Masuk Daftar
My Getplus

Takdir Waria di Persimpangan Jalan

Sosok waria berakar pada kesenian tradisional. Perubahan zaman memojokkan mereka. Bertekad kembali ke masyarakat dengan pendidikan.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 26 Feb 2016
Benyamin S. membintangi film "Betty Bencong Slebor" (1978). (Sampul buku Ben Murtagh, Genders and Sexualities in Indonesian Cinema).

Masih pukul 10 pagi. “Salon Mami Yulie” di Cilandak, Jakarta Selatan, belum kedatangan tamu. Ruangan salon kelihatan sempit. Peralatan salon memenuhi ruangan. Foto dan piagam penghargaan tergantung rapi di tiap sudut tembok. Tiga foto berlatar kota-kota di Perancis. Keterangan foto bertuliskan “Festival Film Duoarnenez Perancis 2014”.

Yulianus Rettoblaut, 54 tahun, pemilik “Salon Mami Yulie”, menceritakan kisah di balik tiga foto berlatar kota di Perancis. “Aku ke Perancis untuk berbicara bagaimana tentang kehidupan waria di Indonesia,” kata Mami Yulie, panggilan karib Yulianus.

Mami Yulie seorang waria sekaligus pembela hak-hak waria. Dia berpakaian perempuan dalam keseharian. Dia juga memperjuangkan hak-hak dasar waria sebagai warga negara : hak bekerja, berpolitik praktis, mendapat pendidikan, dan menerima jaminan kesehatan.

Advertising
Advertising

Baca juga: Cara Ali Sadikin Hadapi Waria

Mami Yulie berandil dalam pembuatan dua film dokumenter. Pertama, tentang rumah singgah untuk waria jompo. Kedua, sekitar kehidupan waria di Indonesia. Ide cerita film pertama berasal dari perjuangan Mami Yulie membangun rumah singgah untuk waria jompo pada 2010. Di film kedua, Mami tampil menjadi juru bicara kaum waria. Dua film itu membawa Mami ke Perancis.

“Orang Perancis heran, ‘kok waria bisa ya, berkeliaran bebas di negeri mayoritas muslim? Di negeri kami, mereka tak sebebas di negeri kamu.’ Uniknya, pada sisi lain, orang Indonesia kerap menolak, mengejek, dan merendahkan mereka,” ungkap Mami.

Mami mempelajari ilmu hukum untuk membela waria. Baginya pendidikan sangat penting. Pendidikan bikin artikulasi gagasan Mami lebih terstruktur dan terang. Dia fasih berbicara di pelbagai forum untuk menggugah kesadaran masyarakat terhadap waria. “Saya menjelaskan ke mereka tentang identitas, peran, dan posisi waria di Indonesia. Waria itu sudah lama ada di sini. Itu fakta sosial,” tutur Mami.

Berakar di Kesenian Tradisional

Orang Indonesia punya konsep percampuran unsur lelaki dan perempuan dalam satu tubuh. Konsep itu lekat dengan kepercayaan dan tradisi lokal. “Di sebagian masyarakat ada ide bahwa orang bisa mengombinasikan unsur-unsur wanita dan lelaki adalah manusia yang luar biasa,” tulis Benedict Anderson dalam “Dari Tjentini Sampai Gaya Nusantara”, kata pengantar buku Memberi Suara Pada Yang Bisu karya Dede Oetomo.

Patung Ardhanari dan Bissu contoh kombinasi unsur perempuan dan lelaki. Ardhanari patung dewaraja pada masa Kerajaan Majapahit. Sebelah kanan berwujud laki-laki, bagian kiri berupa perempuan. Bissu berasal dari Kerajaan Sulawesi pra-Islam. Wujudnya setengah laki, setengah perempuan. Mereka menjadi dukun sakti penyampai pesan para dewa.

Baca juga: Toleransi Gender di Masyarakat Sulawesi Selatan

Percampuran lelaki dan perempuan dalam satu tubuh lalu mewujud ke kesenian. Reog Ponorogo, kesenian khas Jawa Timur dari abad ke-13, mengenal pergemblakan. Istilah ini merujuk pada kebiasaan para seniman reog (warog) memelihara anak muda nan rupawan. Mereka mendadani anak muda itu selayaknya perempuan. Muncullah istilah gemblak. Warog dan gemblak kadangkala berhubungan seks satu sama lain.

Nun di ujung barat, orang Aceh melahirkan kesenian Rateb Sadati. Snouck Hurgronje, dalam The Achehnese, menggambarkan penampil kesenian ini. Antara lain seorang anak lelaki tampan dengan dandanan mirip perempuan. Namanya Sadati.

Sulawesi pun punya istilah sendiri untuk menyebut lelaki berpakaian perempuan. “…Kawe-kawe dan Calabai merupakan istilah lokal untuk waria..,” tulis Tom Boellstorff dalam “Playing Back the Nation : Waria, Indonesian Transvestites” termuat di Jurnal Cultural Anthropology Vol. 19, No. 2 (2004). Kawe-kawe dan Calabai bisa menjadi Bissu asalkan mau menerima latihan keras. Aktivitas mereka terangkum dalam catatan pelancong dari negeri Barat pada abad ke-14.

Baca juga: Seni dan Seksualitas

Lalu apakah semua seniman laki-laki itu juga berpakaian perempuan dalam kesehariannya di luar ranah kesenian? Tidak mesti. Tradisi setempat tak membuka ruang laki-laki bertingkah layaknya perempuan dalam keseharian. Maka kebanyakan mereka tetap menjadi lelaki. Baik tingkahpolah maupun pakaiannya.

Penguasaan Belanda atas sejumlah wilayah di Nusantara memperketat perihal susila. Homoseksual saja laku terlarang, apalagi laki-laki berdandan menyerupai perempuan dan tampil di khalayak! Belanda hanya mengizinkan polah demikian hidup dalam ranah kesenian. Misalnya pada 1830-an, kelompok Bantji Batavia leluasa menghibur khalayak.

“Penampilnya lelaki muda berpakaian serupa perempuan, kadangkala mengenakan busana Barat dengan kaus kaki panjang dan gelang di sekitar mata kaki,” tulis Pauline Dublin Milone dalam Queen City of the East: The Metamorphosis of a Colonial Capital, disertasi pada University of California Berkeley.

Hiburan sejenis Bantji Batavia muncul pula di Surabaya, Bali, dan Sumatra. Tiap hiburan punya istilah berbeda untuk menyebut penampil laki-laki berpakaian perempuan. Tergantung tempatnya. Ada Papaq, Kedi, dan Roebia di wilayah Melayu; Wandu di Jawa; dan Bentji di Bali. Istilah-istilah itu kemudian mengkhalayak seiring dengan perubahan posisi bantji, kedi, papaq, roebia, dan bentji : dari penghibur panggung menjadi pekerja seks jalanan.

Baca juga: Membebaskan yang Marjinal

Kehadiran banci pekerja seks tersua dalam koran-koran di Batavia pada akhir abad ke-19. Susan Blackburn, dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun, mengungkapkan harian Sinar Terang edisi 2 Maret 1889 dan Pembrita Betawi edisi 13 Mei 1901 menulis persoalan banci di Tanah Sareal, Petojo, dan Kebon Jahe. Banci gejala umum di Batavia pada awal abad ke-20. Bahkan, menurut Susan Blackburn, ada satu kampung muncul dari sebuah permukiman banci.

Banci menjajakan diri secara mengindap-indap. Kebanyakan pelanggannya orang Belanda. Sebab menurut banci, tak seorang bumiputera pun senang dengan layanan mereka.

Hukum susila di Hindia Belanda melarang keras prostitusi jalanan. Termasuk prostitusi banci. Maka mereka tersapu oleh razia polisi susila. Banci menghilang sementara.

Kemerdekaan Indonesia membuka sedikit celah bagi mereka untuk tampil lebih berani di hadapan khalayak. “Biasanya mereka berpraktek di Burgemeester Bisschopplein, di Logeplantsoen atau di Lembangmeer, jadi di tempat-tempat umum yang letaknya di tengah-tengah wijk (kampung) Menteng, yang terkenal sebagai wijk Belanda yang paling bagus,” tulis Siasat, 20 Mei 1951.

Baca juga: Viva Vivian!

Mengetahui banci tampil terang-terangan, polisi mengadakan razia. Banci berlarian ke sana-sini menghindari razia. Toh akhirnya delapan banci tertangkap juga. Penangkapan itu jadi berkah tersembunyi bagi mereka. Kuli tinta mewawancara mereka di kantor polisi, bermaksud mengudar kehidupan pelik mereka.

Dan banci mulai bercerita tentang diri mereka. Bukan hanya sebagai lelaki berpakaian perempuan, melainkan juga sebagai lelaki berjiwa perempuan. Mereka mengaku terperangkap dalam tubuh laki-laki.

“Kebanyakan dari para banci itu menyatakan bahwa kebanciannya itu telah terasa sejak mereka masih kecil. Inilah menyebabkan bahwa mereka tidak pernah mengenal perasaaan sebagai lelaki,” tulis Siasat. Secara seksual, orientasi mereka tertuju pada lelaki. Bukan perempuan. Hanya sedikit banci memilih berhubungan seks dengan perempuan.

Banci mencoba jujur menunjukkan identitasnya pada keluarga. Berharap keluarga mau mengerti mereka. Mendengar pengakuan itu, keluarga marah. Tak menerima kenyataan, keluarga mengusir banci-banci dari rumah.

Banci kehilangan pendidikan, pekerjaan, dan tempat berlindung. Membaur ke masyarakat pun sulit. Masyarakat memberondong mereka dengan sumpah-serapah. Menghina mereka dengan memelesetkan banci sebagai bandule cilik (testisnya kecil). Lain waktu, masyarakat mengaitkan banci dengan kepengecutan.

Baca juga: Waria Penunjuk Jalan Jenderal Soedirman

Banci pun terpojok di sudut kehidupan. “Penghidupan para banci itu sangat sulit pula akibat gencetan ekonomi dan sosial,” tulis Siasat. Untuk bertahan hidup tanpa pendidikan dan keahlian memadai, mereka menerapkan strategi sederhana : menjual tubuh di jalanan. Dan jalanan membentuk solidaritas antar banci. Kuat dan guyub.

Banci bertemu, saling membantu, dan bahkan membuat bahasa baru untuk kalangan mereka di jalanan. Mereka menilai kata ‘banci’ sangat menyakitkan. Sebab ‘banci’ sudah jadi bahan ejekan. Mereka sepakat memperkenalkan istilah baru untuk menyebut diri mereka: bencong. Pergeseran dari ‘banci’ dengan menambahkan sisipan –e dan akhiran –ong.

Istilah bencong menguat pada dekade 1960-an, sejalan dengan pertumbuhan populasi banci.

Benedict Anderson, seorang peneliti muda asal Amerika Serikat dan kelak menjadi indonesianis terkemuka di dunia, menjadi saksi mata pertumbuhan bencong pada awal 1962.

“Dan kalau jalan-jalan pada malam hari di Jakarta, sering juga terlihat banci-banci berkeliaran yang betul-betul cantik. Dan sering setengah kelakar dipuji kecantikannya oleh teman-teman saya yang wanita,” tulis Benedict Anderson dalam pengantar buku Memberi Suara Pada yang Bisu.

TAG

lgbt waria

ARTIKEL TERKAIT

Bandul Stigma yang Berbahaya Darah Aktivis Kamala Harris Cara Bang Ali Hadapi Waria Pyonsa dan Perlawanan Rakyat Korea Terhadap Penjajahan Jepang Benshi, Suara di Balik Film Bisu Jepang Pesta Seks Tukar Pasangan Tempo Dulu Gara-gara Iklan Pertunangan Palsu Awal Mula Biro Iklan Mencari Pasangan Lewat Koran Pengemis dan Kapten Sanjoto