DUA bulan sudah kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J bergulir dengan aneka drama dan rumor motif yang menyertainya. Namun, ada titik terang-titik terang yang perlahan membuka tabir misteri kasus. Salah satu yang terpenting, eks-Kepala Divisi Profesi dan Pengalamanan (Kadiv Propam) Polri Irjen Ferdi Sambo dijadikan tersangka pembunuhannya.
Rekonstruksi kejadian sudah dilakukan tim penyidik Polri di dua tempat kejadian perkara (TKP), yakni di Jalan Saguling III, Jakarta Selatan (kediaman pribadi Sambo) dan Komplek Polri Duren Tiga (rumah dinas Sambo) pada 30 Agustus 2022. Total ada 78 adegan yang diperagakan di dua TKP untuk menyibak apa dan bagaimana peran Sambo dan para tersangka lain: Bharada E (Richard Eliezer), Bripka RR (Ricky Rizal), KM (Kuat Ma’ruf), dan Putri Candrawathi (istri Sambo).
Kendati masih terdapat perbedaan pandangan dan keterangan antar-tersangka, rekonstruksi itu setidaknya membuktikan pembunuhan berencana Brigadir J untuk kemudian dijadikan catatan tim penyidik sebelum diserahkan ke kejaksaan. Tersangka Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi, sama-sama dijerat pasal 340 subsider pasal 380 juncto pasal 55 juncto pasal 56 KUHP.
Pasal 340 merupakan pasal pembunuhan berencana. Ancaman maksimal hukuman pelakunya yakni pidana hukuman mati atau penjara seumur hidup. Sedangkan pasal 338 ancaman pidana maksimalnya hanya 15 tahun penjara.
Baca juga: Iptu Tembak Briptu
Drama Poligami dan Poliandri
Kasus pembunuhan berencana yang melibatkan oknum polisi juga pernah menggegerkan publik tiga dekade silam. Kasus yang juga tak kalah silang-sengkarut motif di baliknya itu adalah kasus pembunuhan terhadap Pembantu Rektor I Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Marhaenis Abdul Hay pada 21 September 1987. Dalang utamanya tak lain adalah istri siri korban, Wiwik Pratiwi alias Tuti.
Kasus bermula dari sebuah bar di Hotel Sabang, Jakarta Pusat medio 1976. Tuti, seorang janda beranak satu yang bekerja di bar itu, memikat hati Lettu polisi Soni Maruli Butar Butar. Hubungan sejoli itu makin lama makin intim kendati Soni sudah punya istri sah. Keduanya lalu menikah “di bawah tangan” tahun itu juga walau pernikahan mereka baru disahkan KUA Tanah Abang pada 1980.
Yang lucu, mereka menikah secara Islam. Padahal, Soni dan Tuti pemeluk Nasrani. Pernikahan secara Islam dipilih karena hanya di pernikahan Islamlah seorang lelaki boleh berpoligami.
“Saya terus menuntut (dinikahi) karena saya sudah mempunyai dua anak dari dia (Soni),” aku Tuti (37), sebagaimana dikutip dari majalah Tempo, 16 Juli 1988.
Baca juga: Hartini dan Jenderal Anti Poligami
Namun, Tuti kemudian justru lebih sering ditinggal sendirian mengurus tiga anak dan menampung dua keponakannya. Kondisi ekonomi memaksanya kembali bekerja di tempat hiburan malam. Itupun Soni yang menyuruh istri simpanannya itu mencari nafkah sendiri.
“Selain galak, Soni tak pernah memberi uang belanja. Padahal waktu itu dua keponakannya tinggal bersama saya. Saya malah disuruh kerja di bar,” kata Tuti kepada tabloid NOVA, 4 September 1988.
Di sebuah klub malam di kawasan Jalan Blora, Jakarta Pusat tempat Tuti bekerja itu juga pesona Tuti menarik perhatian seorang dosen yang juga sudah beristri, Marhaenis. Pertemuan mereka terjadi pada medio 1981. Saking lengketnya hubungan asmara Tuti-Marhaenis, Marhaenis memberanikan diri menikahi Tuti secara siri pada 8 April 1984.
Baca juga: Sejarah Klub Malam di Indonesia
Tuti jadi memiliki posisi unik. Dia dipoligami dua pria sekaligus melakoni poliandri dengan bersuami dua.
Tetapi harapan Tuti bisa hidup lebih nyaman dengan suami keduanya justru antiklimaks. Tuti malah mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual. Marhaenis, kata Tuti, acap main tangan jika nafsu seksualnya tak dilayani kapan pun dan di mana pun. Marhaenis tak peduli jika Tuti masih mengalami pendarahan akibat laku seksual abnormal sebelumnya atau ketika sedang datang bulan.
“Marhenis sepertinya punya kelainan seks. Setiap kali kami berhubungan, ia selalu minum pil dulu dan memaksa saya melakukan adegan seperti film porno. Saya diperlakukan seperti binatang saja,” sambungnya.
Baca juga: Kekerasan Seksual terhadap Perempuan Pasca 1965
Tuti beberapa kali “berbadan dua” dan setiap kali itu juga Marhaenis memaksanya untuk menggugurkan kandungannya. Akibatnya, Tuti acap merasakan nyeri di perut dan kondisi tubuhnya mudah letih.
“Lima kali disedot (diaborsi) dokter. Yang enam kali dipijat dukun,” tambah Tuti.
Namun sakit fisik itu masih bisa ditahannya. Yang tidak bisa ditahannya adalah sakit hati lantaran Sulistyowati (17), putri dari pernikahan pertama Tuti, acapkali diincar Marhaenis untuk dimangsa.
“Saya sakit hati. Untungnya Lis orangnya judes. Coba kalau gampangan, pasti sudah diembat. Siapa yang tidak akan kesal anak sendiri mau dikerjai juga. Biarlah cukup saya yang hancur, jangan anak-anak saya,” kata Tuti kesal.
Baca juga: Mula KDRT Diusut
Menghabisi Sang Dosen
Lama-kelamaan, Tuti tak tahan dengan KDRT dan kekerasan seksual yang dialaminya. Bahkan, kekerasan ini lebih buruk dari perlakuan Soni kepadanya. Ia pun curhat kepada keluarganya sendiri maupun kepada Soni (50) yang sudah menjadi perwira menengah polisi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
“Sudah, habisi saja dia. Kalau tidak, nanti kalian berdua saya habisi. Saya kan polisi. Kenapa harus takut (diusut polisi)?” kata Tuti menirukan perintah Soni.
Tuti lantas berkomplot dengan dua adiknya yang juga anggota polisi, Serda Sapto Prasetyo dan Serda Siswoyo, serta Machmud, seorang kenalan Tuti. Machmud bersedia ikut terlibat dengan imbalan pelunasan utang.
Baca juga: Kini Bharada E Dulu Bripda Djani
Dengan memupuk dendam dan sakit hati, Tuti bersama tiga komplotannya lalu bergerak untuk menghabisi Marhaenis (47). Tuti menjemput Marhaenis dari tempat kerjanya pada 21 September 1987. Setelah diajak bercumbu-rayu, Tuti meracun Marhenis yang lalu dibunuh di kawasan Kampung Bambu Apus, Jakarta Timur. Mayat Marhaenis lalu dikarungi dan dibuang di Warung Kiara, Sukabumi.
Sial, warga kampung ada yang menemukan mayat Marhaenis lalu melaporkan kepada polisi. Dua hari kemudian, kasus itu diusut polisi. Janji Soni, sebagaimana yang diakui Tuti di atas, berujung pahit.
“Rupanya saya disuruh membunuh agar masuk penjara dan dia (Soni) bisa bebas. Dia merasa jabatannya terancam terancam karena saya. Apa boleh buat, sekarang saya sudah pasrah,” Tuti menyesal.
Tuti diciduk polisi sepekan berselang saat hendak bersembunyi di Trenggalek, Jawa Timur. Ia didakwa dengan pasal 340 juncto pasal 55 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati atau penjara seumur hidup.
“Saya bukan pembunuh. Saya hanya disuruh. Soni yang menyuruh saya membunuh Marhaenis. Saya enggak terima dituduh sebagai dalangnya. Saya hanya orang suruhan. Soni yang menyuruh!” Tuti bersikeras.
Tuti, yang didampingi pengacara Palmer Situmorang, membeberkan semua itu saat disidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur. Sayangnya motif itu tak jadi pertimbangan majelis hakim sehingga Soni tak bisa diajukan jadi saksi dengan alasan saksinya sudah terlalu banyak.
Baca juga: Bripda Djani Dikorbankan
Dalam kesempatan berbeda, Soni mengklarifikasinya. Dia membantah ikut terlibat sebagai otak pembunuhan berencana terhadap Marhaenis.
“Saya kan polisi, tak goblok menyuruh dia membunuh orang. Tak mungkin itu,” ujarnya.
Tak hanya pedih mengetahui anak-anaknya terlantar, Tuti juga mesti pasrah ketika majelis hakim PN Jakarta Timur memvonis dirinya bersalah atas pembunuhan berencana terhadap Marhaenis dengan vonis 15 tahun penjara pada 28 Agustus 1988. Vonis serupa juga ditimpakan majelis hakim pada tiga tersangka lainnya.
“Hakim enggak adil! Berat sebelah. Pembelaan saya sama sekali enggak diperhatikan,” tandas Tuti yang tenggelam dalam tangisnya.
Baca juga: Mengadili Jenderal Polisi