Naluri Mengubur Mayat
Siapa yang punya ide mengubur orang meninggal?
Lima tahun lalu dunia paleoantropologi dikejutkan dengan temuan sisa belulang misterius di kedalaman gua di Afrika Selatan. Tulang belulang yang memfosil itu dengan cepat dikenali sebagai spesies manusia baru. Ia dikenal sebagai Homo naledi.
Naledi punya campuran ciri manusia awal, mirip dengan Homo erectus yang eksis 1,5 juta tahun lalu, sekaligus modern. Termasuk volume otaknya yang cukup kecil.
Menariknya, titik di mana sisa tulang itu ditemukan jauh dari mulut gua. Ruangannya hanya bisa diakses lewat lorong sempit yang gelap. Untuk melewati celah selebar 20 cm itu harus memanjat secara vertical dan merangkak.
Tentu tempat itu mustahil untuk hidup. Karenanya para peneliti meyakini tulang belulang itu sengaja di bawa ke sana untuk dikebumikan. Kedalaman gua dijadikan kuburan.
Dugaan itu pun memulai diskusi baru. Bagi para antropolog, ritual pemakaman berkaitan dengan munculnya sifat unik yang mencirikan manusia. Terutama dalam hal berpikir secara simbolis. “Pemikiran simbolis memberi kita kemampuan untuk melampaui masa kini, mengingat masa lalu, dan memvisualisasikan masa depan,” kata Paige Madison, paleoantropolog dalam laman Sapiens.
Baca juga: Menggali Sejarah Pemakaman
Ritual pemakaman menunjukkan adanya perilaku spiritual. Ini memungkinkan para ilmuan mengkaitkannya dengan kepercayaan, nilai-nilai, dan ide rumit lainnya.
“Bersedih atas kematian melibatkan ingatan masa lalu dan membayangkan masa depan di mana kita juga akan mati. Bayangan ini diyakini cukup kompleks untuk direnungkan,” kata Madison.
Asumsinya kemudian adalah ritual kematian hanya bisa dipraktikkan oleh manusia modern yang punya perangkat otak memadai. Ritual itu dilakukan oleh kerabat terdekatnya.
Karenanya kemungkinan Naledi yang bervolume otak lebih kecil bisa terlibat dalam ritual pemakaman mayat secara sengaja pun cukup mencengangkan. “Itu mengganggu keseluruhan pemikiran konvensional soal perbedaan antara manusia modern dan spesies manusia sebelumnya dan secara luas, perbedaan antara kita (manusia, red.) dengan seluruh alam,” jelas Madison.
Homo neanderthalensis
Sebenarnya, perdebatan sudah dimulai sejak 1908. Pemikiran kalau hanya manusia modern yang bisa memikirkan ide menguburkan kawannya diuji dengan temuan kerangka Neanderthal yang cukup lengkap di dekat La Chapelle-aux-Saints di Prancis.
Para penemu berpendapat bahwa kerangka itu jelas telah sengaja dimakamkan. Bagi mereka, tampak seolah-olah kuburan itu telah digali, tubuhnya sengaja diletakkan di dalam posisi seperti janin.
“Banyak ilmuwan kontemporer tetap meragukan interpretasi ini dan langsung menolak bukti. Perdebatan tentang penguburan La Chapelle Neanderthal berlanjut hingga hari ini,” catat Madison.
Sejak penemuan pertama fosil Neanderthal pada 1856 di Lembah Neander, Jerman, spesies ini telah menempati hubungan yang ambigu dengan manusia. Neanderthal adalah spesies yang paling dekat dengan manusia modern.
Awalnya Neanderthal dianggap sebagai makhluk yang jauh dari manusiawi. Mereka dikenal kasar dan bahkan belum berdiri tegak.
Namun kemudian berubah. Terutama setelah penemuan pada 1960 di Gua Shanidar, Irak. Di sana muncul bukti adanya pemakaman Neanderthal. Seperti yang diungkap Lutfi Yondri dari Balai Arkeologi Bandung di “Situs Bawahparit: Jejak Penguburan Masa Transisi” yang diterbitkan Jurnal Lektur Keagamaan, di antaranya ada satu makam yang sangat menarik. Di sekeliling individu yang dimakamkan, terdapat sampel tanah yang mengandung serbuk sari dan bekal kubur berupa alat-alat.
