Jejak Permainan Congklak
Permainan tradisional ini bukan untuk menang, tapi menghibur melalui hubungan timbal-balik.
Bu Bei menimang angannya kembali ke masa kanak-kanak. Ketika tengah gandrung bermain congklak dengan menggunakan biji sawo kecik, keasyikan itu terhenti. Ibunya berpikiran lain.
“Kamu tidak pantas main congklak. Kamu sudah gede,” tukas sang ibu yang ingin mempersiapkan anaknya menjadi seorang priyayi.
Begitulah Arswendo Atmowiloto dalam novel Canting memotret kehidupan keluarga priyayi Jawa. Salah satunya kebiasaan bermain congklak.
Congklak atau dakon merupakan permainan tradisional yang populer di Jawa. Ia dimainkan segala umur, lelaki maupun perempuan. Menurut AJ Resink-Wilkens dalam Het Dakonspel (Permainan Dakon), permainan dakon biasa dimainkan anak-anak perempuan dari kalangan bangsawan.
Baca juga: Mengilik Sejarah Adu Jangkrik
Menurut James Dananjaya dalam Folklor Indonesia, permainan ini tersebar luas di Asia dan Afrika, yang terkena pengaruh kebudayaan Islam. Di Srilanka namanya canka, di Semenanjung Melayu disebut conkak, di Filipina cunkayon, dan di Afrika mankala. Sementara dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, Dennys Lombard menyebut permainan ini sama dengan mangala yang terdapat di berbagai tempat lain di Samudera Hindia, Madagaskar, dan Turki, setidaknya sejak abad ke-17.
Dakon, menurut Lombard, berasal dari kata daku atau saya, yang mengesankan penonjolan ego. Ia merupakan contoh terbaik dari permainan tradisional yang nonkompetitif. Tujuannya untuk menghibur melalui hubungan timbal-balik yang menenangkan daripada merangsang sebuah persaingan ilusi. Ketika orang Eropa memainkannya untuk kali pertama, dengan terkejut mereka menyadari bahwa permainan ini berbeda dari “dam-daman” (catur Jawa); tujuan permainan tersebut bukanlah untuk “menang.”
Baca juga: Adu Jangkrik dari Tiongkok ke Nusantara
“Peraturannya memang dibuat demikian rupa sehingga permainan dapat berlangsung berjam-jam dan hanya sekali-kali terhenti karena kekalahan (yaitu habisnya biji di dalam lubang tertentu) salah satu pemain,” tulis Lombard.
Bukti arkeologis mengenai permainan ini ditemukan dalam ekskavasi di Panjunan, Banten, pada 1983 yakni berupa Bidak Congklak Terakota. Pada masanya situs ini merupakan pabrik tembikar. Bidak Congklak Terakota yang terbuat dari tanah liat tersebut kini menjadi koleksi Museum Nasional.
“Artefak tanah liat yang dikategorikan sebagai kebutuhan sekunder antara lain berupa barang permainan seperti congklak…,” tulis Heriyanti Ongkodharma dalam Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684.
Baca juga: Mainan Monopoli dan Tuan Tanah
Tinggalan arkeologis pada masa prasejarah (megalitikum) berupa batu monolit juga disebut batu dakon, mengambil sebutan dari bidak permainan dakon karena kemiripannya. Batu Dakon biasanya berdampingan dengan menhir.
Menurut arkeolog Agus Aris Munandar, ada dua pandangan mengenai fungsi Batu Dakon. Kalangan ahli prasejarah beranggapan lubang di batu itu berfungsi sebagai altar sesajian seperti kembang-kembangan atau biji-bijian. Kalangan lainnya beranggapan fungsinya sebagai proyeksi peta bintang seperti di dataran tinggi India.
“Apakah Batu Dakon punya pertalian dengan permainan dakon tentu harus dilakukan penelitian lebih lanjut,” katanya kepada Historia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar