Pada 4 April 1972, pesawat Vickers Viscount 613 Merpati Nusantara Airlines (MNA) dengan nomor penerbangan MZ-171 terbang dari Surabaya menuju Jakarta. Pesawat bernama “Merauke” itu diterbangkan oleh pilot Kapten Hindiarto Sugondo dan kopilot Kapten Muhammad Soleh Sukarnapradja. Pesawat mengangkut 36 penumpang dan tujuh awak. Ternyata, salah satu penumpang adalah pembajak.
Hermawan seorang diri membajak pesawat dengan granat. Dia memaksa pesawat mendarat di Bandara Adisucipto, Yogyakarta. Dia menuntut uang tebusan sebesar Rp25 juta. Kalau tidak dipenuhi pesawat akan diledakkan.
Menteri Perhubungan Frans Seda menyatakan pembajakan itu tidak boleh ditolerir. “Diinstruksikan agar pembajaknya ditangkap hidup-hidup. Bila perlu dibunuh demi keselamatan para penumpang,” tulis S. Saiful Rahim dalam Operasi Pembebasan Sandera Pesawat Garuda di Bangkok.
Perundingan dan tawar-menawar dengan pembajak pun dilakukan. Pembajak menurunkan tuntutannya hingga menjadi Rp5 juta. Rupanya pemerintah hanya ingin mengulur waktu dan mencari upaya untuk meringkus pembajak tunggal itu.
“Para petugas yang dipercayakan menangani masalah bisa mengempeskan roda pesawat hingga ‘Merauke’ yang dibajak itu tidak bisa tinggal landas,” tulis Saiful.
Baca juga: Pramugari Hadapi Pembajakan
Saiful menjelaskan, ketika pembajak agak lengah, seorang anggota Angkatan Udara Republik Indonesia (sumber lain menyebut seorang anggota polisi) yang siaga di luar pesawat melemparkan pistol ke arah pilot Hindiarto. Pistol ditangkap dan Hermawan, sang pembajak yang baru keluar dari WC, ditembak. Roboh dan mati. Semua penumpang dan awak pesawat yang disandera bebas tanpa kerugian apa-apa, kecuali dicekam rasa takut untuk beberapa saat.
Menurut Hendro Subroto dalam Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, penanganan pembajakan itu diserakan kepada polisi karena ABRI menganggap pembajakan itu sebagai tindak kriminal biasa. Kendati demikian, pembajakan pesawat yang terjadi pertama kali di Indonesia ini tampaknya telah mendorong Mabes ABRI untuk membentuk satuan penanggulangan teror.
Baca juga: Kapten Herman Rante dan Pembajakan Pesawat Garuda
“Ketika pembajak sedang berada di kabin penumpang, Captain Hindiarto, seorang penerbang lulusan TALOA, seangkatan dengan Omar Dani, Roesmin Nurjadin, Ignatius Dewanto, Dono Indarto, dan kawan-kawan, yang duduk di kursi kiri dalam kokpit menjulurkan tangan kirinya keluar pesawat melalui jendela. Seorang letnan kolonel polisi (Bambang Widodo Umar, red.) yang tanggap terhadap isyarat itu, segera memberikan revolver Colt. 38 ke tangan Hindiarto dari bawah kokpit. Akhirnya, pembajak ditembak mati oleh kapten pesawat MNA itu,” tulis Hendro.
Hendro mencatat, granat yang terlepas dari tangan pembajak tidak meledak, meskipun pen granat telah dicabut. Ternyata, pengungkit granat diikat dengan tali rafia melingkar dua kali, sehingga tali rafia itu tertutup oleh genggaman jari-jari pembajak.
Sementara itu, dalam majalah bulanan Amalbakti, No. 18 Th. II September 1985, kopilot Soleh menceritakan pengalamannya dalam menghadapi pembajakan. Pembajak memborgol tangan Soleh dan tangan Hindiarto, kemudian diikat ke kursi tempat mereka duduk. Tangan kiri Soleh yang bebas mencoba mengangkat telepon untuk meminta bantuan dari luar, agar uang Rp25 juta diserahkan kepada pembajak demi keselamatan nyawa mereka dan penumpang.
Baca juga: Cerita Korban Pembajakan Garuda Woyla
Begitu Soleh meletakkan gagang telepon di mana dia tidak berhasil mendapatkan bantuan, pembajak langsung membakar tali sumbu bahan peledak yang sudah disiapkannya di atas lantai pesawat. “Apa boleh buat, tidak ada jalan lain kecuali kita mati bersama dalam pesawat ini,” kata pembajak.
Suasana menjadi makin tegang. Jantung Soleh dan Hindiarto berdebar semakin kuat, bahkan terkadang terasa berhenti karena melihat api yang sudah mulai menjalar menuju sumbu alat peledak.
“Dengan secepat kilat, pilot Hindiarto mempergunakan kesepatan baik itu untuk menembak pembajak ketika dia lengah (membelakang). Pistol yang diberikan dari luar melalui jendela pesawat berhasil merobahkan pembajak dengan butiran peluru yang bersarang di tengkuk (kepala)-nya. Pembajak tersungkur seketika dan persis menutupi api yang sudah mulai menyala,” kata Soleh.
Harian Berita Buana, 10 April 1972 melaporkan bahwa pembajakan pesawat MNA menjadi berita internasional. Sebuah surat kabar di New York memberi gelar “The Hero of the week” pada Kapten Pilot Hindiarto Sugondo.