PADA 1973, kawan-kawan seperjuangan Margonda sering datang ke rumah menemui Maemunah. Mereka berencana mengusulkan Margonda sebagai nama jalan.
“Dalam perbincangan itu, samar-samar saya dengar, kawan-kawan ayah sedang mengusulkan kepada Departemen Sosial beberapa nama kawan seperjuangan yang telah gugur agar diabadikan menjadi nama jalan. Termasuk nama Margonda,” kata Jopiatini kepada Historia.
Usul itu disetujui. Nama Margonda diabadikan menjadi nama jalan di Depok, yang saat itu masih menjadi bagian dari wilayah Bogor.
Baca juga: Margonda Sang Legenda Revolusi
Kala itu, Margonda hanyalah jalan kecil, belum sebesar sekarang. Sebelum bernama Margonda, jalan itu lebih dikenal sebagai Jalan Pintu Air. Jalan setapak itu kemudian menjadi jalan raya besar.
Lulus dari Universitas Indonesia, Jopiatini menikah dengan Abu Hanifah, seorang tentara Angkatan Laut. Mereka dikarunia seorang anak laki-laki bernama Teguh Hassanudin. Suatu hari, sekira tahun 2000-an, mereka melancong ke Depok. Mereka makan di restoran Bakmi Margonda.
“Waktu kami makan di Bakmi Margonda, ibu bertanya kepada pelayan restoran; ini restoran kok pakai nama suami saya?” kata Jopiatini, “Seloroh ibu sambil tertawa. Pelayan itu bisa jadi menganggap itu hanya guyonan saja.”
Sehabis dari restoran, sebelum kembali ke rumah, Abu Hanifah mengusulkan agar ibu mertuanya berpose di plang Jalan Margonda. Usul itu sebenarnya sering dilontarkan. Namun baru kali itu Maemunah bersedia. Beberapa waktu kemudian Maemunah berpulang menyusul Margonda.
Baca juga: Kisah Cinta Margonda
Dalam buku Yasin mengenang ibunya, Jopiatini menulis puisi berjudul “Bundaku.” Syairnya menggambarkan penantian ibunya yang penuh harap akan kedatangan Margonda dari medan juang:
Teringat dan tersayat hatiku/Berpuluh tahun lalu ketika ku masih balita/Tertatih-tatih di pegang erat tanganku/Barisan tentara berbaju hijau/Melintas terus berlalu/Siapa tahu ada ayahku
Lubuk hati bunda risau tak terjawab/Bayangpun tak tertinggal di situ/Ayahku tertembak penjajah ibu pertiwi/Terkubur di belantara Kalibata/Tak ketemu/Tak ada satupun nisan nama ayahku/Tapi bunda setia menunggu/Sampai maut menyapa.