RADJIMO Sastrowijono, peneliti sejarah, biasa bolak-balik Serang-Jakarta dengan angkutan umum. Kenaikan harga bahan bakar minyak pada 2005 mengubah keadaan itu. Dia beralih menebeng kendaraan pribadi orang lain. Kebetulan di Serang ada sejumlah pengemudi yang gemar memberi tebengan. Mereka menjadi komunitas dan berkembang hingga sekarang.
Mereka yakin tebeng-menebeng bisa menjadi solusi alternatif untuk masalah kepadatan lalu-lintas ibukota. Sebelumnya, keyakinan ini pernah diutarakan S. Hoepodio, wakil gubernur Jakarta, saat menyikapi kepadatan lalu-lintas ibukota pada 1964.
Kepadatan lalu-lintas bukan hal baru di ibukota. Menjelang Asian Games 1962, lalu-lintas Jakarta sudah dinilai terlalu padat. Jalan-jalan tak mampu lagi menampung kendaraan. “Jalan-jalan yang sekarang memang sudah dirasakan terlalu sempit. Lalu-lintas yang macet sudah merupakan suatu pemandangan yang biasa di Jakarta,” tulis Star Weekly, 4 Februari 1961.
Kemacetan biasa terjumpa di jalan yang menghubungkan wilayah selatan dengan utara. Hanya ada dua jalan utama pada rute itu. Jalan pertama melalui Sudirman-Thamrin-Merdeka Barat-Gajah Mada-Kota, sedangkan jalan kedua melewati Matraman Raya-Salemba-Kramat-Senen-Gunung Sahari-Tanjung Priok. Pada jam-jam ramai, pengendara harus mengurangi kecepatan sehingga waktu tempuh menjadi lebih lama.
Keadaan serupa terlihat pula di jalan lintas timur dengan barat. Tapi musabab kepadatannya berbeda. “Sebagai alasan utama dapat disebut jalan keretaapi jurusan Manggarai-Gambir-Kota,” tulis Star Weekly. Jalur itu memotong jalan lintas timur dengan barat. Untuk mencegah kecelakaan, pintu perlintasan keretaapi didirikan. Jumlahnya cukup banyak dan ini berbuntut. Laju kendaraan terhambat jika keretaapi lewat.
Tak mau Asian Games terganggu, Pemerintah Daerah Chusus (DCI) Jakarta berusaha memperbaiki keadaan itu. Antara lain dengan memperlebar ruas jalan, membangun jalan baru, dan menyediakan angkutan umum. Mulanya cara ini berhasil. Asian Games berjalan tanpa gangguan transportasi. Masalah muncul setelah ajang itu digelar.
Jalan-jalan mulai bolong karena teknik pelapisan aspal yang tak sempurna. Laju kendaraan pun tersendat. Sedangkan angkutan umum tak bisa lagi diandalkan. “Waktu itu jumlahnya belum banyak dan keadaannya juga belum nyaman,” tulis Firman Lubis dalam Jakarta 1960-an.
Pemerintah putar otak lagi. “Pemerintah DCI secara berencana telah mempersiapkan sistem angkutan umum antara lain mengadakan proyek bus dan taksi, serta melebarkan jalan-jalan untuk mencegah kemacetan lalu-lintas,” tulis Djaja, 11 Juli 1963.
Langkah itu tak berarti banyak. Lalu-lintas tetap padat dan angkutan umum selalu sesak. Masyarakat pun berkeluh-kesah. Yang paling menderita ibu-ibu, pemudi, dan anak sekolah. Selain terjebak kemacetan, mereka mesti berdesakan untuk naik ke angkutan umum. Pun di dalamnya. Keadaan ini berlangsung menahun.
Melihat itu, Hoepodio terpikir gagasan baru. Bisa disebut alternatif. Dia menyerukan pengemudi kendaraan pribadi agar memberi lift (tebengan) kepada ibu-ibu, pemudi, dan anak sekolah. “Saya rasa sama sekali bukan suatu hal yang memalukan apabila hal ini dijadikan kebiasaan. Bahkan lambat laun kebiasaan ini harus merupakan ciri masyarakat sosialis kita,” kata Hoepodio, dikutip Djaja, 22 November 1964.
Seruan itu didukung panglima daerah kepolisian (sekarang Kapolda) dan kepala polisi lalu-lintas. “Pihak kepolisian akan mengambil langkah untuk menjaga bahwa tidak akan terjadi penyalahgunaan terhadap seruan tersebut,” tulis Djaja. Mereka menambahkan sebaiknya tebengan diberikan kepada ibu-ibu, pemudi, dan anak sekolah. Bukan sembarang orang.
Sekarang, seruan itu didengungkan kembali. Bukan oleh pemerintah, melainkan oleh masyarakat. Bahkan kini mereka menerapkannya secara lebih luas. Tak terbatas untuk sekelompok orang.
[pages]