Ralph Solecki, pemimpin tim dan antropolog Universitas Columbia, menganalisis serbuk sari itu sebagai bukti kalau tadinya bunga berwarna-warni ditempatkan di kuburan ketika Neanderthal dimakamkan. “Ini merupakan gaya manusia yang sangat modern,” sebut Madison.
Baca juga: Ganja untuk Ritual Pemakaman
Sayangnya, hipotesis itu runtuh ketika akhirnya diketahui kalau serbuk sari di sekitar fosil terbawa oleh tikus tanah. Kendati pada akhirnya para ilmuan berkomentar mungkin keberadaan sisa-sisa bunga itu pun bukan kebetulan belaka.
Saat ini, sebagian besar ilmuwan setuju bahwa Neanderthal memang menguburkan mayat mereka. Setidaknya beberapa Neanderthal melakukannya.
Pertanyaannya, apakah Neanderthal juga berpikir tentang kematian dengan cara yang mirip dengan manusia modern, yaitu dengan pikiran spiritual? Atau apakah pemakaman dijadikan solusi praktis agar mayat tak membusuk di tengah manusia hidup?
Para antropolog pun sepakat lewat bukti bekal kubur yang juga menyertai kuburan Neanderthal itu, artinya memang ada tanda-tanda ritual yang menyertainya. Madison mengungkapkan, bukanlah muluk-muluk jika membayangkan bahwa Neanderthal memiliki kapasitas untuk menguburkan mayat mereka dengan alasan yang sama seperti yang manusia modern lakukan. Mereka memiliki otak yang sangat besar. Volume otak Homo Neanderthalensis dewasa bisa mencapai 1.520 sentimeter kubik. Adapun Homo sapiens dewasa hanya 1.195 sentimeter kubik.
“Dapat dibayangkan bahwa mereka juga sama kompleksnya dengan manusia,” kata dia.
Sampai sini, argumen kalau hanya hominin berotak besar yang mampu melakukan aktivitas simbolik ini masih bisa bertahan.
Hakikat Manusia
Namun, dengan temuan Homo naledi cerita baru pun muncul. Otaknya kurang dari setengah ukuran otak manusia modern. Karenanya, Madison melanjutkan, lebih mudah untuk membayangkan bahwa makhluk-makhluk ini membuang mayat mereka untuk alasan praktis daripada alasan simbolik.
Pertanyaan selanjutnya, untuk apa naledi harus melalui semua kesulitan membawa mayat melalui kegelapan gua yang sempit? Mungkin artinya, naledi yang mirip Homo erectus itu pun sebenarnya berperilaku kompleks dan sangat emosional.
Dari sini, bisa jadi ritual penguburan mayat sebenarnya tak sedemikian unik, sehingga bukan hanya makhluk yang disebut manusialah yang bisa melakukannya. Lebih jauh lagi, Madison memaparkan, dalam beberapa dekade terakhir para ilmuwan telah menyadari bahwa ciri-ciri khas "manusia" sebenarnya muncul sedikit demi sedikit. Artinya, itu bukan datang dalam satu paket melainkan berkembang sejalan dengan proses evolusi.
Ini bukan pertama kalinya perilaku khas “manusia” ternyata juga dimiliki spesies lain. Sampai 1960-an, pembuatan alat secara luas dianggap sebagai sesuatu yang mencirikan manusia. Anggapan itu hilang setelah ahli etologi, Jane Goodall menemukan kalau simpanse pun mampu memodifikasi bahan untuk membuat alat mereka sendiri.
“Dengan melepaskan kepercayaan pada keunikan perilaku kita, kita mungkin dapat melihat bagaimana kecenderungan memandang diri kita sebagai orang yang sangat istimewa sehingga mengasingkan kita dari keluarga primata yang lain, dan bahkan dari semua evolusi,” ungkap Madison.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar