Masuk Daftar
My Getplus

Tak Ada Ras, Semua Manusia dari Afrika

Pertarungan ide para ilmuwan tentang evolusi, ras, dan migrasi manusia.

Oleh: Nur Janti | 04 Des 2019
Pakar neurogenetika dan biologi molekuler dr. Roslan Yusni Hasan atau yang populer dengan Ryu Hasan. (Fernando Randy/Historia).

PERDEBATAN lawas tentang asal-usul orang Indonesia kembali mengemuka setelah Agnes Monica dalam sebuah wawancara mengatakan tak punya darah Indonesia tapi punya leluhur dari Jerman, Jepang, dan Tiongkok. Warganet menuding Agnes tidak nasionalis dan enggan mengakui “darah Indonesia”-nya. Padahal, dalam wawancara tersebut, Agnes membicarakan “darah Indonesia” sebagai asal-usul keturunan (biologis), bukan statusnya sebagai warga negara (politis).

Apa yang dikatakan Agnes bisa jadi benar. Dari Proyek DNA yang dilakukan Historia bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ditemukan bahwa leluhur orang Indonesia datang dari berbagai wilayah di dunia. Jurnalis Najwa Shihab, misalnya, dalam DNA-nya terlacak punya leluhur dari 10 tempat berbeda.

Usaha para ilmuwan untuk meneliti keragaman dan evolusi manusia sudah dilakukan berabad lalu. Sejak abad ke-17 dan 18, para ilmuwan berusaha mengidentifikasi flora, fauna, dan manusia. Ilmuwan yang hidup di abad ke- 18, seperti Carolus Linnaeus, Johann Friedrich Blumenbach, dan Comte de Buffon berusaha mengklasifikasi semua makhluk hidup yang mereka teliti dalam kerangka kerja sistematis. Dalam berbagai sistem, manusia dikelompokkan menjadi subspesies berdasarkan geografi, warna kulit, dan sifat fisik. Usaha ini mulanya murni untuk kebutuhan penelitian biologi.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

DNA dan Keragaman Manusia

Dalam perkembangannya, arus intelektual tentang manusia berubah dan berusaha mengklasifikasi manusia berdasarkan ras (ciri fisik). “Orang punya ide tentang ras itu baru di abad ke-19. Ide tentang ras yang disampaikan Samuel Morton, muncul sebelum teori evolusi ada,” kata pakar neurogenetika dan biologi molekuler dr. Roslan Yusni Hasan atau yang populer dengan Ryu Hasan pada Historia.

Pada 1838, antropolog JC Prichard memberi kuliah tentang kepunahan ras manusia. Menurutnya, ras lemah tidak mungkin bertahan dan itu adalah hukum alam. Ilmuwan lain yang mengemukakan ide yang berkaitan dengan ras ialah Samuel Morton. Menurut Morton, di dunia ini terdapat lima ras. Ras Kaukasia dianggap yang paling mulia, di bawahnya ras Mongoloid karena bisa dilatih namun masih kalah pintar. Di bawah ras Mongoloid ada orang Asia Tenggara lalu pribumi Amerika, dan yang menurut Morton paling rendah adalah orang Ethiopia atau yang berkulit hitam. Teori Morton ini dipegang oleh pendukung perbudakan di Amerika.

Ketika Charles Darwin mengeluarkan teori evolusi pada 1859, para ilmuwan sosial memelencengkannya dan menggunakan teori ini untuk menjustifikasi rasisme. Teori Darwin pada dasarnya tidak rasis. Ia percaya bahwa seleksi alam berpengaruh pada perkembangan spesies, yang tidak cocok akan mati dan yang bisa beradaptasi akan bertahan.

Baca juga: 

Tes DNA Buktikan Keragaman Manusia Indonesia

Pemelencengan teori Darwin ini kemudian dikenal dengan Social Darwinism, dan berimplikasi amat brutal dalam sejarah perbudakan dan penjajahan. Ada banyak contoh pemikiran seperti ditulis David Rogers dan Moira Bowman dalam “A History: The Construction of Race and Racism”.

Pada 1864, W Winwood Reade, ahli geografi dan anggota kelompok antropolog di London, menerbitkan Savage Africa. Dalam buku itu Reade menulis bahwa Inggris dan Prancis akan menguasai Afrika. Orang Afrika akan menggali parit untuk mengairi gurun. Kerja keras ini akan membuat orang Afrika punah. Sementara pada 1866, Frederick Farrar, penulis Inggris yang lahir di Mumbai, menjabarkan “Aptitude of Races” dengan membaginya menjadi tiga grup: ras barbar (Afrika dan orang dengan kulit berwarna), agak beradab (orang-orang mongoloid), dan beradab (orang Eropa, Arya, dan bangsa Semit).

Cara pikir Farrar mirip dengan politik segregasi yang diterapkan pemerintah Hindia-Belanda di wilayahnya. Penduduk dibagi dalam tiga kelompok, yakni Eropa, Timur Jauh (Arab dan Tiongkok), dan terbawah pribumi. Politik segregasi ini masih bertahan di Indonesia hingga kini, dengan fakta adanya identifikasi siapa yang paling pribumi.

Baca juga: 

Mengurai Nenek Moyang Ayu Utami Via DNA

“Namun kemudian muncul teori evolusi dan genetika yang membuktikan teori Morton dan sejenisnya salah,” kata Ryu.

Pada pertengahan 1980-an, teori “Out of Africa” muncul dan menjabarkan asal-usul manusia modern. Ahli paleoantropologi seperti Gunter Brauer di Jerman dan Chris Stringer di Inggris membuktikan bahwa fosil paling awal yang menyerupai spesies manusia modern berasal dari Afrika selatan dan timur.

Ian Tattersall dalam “Human Origins: Out of Africa” menjelaskan lebih lanjut bahwa gagasan tentang leluhur tunggal dari Afrika (single African origin) meng-counter teori multiregional bahwa manusia modern berevolusi dari para pendahulunya, yaitu Homo Erectus yang muncul di masing-masing wilayah. Mulanya, gagasan tentang “single African origin” ditolak lantaran orang Eropa ogah mengakui leluhur mereka berasal dari Afrika. Namun teori ini makin diperkuat ketika penelitian DNA dan penemuan fosil-fosil membuktikan bahwa Afrika menjadi sumber utama populasi manusia modern di seluruh dunia.

Baca juga: 

Mengenal Najwa Lewat Tes DNA

Manusia modern (Homo Sapien) Afrika ini muncul sejak 150.000 sampai 100.000 tahun lalu. Pada sekira 100.000 tahun lalu, manusia modern ini meninggalkan Afrika dan menyebar ke berbagai arah. Sebagian migrasi ini mencapai Asia dan Australia sekira 70.000 lalu, sampai ke Barat Eurasia sekira 50.000 tahun lalu, dan masuk ke benua Amerika pada 15.000 sampai 30.000 tahun lalu.

Ahli genetika Italia Luigi Luca Cavalli-Sforza berpendapat bahwa orang Eropa merupakan hasil migrasi manusia dari Timur Tengah pada 10,000 tahun lalu. Dalam gelombang migrasi ini, lokasi dan lama tinggal berpengaruh pada keberagaman fisik manusia. Dikemukakan Charles Hirschman dalam “The Origins and Demise of the Concept of Race”, bentuk fisik manusia berkembang sesuai kondisi geografis dan lama waktu mereka tinggal di suatu tempat.

Contohnya, warna kulit dan ukuran tubuh manusia dipengaruhi seleksi alam atas kondisi iklim. Manusia yang tinggal di garis katulistiwa secara alami akan mengembangkan pigmen kulit mereka. Sementara manusia yang tinggal di posisi garis lintang utara punya kulit lebih cerah. Para manusia pemakan sereal itu tidak menerima cukup asupan vitamin D sehingga dalam proses evolusi, kulit mereka memutih. Kulit terang ini bagian dari upaya bertahan hidup karena memudahkan penyerapan sinar matahari untuk memenuhi kebutuhan vitamin D.

Baca juga: 

Awal Kedatangan Manusia ke Nusantara

Perbedaan fitur tubuh itu membantu para peneliti menduga asal mereka. Gelombang migrasi besar pada masa berikutnya berkontribusi pada penyebaran keberagaman fitur tersebut. Alhasil manusia modern merupakan percampuran dari manusia asal Afrika yang berevolusi di wilayah yang berbeda.

Hal serupa juga terjadi di Indonesia yang mengalami empat gelombang migrasi. Gelombang migrasi pertama dari Afrika terjadi 50.000 tahun lalu; migrasi kedua, dari Asia daratan, terjadi sekira 30.000 tahun lalu; migrasi ketiga, dari Taiwan, diperkirakan pada 6.000 tahun lalu; dan keempat pada masa awal perdagangan dan pelayaran.

“Secara genetika ras enggak ada. Adanya varian populasi…. Faktanya kita semua dari Afrika,” kata Ryu.

TAG

proyekdnahistoria rasime manusiapurba

ARTIKEL TERKAIT

Historia Raih LINE Indonesia Awards DNA dan Keragaman Manusia Mencintai Indonesia dalam Suka dan Duka Bukti Leluhur Austronesia Tertua di Taiwan dan Cina Selatan Dua Rute Migrasi Leluhur Nusantara Dua Ras Nusantara dan Karakternya Empat DNA Grace Natalie Mengurai Nenek Moyang Ayu Utami Via DNA Campur-Mawur DNA Ariel Darah 14 Suku di Tubuh Mira Lesmana