A.A. Maramis Bergelut dengan Kesehatan
Kesepian di Swiss membuatnya sakit-sakitan. Kepulangan ke Indonesia memperbaiki kesehatannya dan mengembalikannya ke keabadian.
CAHAYA jingga menyembul di langit Bandara Halim Perdanakusuma sore itu. Beberapa tokoh penting dalam sejarah Republik Indonesia tengah menunggu A.A. Maramis pulang. Achmad Subardjo, Sunario, Arnold Monotutu, dan Rachmi Hatta tampak diantaranya.
Hadir pula pejabat Departemen Luar Negeri dan tokoh-tokoh Minahasa dari Paguyuban Kawanua. Para wartawan turut mengintili.
Sebuah pesawat milik Garuda mendarat di landasan pacu, merapat ke sisi terminal, dan berhenti. Sepasang kakek-nenek keluar, tertatih-tatih menuruni tangga pesawat.
Sang kakek terlihat lemah. Dia celingak-celinguk memandang deretan Subardjo dan kawan-kawannya. Dialah Alexander Andries Maramis, salah satu founding father RI yang tersisa. Dia akhirnya pulang ke Indonesia pada Minggu, 27 Juni 1976, setelah malang-melintang di mancanegara.
Sejurus kemudian Alex menghampiri Subardjo dan memeluknya erat. Alex memang sudah menjadi pelupa. Dari sekian banyak orang yang menunggunya di bandara, Dia hanya ingat pada Subardjo.
Tak lama Rachmi menghampiri Alex. ”Ik ben mevrouw Bung Hatta,” (saya ini istri Bung Hatta), ucapnya, seperti termuat dalam Tempo edisi 17 Juli 1976.
Banyak bakti Alex kepada Indonesia. Dia ikut memperjuangkan kebangsaan Indonesia di masa kolonial Belanda melalui Perhimpunan Indonesia. Menjelang kemerdekaan, Alex turut serta dalam BPUPKI, juga dalam Panitia Sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta.
Setelah Indonesia merdeka, Alex menjadi menteri keuangan dalam Kabinet Presidensial, Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II, serta Kabinet Hatta I, dan Menteri Luar Negeri PDRI.
Alex pernah menjadi utusan Indonesia pada Konferensi PBB di Havana (1947-1948) dan menjadi anggota Mahkamah Arbitrase tahun 1950. Kiprah terakhirnya adalah menjadi duta besar Republik Indonesia. Dia berturut-turut menjadi dubes di Filipina, Jerman Barat, Rusia, dan Finlandia.
Karena sederet baktinya, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi Alex penghargaan-penghargaan berupa Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Tingkat III (1960), Bintang Gerilya (1961), dan Pahlawan Kemerdekaan Indonesia (1969).
Menuju Indonesia
Sejak 1957, Alex bersama istri Elizabeth Marie Diena Veldhoedt (Beth) dan anak semata wayangnya Lexy Maramis menetap di Lugano, Swiss. Di sana, Alex hidup kesepian sekian lama. Kesepian membuatnya gampang sakit-sakitan.
Pratisto, dokter ahli bedah otak asal Indonesia yang bermukim di Bern, berbaik hati merawat Alex. Pratistolah yang mendiagnosis bahwa Alex mengidap sakit lantaran kesepian.
Lugano adalah kota ramai. Kerap dikunjungi turis. Namun Alex dan istri jauh betul dari keramaian itu. Karakter masyarakat Swiss yang individualistis membuat Alex semakin merana.
”Siapapun juga kalau hanya beberapa hari atau sebulan, akan mampu baginya mengatasi situasi keterasingan tersebut. Tapi kalau sudah sekian tahun tidak akan ada seorangpun yang sanggup menjalaninya,” tulis F.E.W. Parengkuan dalam A.A. Maramis, S.H berdasarkan pengakuan Pratisto.
Keinginan Alex untuk pulang sudah muncul sejak 1972. Sang istri Beth mengungkapkannya pada Buana Minggu edisi 17 Juli 1976. “Coba saudara bayangkan, bagaimana kalau salah satu dari kami meninggal di tanah yang jauh, sedangkan kami ingin berkubur di negeri tercinta ini,” sebut Beth.
Alex juga menyampaikan keinginannya kepada sang adik, Andries Alexander Maramis (Inyo) di Jakarta dalam surat-suratnya pada 1973. Kepada Inyo, Alex minta dicarikan rumah di bilangan Menteng.
Sunario turut menangkap keinginan Alex ketika berkunjung ke Lugano tahun 1975. Sepulangnya ke Jakarta, Sunario menceritakan keadaan Alex kepada Subardjo dan kelompok Kawanua.
Keinginan Alex untuk pulang terkendala biaya. Perjalanan dari Swiss ke Indonesia itu membutuhkan banyak biaya. Keluarga Kawanua dan sahabat-sahabat Alex di Indonesia urun rembuk. Untuk mencari dana kepulangan Alex, mereka membuat Panitia Penyambutan Kedatangan Mr. A.A. Maramis, yang diketuai oleh Achmad Subardjo.
Panitia mulai bekerja. Rapat-rapat diadakan di rumah keluarga Maramis di Jalan Merdeka Timur 9, Jakarta. Rencana-rencana disusun. Panitia segera meminta bantuan instansi-instansi pemerintah dan swasta terkait. Beberapa di antaranya adalah Sekretariat Kabinet, Departemen Luar Negeri, KBRI, PT. Garuda, dan PT. Djakarta Lloyd. Sebagian anggota Kawanua juga turut menyumbang dana.
Akhirnya dana terkumpul dan persiapan matang. “Menurut rencana ia akan kembali ke tanah air permulaan Mei, tetapi kemudian diundurkan tanggal 26 Juni,” terang Kompas, 12 Mei 1976. Tapi kepulangan Alex pun mundur sehari dari jadwal.
Alex dan istri berangkat dari Lugano dengan pesawat maskapai Swiss Air. Mereka didampingi oleh dokter Pratisto. Sepanjang perjalanan, Alex kerap tidur. Pratisto tak berhenti memeriksa keadaan Alex.
Swiss Air mendarat di Bandara Changi, Singapura. Di sana rombongan Alex beristirahat sejenak. Dari Singapura, pesawat Garuda membawa Alex dan rombongan kembali ke tanah air.
Sesampai di Indonesia, Alex rencananya tinggal sementara di villa di Megamendung, Bogor. Pemerintah yang menyiapkannya. Namun Subardjo menolaknya. Sebab, di sana Alex akan kembali kesepian, seperti dialaminya di Lugano.
“Yang penting ia harus banyak bergaul supaya kesehatannya pulih kembali. Dan di Jakarta ia punya teman dan sanak keluarga,” ucap Subardjo yang dikutip Kompas, 6 Juli 1976.
Beberapa hari kemudian, dokter Pratisto kembali ke Swiss. Perawatan Alex diserahkan kepada tim dokter kepresidenan yang ditunjuk langsung oleh Presiden Soeharto.
Kompas edisi 1 Agustus 1977 menyebut tim dokter kepresidenan mengusulkan Wisma Pertamina di Jakarta Pusat sebagai tempat bermukim Alex dan istri. Pemerintah setuju dan memfasilitasi kebutuhan hidup Alex di Wisma Pertamina.
Kampung Halaman Abadi
Selama di Jakarta, kesehatan Alex sebenarnya cenderung membaik. Tapi suatu hari Alex pingsan di rumahnya subuh hari pada 17 Mei 1977. Sebelumnya, Alex berusaha bangun dari tempat tidurnya dengan bertopang pada kursi. Dia kemudian terjatuh karena kursi tak mampu menopangnya.
“Kursi tempat dia bertahan turut pula roboh dan menimpa tubuhnya sehingga ia berteriak minta tolong,” tulis Parengkuan.
Alex segera dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto dan menginap di ruang Intesive Care Unit (ICU). Alex dirawat tim dokter kepresidenan dan tim dokter RSPAD Gatot Subroto pimpinan dokter Eljasyak Ali.
Alex tidak sadar diri. Dia mengalami pendarahan otak sehingga harus dibantu alat pernafasan. Sepanjang perawatan, kesehatan Alex terus memburuk. Tak ada keterangan tentang apakah setelah Alex dirawat, dia sempat siuman atau tidak.
“Yang jelas bahwa sejak peristiwa itu kesehatannya tidak dapat dikembalikan seperti sedia kala,” ungkap Parengkuan.
Anggota keluarga bergantian menjaga Alex di RS. Antaralain sang kakak Antje Maramis dan keponakannya, Richard Maramis.
Pagi hari, 31 Juli 1977, Richard kembali ke rumah keluarga di Merdeka Timur 9 sehabis menjaga Alex semalaman. Antje akan menggantikannya menjaga.
Hari menjelang siang saat tetiba telepon rumah berdering. Di ujung telepon terdengar perwakilan dari Bina Graha berbicara. Ada kabar duka. Alex Maramis wafat. Menurut tim dokter, Alex wafat pada pukul 09.40 WIB, tak lama setelah Richard pulang.
Pada hari itu juga jenazah Alex dibawa dari rumah sakit untuk disemayamkan di rumah keluarga. Sanak kerabat, kawan-kawan, dan masyarakat berdatangan untuk bertakziah. Presiden RI dan istri turut melayat.
Esok hari, jenazah Alex dibawa ke Gereja Immanuel untuk didoakan dalam prosesi yang berlangsung dari pukul 08.00 hingga 10.00. Kemudian, jenazah dibawa lagi ke kantor Departemen Luar Negeri.
Setelah itu, jenazah Alex dibawa ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta, untuk disemayamkan pada 1 Agustus 1977. Untuk itu, Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Komando Garnisun Ibukota nomor SKEP/42/VIII/19.
Pasukan Kawal Kehormatan Angkatan Darat mengawal iring-iringan jenazah ke TMP. Di TMP, tampak Bung Hatta dan Bung Tomo. Juga para pejabat tinggi Republik Indonesia dari kalangan birokrat dan militer.
Prosesi pemakaman Alex dimulai tepat pukul 13.00 siang. Menteri Sosial RI, M.S. Mintaredja menjadi inspektur upacaranya. Wakil Gubernur Lemhanas Hadi Tajeb dan beberapa pejabat Departemen Luar Negeri turut mengusung peti jenazah dari tempat upacara ke liang lahat dengan diiringi tembakan salvo Pasukan Kawal Kehormatan.
Pemakaman Alex diliput banyak media massa nasional. Kabar kematiannya pun sampai ke Belanda. “Alexander Maramis, menteri keuangan utama Indonesia dan menteri luar negeri di pemerintah Indonesia di pengasingan di New Delhi, telah meninggal di Jakarta pada usia 80,” tulis harian Belanda, De Volkskrant edisi 5 Agustus 1977.
Beth mengenang Alex sebagai sosok suami dan ayah yang baik. Bagi Beth, hidup bersama Alex merupakan pengalaman hidup yang manis.
“Saling pengertian, saling menghargai dan saling menghayati terutama saling mencintai adalah resep perkawinan kami,” ucap Beth yang termuat dalam majalah Kartini, edisi no. 73, Agustus 1977. “Saya akan tetap di sini mendampingi Alex, sampai hayatku terlepas dari badan,” lanjutnya.
Tak lama setelah kematian Alex, pada tahun yang sama juga Beth menyusul pulang kampung ke keabadian.
MURI dan Pahlawan Nasional
Puluhan tahun berlalu setelah Alex wafat. Namanya tenggelam. Tapi pada 2007 nama Alexander Andries Maramis ramai di media massa setelah Museum Rekor Indonesia (MURI) pimpinan Jaya Suprana mendaulat Alex sebagai menteri keuangan di Indonesia yang telah menandatangani banyak mata uang.
Tanda tangan Alex terbubuh pada 15 jenis Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) kertas terbitan 1945-1947.
”Menurut Jaya Suprana, rekor Maramis merupakan rekor abadi karena satu-satunya menkeu yang menandatangani 15 mata uang kertas pada era 1945 hingga 1947,” tulis Antara dalam https://www.antaranews.com/berita/81918/penghargaan-muri-untuk-menkeu-pertama-maramis.
Penghargaan diberikan dalam perayaan Hari Keuangan RI ke-61 yang berlangsung di Gedung Utama Departemen Keuangan, 30 Oktober 2007. Menteri Keuangan Sri Mulyani mewakili MURI memberikan penghargaan tersebut kepada keluarga Maramis.
Sri Mulyani mengakui bahwa Alex punya peran terhadap sejarah Kementerian Keuangan saat ini. Alex pun menjadi teladan di kalangan jajaran pegawai kementerian itu.
”Kami juga berterima kasih kepada keluarga Maramis karena beliau (Alex Maramis) telah memberi contoh dan inspirasi kepada kami,” urai Sri.
Nama Alex Andries Maramis kembali mengharum pada 2019. Presiden Joko Widodo menobatkan Alex sebagai Pahlawan Nasional, pada 7 November. Pengangkatannya tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 120/TK/Tahun 2019.
Meski telah lama berpulang, Alex tak pernah dilupakan.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar