A.A. Maramis Menikmati Masa Pensiun
Setelah pensiun, Alex menetap di negeri orang. Sakit-sakitan karena kesepian, dia ingin pulang ke Tanah Air.
ENAM lelaki berkumpul di kediaman mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, Jalan Diponegoro 57 Jakarta, Selasa pagi 28 Januari 1975. Empat di antaranya founding father Republik Indonesia yang masih tersisa: Hatta, Achmad Subardjo, Sunario, dan Abdul Gafar Pringgodigdo. Dua lainnya lebih muda, yaitu Imam Pratignyo dan Soerowo Abdoelmanap. Mereka sedang rapat.
Laporan Pratignyo mengawali rapat. Ada donatur tanpa nama yang bersedia membiayai kunjungan ke kediaman Mr. Maramis. “Pada prinsipnya tawaran itu kita terima, hanya saya tidak tahu apakah Mr. Maramis bersedia pulang atau tidak,” balas Hatta, yang termuat dalam Uraian Pancasila, karangan Panitia Lima.
Jauh di belahan lain bumi. Sepasang lansia menghuni sebuah flat di tepi Jalan Via Besso No. 23a–69 Lugano, Swiss (Switzerland). Si lansia lelaki berkulit cokelat gelap, menandakan dia bukan orang asli Swiss. Sedangkan si lansia perempuan berkulit putih, seperti kebanyakan orang Eropa.
Pasangan itu adalah Alexander Andries Maramis (Alex Maramis) dan istrinya, Elizabeth Marie Diena Veldhoedt (Beth). Alex adalah founding father Republik Indonesia lainnya yang masih hidup. Dia lah ”Mr. Maramis” yang Hatta dan Pratignyo bicarakan dalam rapat.
Berderet bakti Alex kepada Republik Indonesia. Pada masa kolonial, Alex pernah menjadi anggota Perhimpunan Indonesia yang menyebarluaskan gagasan kebangsaan. Dia juga anggota BPUPKI, serta Panitia Sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta pada tahun 1945.
Pada awal Indonesia merdeka, Alex menjadi menteri keuangan kabinet Presidensial (kabinet pertama), Amir Sjarifuddin I dan II, serta Hatta I. Sempat pula menjadi Menteri Luar Negeri pada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
Alex juga berkiprah di berbagai perundingan internasional. Di antaranya adalah Konferensi PBB di Havana 1947-1948, dan anggota Mahkamah Arbitrase Indonesia—Belanda tahun 1950. Sempat juga menjabat Duta Besar Istimewa RI, Dubes Filipina, Jerman Barat, serta Uni Soviet-Finlandia.
Pemerintah mengganjar Alex dengan banyak penghargaan atas baktinya tersebut. Alex mendapat Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Tingkat III pada 17 Agustus 1960, Bintang Gerilya pada 5 Oktober 1961, juga Pahlawan Kemerdekaan Indonesia di tahun 1969.
Di Negeri Orang
Lugano berjarak 350 km dari ibukota Bern. Di sana, Alex dan Beth yang telah renta hidup berdua saja di dalam flatnya. Lexy Maramis, anak semata wayang mereka, hanya sepekan sekali berkunjung. Lexy sudah berkeluarga dan menetap di kota lain.
Alex setidaknya sudah menetap di Lugano seusai menjabat Dubes Soviet dan Finlandia pada 1957. Pensiun pada 1959, dia lanjut menetap di sana. Bujukan teman-temannya agar kembali ke Indonesia tidak meluluhkan keputusannya itu.
”Pernah Dr. Soebandrio dalam kesempatan mengadakan kunjungan kerja ke Eropah mengajak agar Alex Maramis mau pulang saja ke Indonesia, tapi tawaran itu ditolaknya,” tulis F.E.W. Parengkuan dalam A.A. Maramis, SH, terbit 1982.
Apa alasan Alex untuk menetap di Lugano? Parengkuan telah mewawancarai 12 orang dekat Alex. Mulai dari Sammy Lee kerabat Alex, sampai sahabat terdekat Alex, Arnold Wilson Mononutu. Tidak satu pun tahu alasan Alex enggan kembali ke Indonesia.
Banyak kerabat Alex yang tinggal di tanah air. Apalagi di Manado, tanah kelahiran keluarga besar Maramis. Keluarganya juga memiliki hunian di Jalan Merdeka Timur 9, Jakarta. Tapi Alex justru memilih Lugano. Alex yang pendiam itu sangat menjaga privasi. Karenanya, Parengkuan terpaksa menebak-nebak.
”Mungkin karena ia tidak menyetujui garis politik luar negeri dari Kabinet Kerja I pimpinan Presiden Sukarno yang juga merangkap Perdana Menteri, yang diterapkan oleh Dr. Soebandrio yang waktu itu selaku Menteri Luar Negeri. Atau mungkin karena ia memang ingin terus berada di luar negeri berhubung alasan-alasan pribadi,” papar Parengkuan.
Kawan Alex lainnya Achmad Subardjo juga ikut-ikutan menebak. Tersebut di dalam Uraian Pancasila, Subardjo mengira Alex ingin kembali ke tanah air, namun terhalang sang istri. Tambahan lagi sang anak Lexy juga sudah berkeluarga di sana.
Lain lagi dengan Tempo. Artikelnya ”Pulang ke Indonesia” edisi 17 Juli 1976 memuat pernyataan Alex. ”Bagaimana saya bisa hidup (di Indonesia) dengan gaji yang begitu kecil.” Alex mengatakannya pada tahun 1957. Tapi, Tempo tidak menjelaskan konteks Alex berbicara. Keengganan Alex pulang ke Indonesia masih misteri.
Panitia Lima: Bakti Alex kepada Republik
Lugano, Selasa 18 Maret 1975. Alex dan Beth masih berdua saja di dalam flatnya. Mereka jarang disambangi orang. Tetiba pintu flat diketuk. Alex membuka pintu. Seorang tamu istimewa. Dia adalah Sunario, rekan Alex semasa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dua sekawan itu saling melepas rindu. Sunario khusus datang dari Jakarta untuk bertemu Alex. Selain bersilaturahmi, ada agenda lain yang dibawanya, yaitu naskah tafsir Pancasila dari Panitia Lima di Jakarta.
Kelahiran naskah tersebut tidak lepas dari permintaan Presiden Soeharto. Awal dekade 1970 merupakan masa kritis bagi Orde Baru. Perjalanan pemerintahannya diwarnai berbagai demonstrasi mahasiswa, karena kebijakan Pemerintah dianggap tidak pro rakyat.
Pemerintah butuh stabilitas politik, butuh legitimasi Pancasila atas kebijakan-kebijakannya. Tafsiran Pancasila harus sejalan dengan kehendak Pemerintah. Presiden Suharto mewacanakannya dalam pidatonya di Universitas Gadjah Mada, Desember 1974.
“…Ia meminta para akademisi di Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta untuk menggunakan 'metode ilmiah' untuk menyusun interpretasi standar,” terang David Bourchier, dalam Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State.
Kemudian Soeharto meminta Hatta, Subardjo, Sunario, Pringgodigdo, dan Alex untuk merumuskan tafsir Pancasila. Panitia Lima terbentuk, dibantu Pratignyo dan Surowo sebagai sekretarisnya. Panitia bekerja di kediaman Hatta dalam empat rapat. Berturut-turut pada 10 dan 28 Januari, serta 11 dan 18 Februari 1975. Hanya empat founding father yang ikut. Sedangkan Alex berhalangan, karena sedang di luar negeri.
Panitia kemudian menghasilkan naskah Uraian Pancasila. Di kemudian hari, naskah Penerbit Mutiara terbitkan pada 1977. Naskah terdiri dari dua bagian; asal usul Pancasila dan tafsir masing-masing sila.
Orde Baru berusaha mengkerdilkan peran Sukarno terhadap Pancasila. Kemudian, sejarawan cum tentara, Nugroho Notosusanto mengangkat Muhammad Yamin dan Mr. Supomo dalam Teks Otentik Proklamasi dan Rumusan Otentik Pantjasila. “…Di mana Nugroho menyatakan bahwa karena sebagian besar landasan Pancasila telah dilakukan oleh Yamin. dan Supomo,” papar Bourchier.
Sebaliknya, Uraian Pancasila justru menunjukkan Sukarno adalah penggagas Pancasila. Bedanya, pada pidato pertamanya di BPUPKI, Sukarno meletakkan sila Ketuhanan pada bagian akhir. Namun esensinya sama dengan Pancasila saat ini.
Hatta di dalam rapat menegaskan bahwa Sukarno-lah yang pertama kali mengusulkan filosofishe grondslag untuk negara, bukan Yamin. “Bung Yamin agak licik,” sebut Hatta. ”Pak Yamin itu pinter nyulap kok!” Pringgodigdo urun komentar.
Bagian kedua Uraian Pancasila menerangkan tafsiran sila-sila. Ringkasnya, keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa membuat orang Indonesia berperikemanusiaan, adil dan beradab. Darinya lahir persatuan Indonesia. Kemudian sesama bangsa bermufakat dalam hikmah dan kebijaksanaan, untuk mencapai keadilan sosial masyarakat. Praktiknya berwujud pasal-pasal UUD 1945.
Uraian Pancasila mengkritik kebijakan ekonomi Pemerintah yang kapitalistik. “Kemakmuran rakyat bukan kemakmuran pribadi beberapa gelintir manusia Indonesia!” cantum naskah itu. Saat rapat, Hatta menegaskan kebijakan Orde Baru dalam mem-Perseroan Terbatas-kan sumber-sumber ekonomi vital amat bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945.
Naskah Uraian Pancasila rampung pada 18 Februari. Tapi masih ada yang kurang. Panitia merasa perlu mendapatkan persetujuan Alex.
Jadilah Sunario ke Lugano dengan bantuan donatur anonim dan staf KBRI Bern. “Sunaryo khusus pergi ke Lugano agar Maramis turut menandatangani Perumusan Pancasila,” terang Tempo, 17 Juli 1976.
Panjang lebar Sunario menerangkan kepada Alex tentang rapat di Jakarta dan naskah Uraian Pancasila. Alex mengangguk-angguk, sembari membaca langsung naskah. Meskipun sudah sepuh, Alex masih bisa menangkap penjelasan-penjelasan Sunario dengan baik.
Alex setuju dengan isi naskah. Diapun membubuhkan tanda tangannya. ”Dari antara kelima anggota Panitia Lima, ialah orang terakhir yang menandatanganinya yaitu pada tanggal 18 Maret 1975,” tulis Parengkuan. Lengkaplah founding father yang menandatanganinya.
Panitia Lima menyerahkan naskah final Uraian Pancasila tersebut kepada Presiden Suharto pada 23 Juni 1975. Alih-alih menggunakannya, Pemerintah malah menggantinya dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) buatan sendiri.
Rindu Tanah Air
Sekembalinya dari Lugano, Sunario mengabarkan tentang keadaan Alex dan istri yang susah dan kesepian. Hingga Subardjo berkesempatan bertemu Alex pada November 1975. Subardjo kaget melihat keadaan Alex.
”Subardjo dengan mata kepalanya sendiri waktu itu melihat bahwa memang Alex Maramis berada dalam keadaan sakit yang gawat. Keadaan kesehatan dan lingkungan di mana ia kini hidup membuat hati Subardjo terharu,” terang Parengkuan.
Dalam pertemuan itu, Subardjo mengajak Alex mengenang masa-masa menjadi mahasiswa di Leiden. Namun Alex tidak bisa mengingatnya.
Alex memang sudah lama sakit-sakitan. Tapi sepeninggal Sunario, sakit Alex kian parah. Dia bahkan sempat terserang stroke. Tensi darahnya tinggi, membuatnya sempat dirawat selama enam pekan di rumah sakit di Zurich.
Beth setali tiga uang dengan Alex. Jari tangan dan kakinya bengkak akibat rematik. Dalam kondisi itu Beth tetap setia merawat Alex dan mengerjakan seluruh pekerjaan rumah.
Subardjo teringat kepada Pratisto, anak muda yang mengikutinya ke Swiss ketika menjadi Dubes pada 1957-1961. Pada tahun 1975, Pratisto telah menjadi dokter spesialis bedah otak di Bern. Subardjo segera menghubungi Pratisto untuk memintanya merawat Alex. Pratisto menyanggupinya. Semenjak itu, Pratisto bertanggung jawab atas kesehatan Alex.
Pada kunjungan pertama, Pratisto langsung paham bahwa sakitnya Alex memang parah. Ingatannya rusak dan sulit diajak berbicara. Jika ditanya sesuatu jawabannya melantur. Tekanan darahnya 220/110, jauh berbanding tensi normal antara 90/60 dengan 120/80.
Tapi Pratisto masih yakin Alex bisa sembuh karena melihat fisiknya yang kuat. Pratisto merawat Alex tanpa bayaran. Bahkan biaya obat pun ditanggungnya. Pratisto bersimpati kepada Alex dan menganggapnya seperti orang tua sendiri.
Jarak Lugano dengan Bern yang jauh membuat Pratisto hanya mengunjungi Alex sebulan sekali. Pratisto harus meliburkan praktik kliniknya ketika kunjungan. Perjalanan ke Lugano memakan waktu sepuluh jam berkereta pulang pergi, dengan waktu memeriksa Alex dua jam lamanya. Pratisto harus menghabiskan minimal 12 jam dalam sekali kunjungan.
Pratisto menyimpulkan bahwa Alex sakit-sakitan karena kesepian. “Alex Maramis sesungguhnya sedang mengalami tekanan batin akibat terisolasi selama hampir 20 tahun,” sebutnya seperti yang ditulis Parengkuan.
Masyarakat Swiss umumnya individualistis. Mereka beranggapan seseorang harus dapat mengurus dirinya secara mandiri. “Di dalam masyarakat individualis, orang-orang hanya memperhatikan dan menjaga dirinya dan keluarga intinya saja,” terang laman https://www.hofstede-insights.com/country/switzerland/.
Budaya tersebut melekat sampai saat ini. ”Baik warga Swiss yang berbahasa Jerman maupun yang berbahasa Prancis serta negara-negara Nordik mendapat skor tinggi sebagai masyarakat individualis,” papar tulisan yang termuat dalam laman https://www.norgesklubben.ch/culture-and-workplace-values-in-switzerland-and-the-nordics/?lang=en.
Budaya individualis berseberangan dengan karakter Alex yang dibesarkan dalam budaya Nusantara yang komunitarian. Alex mengalami gegar budaya sehingga sulit hidup di Lugano.
Alex ingin pulang ke tanah air. Keinginannya itu sudah muncul sejak tahun 1972. Dia ingin menghabiskan masa hidupnya di tengah-tengah orang-orang dekatnya. Beth juga punya harapan yang sama.
“Coba saudara bayangkan, bagaimana kalau salah satu dari kami meninggal di tanah yang jauh, sedangkan kami ingin berkubur di negeri tercinta ini,” ucap Beth yang dimuat Buana Minggu, edisi 11 Juli 1976.
Setahun kemudian, Alex berkirim surat kepada adiknya, Andries Alexander Maramis (Inyo) di Jakarta. Alex meminta dicarikan hunian di Menteng, Jakarta Pusat. Namun urung karena harga tanahnya selangit.
Kerinduan Alex kepada tanah air semakin menjadi. Masalahnya, butuh banyak biaya untuk pulang. Paguyuban Minahasa di Jakarta, Kerukunan Keluarga Kawanua pun mengumpulkan sumbangan untuk mengongkosi kepulangan Alex dan Beth.
Rapat-rapat digelar di rumah keluarga Maramis, Jalan Merdeka Timur 9, Jakarta. Donasi berdatangan. Beberapa nama donatur di antaranya adalah Jan Walandow, mantan tokoh Permesta Letkol Ventje Sumual, dan F. Sumanti. Lainnya menyumbang secara anonim.
Panitia Penyambutan Kedatangan Mr. A.A. Maramis dibentuk. Mayoritas beranggotakan pegiat Kawanua. Ada juga dari luarnya, seperti Sunario, juga Achmad Subardjo yang menjadi ketua panitianya.
Panitia bekerja keras, menghubungi instansi-instansi terkait untuk dimintai bantuannya. Di antaranya adalah Sekretariat Kabinet, Departemen Luar Negeri (kini Kementerian Luar Negeri), KBRI, dan PT Garuda. Dana terkumpul, proses bisa jalan.
Hingga akhirnya keinginan Alex terkabul. Pada Minggu sore 27 Juni 1976, Alex menjejakkan kakinya di atas aspal Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta. Putra bangsa yang hilang kini pulang.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar