Masuk Daftar
My Getplus

Perjalanan Rahasia dari Pegangsaan Timur

Kisah menegangkan saat para petinggi Republik di Jakarta memutuskan untuk berhijrah ke Yogyakarta.

Oleh: Hendi Johari | 07 Des 2019
Bung Karno disambut rakyat di sebuah halte kereta api (IPPHOS)

Henriete Josefine Mans masih mengingat kejadian malam itu. Bersama ayah, ibu dan adik-adiknya, putri pertama dari tokoh pejuang Maluku Johannes Latuharhary itu termasuk dalam rombongan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia (RI) yang ikut hijrah ke Yogyakarta.

“Kami naik kereta api diam-diam dari belakang rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur. Selama di kereta api, lampu-lampu dimatikan dan kami harus diam sama sekali. Sampai-sampai saat seorang adik saya merengek minta makanan, saya bekap mulutnya pakai tangan,” kenang perempuan kelahiran Surabaya pada 15 Juni 1932 itu.

Pengalaman Henriete dibenarkan oleh Presiden Sukarno. Dalam biografinya Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (disusun oleh Cindy Adams), sang presiden memutuskan untuk meninggalkan Jakarta karena merasa situasi sudah tidak aman lagi bagi penyelenggaraan pemerintahannya.

Advertising
Advertising

“Jakarta sudah begitu gawat. Tanpa kesatuan polisi yang kuat, kami tak dapat menandingi NICA,” ujar Presiden Sukarno.

Baca juga: Membebaskan Sultan Yogyakarta

Untuk menggantikan peran Jakarta, Bung Karno menyebut Yogyakarta sebagai tempat yang paling cocok. Selain sultan dan rakyatnya mendukung 100% Republik, juga secara geografis wilayah itu merupakan pusatnya Pulau Jawa.

Maka pada 4 Januari 1946, dikirimlah serangkaian kereta api ke belakang rumah Bung Karno. Secara rahasia, sekira  jam 8 malam kereta pun bergerak membawa para petinggi RI dan keluarganya menuju Yogyakarta.

“Seandainya kami ketahuan, seluruh (pejabat) negara dapat dihancurkan (hanya) dengan satu granat,”ungkap Sukarno.

Perjalanan menuju Yogyakarta berlangsung sangat menegangkan. Menurut Hasjim Ning (salah satu penumpang yang ada dalam kereta api rahasia tersebut), sejak dari Pegangsaan Timur lampu di semua rangkaian sengaja dimatikan. Seluruh jendela pun ditutup rapat.

“Kami terdiam dalam gelap malam. Dengusan lokomotif dan benturan roda pada sambungan rel demikian keras terasa kereta api seperti keong berjalan,” kenang Hasjim Ning dalam biografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang (disusun oleh A.A.Navis).

Baca juga: Kantor Sultan Yogyakarta Diserbu Belanda

Suasana semakin tegang, manakala kereta api mendekati Stasiun Kranji. Di stasiun yang merupakan pos terdepan tentara Inggris itu rupanya ada kewajiban setiap kereta api yang keluar masuk Jakarta harus berhenti guna dilakukan pemeriksaan. Kereta api yang ditumpangi rombongan Presiden Sukarno pun tak terkecuali harus berhenti dan menjalani pemeriksaan oleh para serdadu Inggris dan tentara Belanda (NICA).

Suasana senyap meliputi seluruh rangkaian, saat beberapa serdadu datang mendekat dengan menyenter-nyenter ke setiap gerbong. Cahaya senternya menembus celah-celah jendela. Tapi anehnya, mereka tidak memeriksa hingga naik ke atas gerbong. Usai melakukan pemeriksaan seperlunya, kereta api pun dipersilakan jalan kembali.

Selepas Stasiun Kranji, seluruh penumpang baru  bisa bernafas lega. Lampu-lampu di setiap rangkaian pun dinyalakan sehingga satu sama lain bisa menyaksikan sisa-sisa ketegangan di wajah-wajah masing-masing.

“Aku yang biasa berkelakar untuk mengatasi kesulitan dalam diriku sendiri, (saat itu) tidak berani memulainya,”ujar Hasjim.

Menurut Hasjim, dirinya tidak yakin jika pihak tentara Inggris dan NICA tidak mengetahui sama sekali mengenai keberangkatan diam-diam para petinggi Republik itu. Terlebih Inggris, yang terkenal akan kelihaian para intel-nya. Lantas mengapa mereka membiarkan Presiden Sukarno dan rombongannya berlalu begitu saja?

Baca juga: Tahun Baru, Ibukota Pindah Yogyakarta

Hasjim yakin NICA tidak punya nyali menyerang rombongan Presiden Sukarno. Inggris pun tidak ingin mendapat reputasi buruk di mata internasional jika kemudian saat mereka memaksakan untuk menangkap para petinggi Republik itu lalu terjadi perlawanan keras yang menimbulkan korban jiwa.

Tiba di Stasiun Bekasi, kereta api berhenti agak lama karena lokomotifnya memerlukan tambahan kayu bakar dan air untuk ketelnya  yang menghasuilkan uap penggerak. Hal yang sama juga dilakukan di Stasiun Cikampek dan juga Stasiun Cirebon.

Setelah berjam-jam di atas kereta api, maka pada pagi hari 5 Januari 1946, sampailah rombongan Presiden Sukarno di Stasiun Tugu Yogyakarta. Kedatangan rombongan para petinggi Republik itu disambut bukan saja oleh Sri Sultan Hambengkubuwono IX, juga oleh ratusan rakyat Yogyakarta yang ingin melihat wajah presiden-nya.

TAG

transportasi kereta api sukarno yogyakarta

ARTIKEL TERKAIT

Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Jenderal Kehormatan Pertama Supersemar Supersamar Insiden Menghebohkan di Stasiun Kroya Pemilu di Wilayah Kesultanan Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Kemaritiman Era Sukarno Obrolan Tak Nyambung Sukarno dengan Eisenhower D.I. Pandjaitan Dimarahi Bung Karno