Gombloh Berbagi BH
Kisah kepedulian Gombloh terhadap para penjaja seks. Tak sedikit karyanya terinspirasi dari lokalisasi.
MAKAM di Kompleks Permakaman Islam Tembok Gede, Surabaya itu kondisinya menyedihkan ketika Historia mengunjunginya, Jumat 9 November 2018. Keramik merah berundak tiga di tubuhnya kusam.
“Ya beginilah kondisinya, walau kompleks pemakaman ini di bawah Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau Pemkot Surabaya. Dibersihkan kalau keluarga biasanya ziarah sebelum bulan puasa. Begitu juga kalau beberapa musisi lokal berziarah pas Hari Musik 9 Maret. Patung torso-nya saja di Taman Hiburan Rakyat hanya dijadikan jemuran sama masyarakat setempat,” terang Dhahana Adi Pungkas alias Ipung, penulis Surabaya Punya Cerita saat menemani Historia berziarah.
Kondisi itu mungkin sama buruknya dengan kehidupan para pekerja seks komersial (PSK). Mereka, para PSK, itulah yang mendapat perhatian besar dari “si pemilik” makam selama hidupnya. Ya, Gombloh, musisi legendaris tanah air, itu sepanjang hidupnya mendedikasikan diri untuk membantu PSK dan wong cilik lain.
Gombloh dan Kehidupan Malam
Meski mayoritas masyarakat memandang jijik para PSK, musisi legendaris Gombloh justru sebaliknya. “Dia sangat peduli dan menganggap banyak PSK teman-temannya sendiri,” lanjut Ipung.
Musikus bernama asli Sudjarwoto Sumarsono itu tak suka membeda-bedakan kelas sosial meski namanya sohor di seluruh Indonesia. Gombloh yang lahir di Jombang pada 14 Juli 1948, datang dari keluarga kelas bawah. Ayahnya seorang pedagang ayam.
Baca juga: Musikalitas seorang Freddie Mercury yang tiada tara
Gombloh memahami betul kehidupan di akar rumput. Selain gandrung bergaul dengan seniman di Balai Pemuda Surabaya, di masa mudanya Gombloh getol nongkrong di berbagai klab malam dan lokalisasi di Bangunrejo, Surabaya. “Ya sekadar menghabiskan malam, mendengar banyak curhat,” sambung Ipung.
Kedekatannya dengan PSK makin menumbuhkan jiwa sosial Gombloh. Pada medio 1979, Gombloh menyisihkan sebagian pendapatannya dari manggung di beberapa kafe, diskotek, dan pentas seni untuk membeli sejumlah BH alias bra. BH-BH itu lalu diberikannya pada para PSK Bangunrejo lantaran mayoritas mereka tak mampu membeli BH sehingga tak mengenakannya saat menjajakan diri.
“Setiap Gombloh manggung dan dapat honor, dia selalu menyisihkan. Sebagian buat beli rokok, sebagian untuk beli BH. Almarhum Sys NS juga pernah bilang bahwa dia beli BH sampai se-becak penuh. Jadi satu becak itu BH-nya dibagi-bagikan ke PSK. Gombloh merasa PSK juga manusia dan punya hak untuk melindungi organ tubuhnya,” tambah Ipung lagi.
Dalam kesempatan lain, Gombloh mendapat kabar ada seorang PSK di daerah Jarak yang sakit parah. Bersama Djoko Suud Sukahar rekannya, dia langsung mendatanginya. Gombloh pun menanyakan keluhan perempuan itu layaknya dokter dan menyuruh perempuan itu berobat ke dokter. “Biaya dokter ditanggung sepenuhnya oleh Gombloh,” kata Ipung dalam bukunya.
Pusara Gombloh di Makam Islam Tembok Gede. (Randy Wirayudha/Historia).
Tak heran ketika Gombloh meninggal dunia pada 9 Januari 1988 akibat sakit paru-paru, bukan hanya seniman yang merasa kehilangan tapi juga para PSK dan kalangan wong cilik lain. “Bisa dibilang peristiwa kematian Gombloh iring-iringannya salah satu yang terbesar di Surabaya setelah Bung Tomo, Dr. Sutomo, dan Purnomo Kasidi. Gombloh lebih dari sekadar musisi, dia milik rakyat Surabaya, milik bangsa Indonesia juga,” kata Ipung.
Dunia Malam Inpirasi Lagu Gombloh
Kehidupan dunia malam merupakan inspirasi bagi Gombloh dalam menulis lagu. Pada akhir 1970-an, Gombloh dan band The Lemon Tree’s Anno ’69 mulai bikin banyak lagu. Dari 1978-1979, mereka bahkan menelurkan album Nadia & Atmospheer dan Mawar Desa (1978) serta Kadar Bangsaku dan Kebyar-Kebyar (1979)
Mengutip Musisiku terbitan Republika dan Komunitas Pecinta Musik Indonesia (KPMI), beberapa lagu Gombloh menceritakan tentang berbagai kehidupan masyarakat arus bawah, termasuk PSK. Di antaranya, “Loni”, “Pelacur dan Pelacurku”, “Doa Seorang Pelacur”, “Poligami Poligami”.
Dhahana Adi Pungkas alias Ipung. (Randy Wirayudha/Historia).
“Murni memang kepedulian sosial. Dia memang seniman, musisi, tapi enggak ngartis. Gombloh merasa bukan siapa-siapa. Dia merasa bisa seperti ini juga berangkat dari masyarakat bawah. Otomatis jiwanya itu terbawa terus,” kata Ipung.
Namun, lagu-lagu Gombloh tak melulu soal keseharian. Lagu tentang kepedulian alamnya, “Berita Cuaca”, hingga kini masih kerap diperdengarkan. Beberapa tahun lalu lagu itu diaransemen ulang oleh band Boomerang.
Baca juga: Sejarah K-Pop yang mengglobal dari Korea menembus dunia
Lagu tentang nasionalisme, “Kebyar-Kebyar”, tak kalah greget. Hingga kini, lagu tersebut acap diperdengarkan dalam beragam event yang terkait dengan bangsa, seperti di pertandingan sepakbola. “Dikasih judul “Kebyar-Kebyar” itu maksudnya lampu yang kebyar-kebyar. Di lokalisasi itu kan ada kafe Gombloh biasa menghabiskan malam. Di kafe itu lampunya gemerlapan begitu. Maksudnya di sini lampunya yang kebyar-kebyar,” lanjut Ipung.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar