KOPI pagi di rumah kurang lengkap tanpa kehadiran koran. Dan koran tak bisa sampai ke rumah pembacanya tanpa jasa seorang loper koran. Selama ratusan tahun, loper koran telah memainkan posisi penting dalam bisnis media cetak dan menopang perekonomian banyak keluarga miskin. Mereka menghubungkan pekerja media cetak dengan para pembacanya dan menjadi salah satu pekerjaan sambilan bagi anak-anak untuk membantu orangtuanya.
Loper koran hadir kali pertama di New York, Amerika Serikat, pada 1833. Bruce J. Evensen dalam Journalism and the American Experience mencatat kerja loper koran tak lepas dari ide Benjamin Day, seorang penerbit surat kabar murah (penny press) bernama New York Sun.
Day telah bekerja seharian untuk menyebarkan edisi perdana New York Sun pada 3 September 1833. Dia terlalu lelah untuk melakukan hal serupa pada keesokan harinya. “Maka dia pasang iklan bagi para pengangguran untuk menjajakan surat kabarnya,” tulis Bruce.
Seorang anak lelaki berusia 10 tahun membaca iklan tersebut. Dia mendatangi kantor New York Sun dan mengatakan kepada Day bahwa dia berminat menjuali surat kabar murah itu. Caranya dengan membeli beberapa eksemplar. Tapi ada harga diskon baginya sehingga dia bisa memperoleh keuntungan dari selisih harga diskon dengan harga jual kembali.
Nama anak itu Barney Flaherty. Dia mulai bekerja keesokan harinya. “Menjadi yang pertama dari sekian ribu loper koran yang kemudian menjajakan dagangannya sepanjang terang hari dan tidur di jalanan kota pada malam hari,” lanjut Bruce.
Kemudian penerbit media cetak di Amerika Serikat mulai memperoleh pelanggan tetap. Keistimewaan pelanggan ialah mereka tak harus mencari koran di tepi jalan. Mereka hanya tinggal menunggu koran datang ke rumah. Di sini tugas loper koran mulai menyempit: tak perlu lagi menjajakan koran, melainkan mengantar koran ke rumah pelanggan.
Nama-nama sohor pernah tercatat sebagai loper koran pada masa kecilnya. Antara lain Harry S. Truman, presiden Amerika Serikat 1945-1953; Martin Luther King Jr., tokoh kesetaraan; dan Warren Buffet, pebisnis ulung. NBCnews menyebut loper koran telah menjadi ritus hidup bagi sebagian besar anak-anak di Amerika Serikat.
Loper Koran di Indonesia
Di Indonesia, kehadiran loper koran kali pertama belum terlacak secara pasti. Tapi mereka sudah berseliweran di kota-kota besar Hindia Belanda pada 1920-an.
Masa 1920-an menjadi masa tumbuh-kembang bisnis media cetak di kota-kota besar Hindia Belanda. Bisnis ini berkembang di kota lantaran orang-orang melek huruf latin lebih banyak berada di kota ketimbang di desa. Pemerintah kolonial pun lebih dulu membangun sekolah-sekolah di kota pada awal abad ke-20 ketimbang di desa.
Pertumbuhan jumlah orang melek huruf latin di kota mendorong peningkatan kebutuhan terhadap informasi. Media cetak menyediakan beragam informasi. Pada sisi inilah mereka butuh orang untuk menyalurkan informasi kepada pembacanya. Sementara pada sisi lain, ada orang juga butuh pekerjaan. Termasuk anak-anak sekolah.
R.H. Iskandar Suleiman, mantan murid Hollandsche Indische School (HIS) —setingkat sekolah dasar— di Batavia pada 1920, mengungkap kenangannya menyambi kerja sebagai loper koran. Dia butuh uang untuk biaya sekolah dan hidup keluarganya.
Iskandar berkarib dengan Sugimin, seorang siswa Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (Mulo) —setingkat SMP— di sekitar kediamannya. Dia tahu keseharian Sugimin di luar jam sekolah.
“Sugimin membiayai sekolahnya dari hasil keringatnya sendiri sebagai krantenloper (pengedar koran) Het Nieuws van den Dag tiap sore,” tulis Iskandar dalam “Dari Asuhan Nenek Sampai Berdiri Sendiri”, termuat di Prisma, No. 10, Oktober 1979.
Iskandar mengatakan kepada Sugimin bahwa dia butuh pekerjaan. Dia ingin jadi krantenloper selayaknya Sugimin. Keinginannya terkabul ketika Sugimin mengajaknya ke kantor penerbitan Het Nieuws van den Dag. Di sini dia mendapat pekerjaan dari koran tersebut sebagai krantenloper.
Iskandar bekerja mulai pukul 15.00, sepulang bersekolah. “Aku harus mengantarkan koran di daerah Menteng untuk 96 alamat, sebagian terbesar rumah orang Belanda,” tulis Iskandar. Dia kelar kerja pukul 20.00.
Selama mengantar koran, Iskandar banyak raih pengalaman suka dan duka. “Sukanya, karena aku dapat menerima imbalan hampir 10 perak sebulan (jumlah cukup besar pada waktu itu; dan dukanya, karena sering aku mendapat gangguan anjing galak dan omelan langganan, kalau koran agak lambat diantarkan),” tambah Iskandar. Beberapa kali juga dia kena hina teman-teman sekolahnya.
Iskandar tak ambil pusing soal hinaan teman-teman sekolahnya. Dia menjalani pekerjaan ini sampai duduk di bangku MULO. Fase ini jalan hidupnya mulai berubah. Seseorang menawarinya pekerjaan di percetakan.
Iskandar menerimanya dan kelak membuatnya tahu seluk-beluk pers hingga bisa menjadi redaktur majalah Muhammadi, organ bulanan Muhammadiyah.
Cerita pekerjaan loper koran mengubah hidup seseorang juga dialami oleh Andi Hakim Nasution, mantan rektor Institut Pertanian Bogor 1978-1987.
“Dulu saya pernah jadi loper koran,” kata Andi dalam Femina Vol. 20, 1992. Dia ingat saat itu tahun 1947. Masa-masa sulit bagi banyak keluarga di Bogor lantaran situasi revolusi. Tapi dengan menjadi loper koran, dia bisa ikut membantu perekonomian keluarga.
Pengalaman lain menjadi loper koran datang dari Herlina Kasim ‘Si Pending Emas’. Dia sukarelawati pembebasan Irian Barat selama 1960-1965. Di Soasiu, Maluku Utara, Herlina mengupayakan penerbitan mingguan Karya.
“Mingguanku dimaksudkan sebagai alat di daerah ini untuk menggembeleng semangat rakyat menghadapi masalah Irian Barat,” tulis Herlina dalam Herlina Pending Emas.
Herlina merangkap jabatan sebagai pemimpin umum dan loper. “Repot juga bagiku. Di Soasiu tidak ada nama jalan dan nomor rumah, surat kabar ku antar pada orang yang kira-kira mau berlangganan,” lanjut Herlina. Tapi Karya kurang beroleh sambutan. Makin hari, makin merosot saja peminatnya. Biarpun Karya itu media cetak gratisan.
Bahkan Herlina kesulitan mencari orang yang mau menjadi loper koran. Dia membandingkan pekerjaan loper koran di Jakarta dengan di Soasiu. “Setahuku loper di Jakarta atau penjual-penjual koran mempunyai penghasilan yang baik dan merupakan kerja sambilan, ada yang sambil bersekolah,” catat Herlina.
Apa sebabnya orang Soasiu tak tertarik menjadi loper koran? Herlina bilang karena pekerjaan itu tidak dibayar, melainkan kewajiban kepada bangsa dan negara untuk turut membantu penyebaran gagasan pembebasan Irian Barat.
Kini loper koran berhadapan dengan persoalan baru: revolusi industri 4.0. Revolusi ini mengubah arah bisnis media dari cetak ke bentuk digital. Dan itu bakal mempengaruhi masa depan pekerjaan loper koran. Apakah mereka akan bertahan atau remuk digilas revolusi industri 4.0?