan anak asuh dengan pengasuh cukup dekat. Setiap anak asuh mendapatkan pelayanan yang memadai hingga jenjang pernikahan. Mereka bebas memilih calon suami; panti hanya memastikan kejelasan asal-usul calon suami mereka. Lelaki yang dianggap kurang baik akan ditolak. Intinya mereka akan melepas anak asuhannya jika benar-benar bisa hidup mandiri.
Masa tersulit harus Auw Tjoei Lan hadapi ketika pendudukan Jepang. Suaminya dipenjara di Bukit Duri, Serang, dan kemudian Cimahi. Dia juga pernah ditahan selama beberapa hari. Keuangannya terus menurun hingga akhirnya panti-pantinya tutup. Hanya Ati Soetji yang bertahan. Dia sendiri sempat dicurigai. Beruntung pemerintah militer Jepang akhirnya menghargai pekerjaannya, bahkan memberikan bantuan untuk panti asuhannya.
Usai kemerdekaan, Auw Tjoei Lan berusaha membangun kembali panti-pantinya. Perjuangannya tak sia-sia. Kini jejaknya masih terlihat dari panti asuhan dan bangunan sekolah, dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Semangat Auw Tjoei Lan terus menyala hingga ajal menjemputnya pada 19 Desember 1965.
Banyak orang merasa kehilangan. Ribuan orang melayat dan mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir di pekuburan Jati Petamburan.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar