Memberangus Seksualitas
Skandal homoseksual menghancurkan orang-orang cemerlang dalam sejarah Hindia Belanda.
PADA 25 Mei 1936, masyarakat Belanda gempar. Leopold Abraham Ries, bendahara-kepala Kementerian Keuangan Belanda, ditangkap atas tuduhan melakukan seks homoseksual. Henk Vermeulen, lelaki berusia 17 tahun, mengaku sudah lama menjalin hubungan seksual dengan Ries karena iming-iming uang.
Berdasarkan pengakuan Vermeulen, delapan pejabat tinggi lainnya juga ditahan. Selang beberapa hari kemudian Vermeulen terbukti berbohong. Dari sembilan pejabat yang ditangkap, hanya dua yang bisa dibuktikan. Selebihnya, termasuk Ries, dibebaskan.
Ries dikenal sebagai seorang politisi muda keturunan Yahudi yang tak pernah menutup-nutupi jatidirinya sebagai seorang homoseksual. Meski terbukti tak bersalah, Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum membawa kasus Ries ke Majelis Rendah Belanda. Kali ini mereka mengungkit hubungan homoseksual Ries dengan seorang serdadu yang terjadi 13 tahun sebelumnya. Mereka juga mengajukan bukti-bukti keterlibatan Ries dalam sebuah pesta gay. Pada Desember 1938 dia dipecat.
Menurut Paul Snijder dalam Who’s Who in Gay and Lesbian History: from Antiquity to World War II, kasus Ries menunjukkan keinginan pemerintah Belanda untuk menghancurkan reputasi seorang pejabat homoseksual keturunan Yahudi. Ketika sentimen antihomoseksual meruak, pengaruh Nazi sedang mencengkeram di Belanda. Banyak pejabat tinggi Belanda bersimpati pada pandangan politik Nazi, termasuk soal kebencian mereka terhadap kaum homoseksual.
Sentimen antihomoseksual itu terbawa ke negara jajahannya, bahkan lebih masif. Menurut Onghokham, kampanye witchhunt tersebut tak sepenuhnya bisa dilaksanakan di Negeri Belanda karena harus berhadapan dengan masalah hak asasi kelompok borjuis yang sedang tumbuh. Tapi di Hindia Belanda, para elit politik Belanda bisa menerapkan kebijakan dan politik yang berkedok pada moralitas puritan yang berlaku di zaman Ratu Wilhelmina itu. “Di koloni politik represif itu dapat dilancarkan tanpa kritik dan tantangan yang berarti dari pemerintah kolonial,” tulis Onghokham dalam “Kekuasaan dan Seksualitas” yang dimuat Prisma, Juli 1991.
Di Hindia Belanda, jauh sebelumnya, pejabat-pejabat kolonial menyoroti apa yang mereka sebut sebagai praktik seksual menyimpang, seperti homoseksual. Bagi mereka, sebagaimana dikutip Frances Gouda dalam Dutch Cultures Overseas, ini memperlihatkan kesenjangan moral yang lebar antara pribumi yang berakhlak rendah dan lelaki Belanda yang waras dan bermartabat. Puncaknya, pada 1938, ketika muncul usaha obsesif untuk menyingkap fakta adanya praktik homoseksualitas di masyarakat kolonial kulit putih.
Kejadian ini bermula ketika pada suatu malam seorang pelajar Hogere Burger School (HBS) di Bandung melaporkan ke polisi soal penyerangan dan pemerkosaan salah seorang guru Eropanya.
Isu menjadi skandal besar ketika polisi menangkap seorang bule, pejabat tinggi, di sebuah hotel di Bandung ketika sedang melakukan perbuatan tak senonoh dengan seorang bocah pribumi. Di kantor polisi, orang tersebut membuka identitasnya: Henri Fievez de Malines van Ginkel, residen Batavia. Dia minta bicara dengan komisaris polisi. Informasi in sampai ke telinga residen Priangan lalu gubernur Jawa Barat, yang kemudian menjatuhkan skorsing. Malines meninggalkan jabatannya dan atas kemauan sendiri dia naik kapal meninggalkan Hindia Belanda. Tatkala kapal singgah di pelabuhan Makassar, polisi menangkapnya. Atas perintah Jaksa Agung, dia dibawa kembali ke Batavia, diajukan ke pengadilan, dan dijatuhi hukuman satu setengah tahun di penjara Sukamiskin.
Setelah peristiwa itu, terjadilah penangkapan besar-besaran atas kaum homoseksual di berbagai kota: Batavia, Surabaya, Semarang, Bandung, Cirebon, Cianjur, Salatiga, Magelang, Yogyakarta, Malang, Pamekasan, Medan, Padang, dan Makasar. Gubernur Jenderal A.W.L Tjarda Van Starkenborg Stachouwer setuju dengan tindakan Jaksa Agung yang bermaksud “melenyapkan anasir jahat dari masyarakat”. Dr H.J. van Mook, direktur urusan ekonomi yang kemudian menjadi letnan gubernur jenderal, tak setuju dengan razia itu. Tapi polisi terus melakukan penangkapan. Sebanyak 223 lelaki –sebagian besar orang Eropa– ditahan, diadili, lalu dipenjara dua bulan hingga dua tahun. Sebagian dari mereka memiliki reputasi yang baik sebagai guru, administrator, pejabat, polisi, budayawan, dan seniman.
Asisten Residen W. Ph. Coolhaas, yang juga anggota dewan rakyat (Volksraad), termasuk kena tangkap. Dia pun kembali ke Belanda. Tapi kariernya telanjur hancur. Menurut wartawan Pauline Broekema dalam sebuah artikel berjudul “De Jacht op Homo’s in Indie”, ketika melamar sebuah pekerjaan administrasi, Coolhaas harus lebih dulu memberikan pernyataan bahwa dia telah dirawat oleh seorang psikiater Swiss, sudah menikah dan karenanya “seorang pria normal”, dan bersyukur kepada Tuhan karena telah menemukan “seksualitas yang benar.” Kelak, pada 1945, Coolhaas kembali ke Indonesia, menjadi guru besar sejarah kolonial di Universitas Indonesia, dan menjadi penanggung jawab Arsip Nasional.
Di Bali, polisi menangkap Balinolog Roelof Goris, Herman Noosten, dan seniman Jerman Walter Spies, yang menghidupkan kesenian Bali. Spies dijatuhi hukuman dan kemudian dipenjara pada 1938 hingga 1939. Konon, kekasih Bali Spies kerap bernyanyi diiringi gamelan di luar tembok penjaranya.
Pada 1 Maret 1939, pelukis Rudolf Bonnet merasa sangat prihatin dengan penghinaan dan penderitaan yang menimpa teman-teman dekatnya. Sebagaimana dikutip Frances Gouda, Bonnet menulis dari Ubud, kepada Jaap Kunst, seorang ahli etnomusikologi di negeri Belanda, “Saya akhirnya melihat dengan jelas apa nilai manusia: baik para lelaki dalam semua tindakan buruknya yang egois, atau mereka yang pada saat berbahaya bangkit dalam kegembiraan spiritual dan keagungan di dalam jiwanya.” Bonnet juga menyebutkan bahwa polisi Belanda memperlakukan orang-orang Bali dengan sangat kasar.
Tom Boellstorff dalam The Gay Archipelago, mengutip Harry J Benda dan Benedict Anderson, mengatakan peristiwa itu membuktikan bahwa fenomena homoseksualitas cukup menonjol sehingga mendapatkan perhatian dari para pejabat kolonial ketika masa depan koloni sedang dipertanyakan. Hubungan seks sesama lelaki dianggap sama mengancamnya dengan hierarki rasial yang menjadi dasar seluruh eksistensi kolonial. Homoseksualitas dianggap sebuah bentuk koneksi global yang mengancam keteraturan sosial.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar