Siapa pun yang mendengar Swastika Noorsabri bicara pasti akan menebak ia berasal dari Jawa. Gaya bicaranya medhok. Apalagi dia lahir dan besar di Kota Yogyakarta. Begitu pula ayah, ibu, kakek, dan neneknya, berasal dari suku Jawa.
“Eyang buyut yang saya ketahui dari ibu itu (asalnya, red.) Semarang. Itu cerita yang saya dengar. Kalau ayah dari Purworejo,” kata Sabri.
Sabri bercerita, kakek dari pihak ayah adalah kepala Desa Wingkoharjo di Purworejo. Namanya Kartowiryo atau biasa disebut Lurah Kartowiryo. Kakeknya menikahi neneknya yang berbeda desa, tetapi masih di wilayah Purworejo. Simbah putrinya itu, dipanggil Sulaibah, berprofesi sebagai pedagang. Sementara kakek dari pihak ibu berasal dari Semarang. Nama kecilnya Basirun.
Ayahnya Basirun, atau kakek buyut Sabri, bernama Mbah Delan. Baik Kakek buyut maupun sang kakek, keduanya pegawai Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) pada zaman Belanda. “Memang ada sertifikat semacam itu yang besar ditempel di dinding,” kata Sabri.
Kalau nenek Sabri dari pihak ibu berasal dari Solo. “Leluhurnya dari Solo tapi begitu pecah Perang Diponegoro, leluhur saya ini kemudian mengungsi ke Semarang,” ujar Sabri.
Baca juga: Manusia Indonesia adalah Campuran Beragam Genetika
Kendati seluruh keluarganya hidup di Jawa sejak lama, Sabri cukup heran dengan bentuk hidung dan mata kakeknya. “Ada yang hidungnya mancung. Ini mungkin ada keturunan Arab atau sekitar-sekitar situ,” kata Sabri. “Lalu kalau melihat bentuk mata adik saya dan saya sendiri yang tidak terlalu belo', saya juga punya pikiran pasti ada campuran dari daerah Asia Timur.”
Untuk menyudahi rasa penasarannya, Sabri pun mendaftar tes DNA lewat Proyek DNA Asal Usul Orang Indonesia garapan historia.id. Siapa yang menduga, kalau lebih dari separuh DNA Sabri membawa jejak leluhur dari Asia Timur, yaitu sebesar 78,45 persen. Sisanya sebagian dari DNA orang-orang Asia yang menyebar, dari Timur Tengah, tepatnya Irak-Kurdi, dan sebagian lagi dari Asia Selatan.
Migrasi Austronesia
Herawati Supolo-Sudoyo, ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, yang meneliti DNA sejumlah orang Indonesia, menjelaskan bahwa gen Asia Timur dalam hasil tes DNA Sabri bisa berasal dari Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Filipina, Korea, Malaysia, atau Macau di Hongkong.
“Jika melihat dari perjalanan DNA-nya, kan dari utara. Saya mengira Asia Timur yang dimaksud di sini adalah mereka yang berbahasa Austronesia,” kata Hera.
Austronesia merupakan rumpun bahasa yang mencakup sekira 1.200 bahasa. Dituturkan oleh populasi yang mendiami kawasan lebih dari setengah bola dunia. Sebarannya meliputi Madagaskar di ujung barat hingga Kepulauan Paskah di ujung timur Pasifik, serta dari Taiwan-Mikronesia di batas utara hingga Selandia Baru di batas selatan.
Baca juga: Indonesia Penutur Austronesia Terbesar
Menurut Peter Bellwood, dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University, dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, para penutur Austronesia muncul 7.000-6.000 tahun yang lalu di Taiwan. Pada 5.000 tahun yang lalu mereka kemudian menyebar ke berbagai bagian dunia. Itu sambil membawa budaya khas neolitik, yang cirinya hidup menetap, bertani, dan beternak.
Di Indonesia, penutur Austronesia hadir sejak 4.000 tahun yang lalu. Secara genetis, menurut Hera, datangnya penutur Austronesia ini adalah gelombang ketiga dari empat gelombang migrasi yang masuk ke Nusantara. Mereka adalah sekelompok orang yang berkelana dari Cina Selatan (Yunan) menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai ke Sulawesi dan Kalimantan.
Baca juga: Hasto dan Budiman Punya Gen Samaritan
“Ini yang teori Out of Taiwan, termasuk dari Tiongkok daratan masuk Formosa lewat Filipina turun ke Kalimantan, yang ke barat menyebar sampai ke Madagaskar, yang ke timur menyebar ke Papua sampai ke Polinesia,” jelas Hera.
Menurut Peter Bellwood, dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University, dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, para penutur Austronesia muncul 7.000-6.000 tahun yang lalu di Taiwan. Pada 5.000 tahun yang lalu mereka kemudian menyebar ke berbagai bagian dunia. Mereka membawa budaya khas neolitik, yang cirinya hidup menetap, bertani, dan beternak.
Di Indonesia, penutur Austronesia hadir sejak 4.000 tahun yang lalu. Secara genetik, menurut Hera, penutur Austronesia datang pada gelombang ketiga dari empat gelombang migrasi yang masuk ke Nusantara. Mereka adalah sekelompok orang yang berkelana dari Cina Selatan (Yunan) menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai Sulawesi dan Kalimantan.
“Ini yang teori Out of Taiwan, termasuk dari Cina Daratan masuk Formosa lewat Filipina turun ke Kalimantan, yang ke barat menyebar sampai ke Madagaskar, yang ke timur menyebar ke Papua sampai ke Polinesia,” kata Hera.
Migrasi Austroasiatik
Namun, ada jejak lain jika melihat hasil tes yang menyebut Vietnam sebagai asal usul gen Asia Timur Sabri. “Vietnam itu biasanya masuknya lewat Asia Tenggara daratan ketika Paparan Sunda masih jadi satu. Itu dari migrasi gelombang kedua,” kata Hera.
Migrasi ini, kata Hera, terjadi lebih dulu dibanding migrasi Austronesia. Dari asalnya di Yunan, mereka tak pergi ke Taiwan tapi langsung ke selatan menuju Asia Tenggara Daratan, seperti Vetnam dan Kamboja, menyusuri Semenanjung Malaya hingga ke Sumatra, Jawa, dan Kalimantan.
“Jadi ini (leluhur Asia Timur Sabri, red.) kalau bukan mereka yang berbahasa Austronesia, juga bisa Austroasiatik,” kata Hera.
Baca juga: Grace Natalie Ternyata Punya Gen Afghanistan
Austroasiatik adalah rumpun bahasa yang berbeda. Namun diduga bahasa itu berasal dari satu rumpun yang sama dengan Austronesia.
Truman Simanjuntak, arkeolog senior di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dalam “The Western Route Migration: a Second Probable Neolithic Diffusion to Indonesia” termuat di New Perspectives in Southeast Asian and Pacific Prehistory, menjelaskan baik bahasa Austronesia maupun Austroasiatik, keduanya berasal dari bahasa Austrik yang dipakai di Yunan. Bahasa itu kemudian terpecah dan berkembang masing-masing. Bahasa Austroasiatik digunakan di sekitar Asia Tenggara Daratan. Sedangkan Bahasa Austronesia digunakan di sekitar wilayah kepulauan, seperti Taiwan, Filipina, Pasifik, Madagaskar, hingga Pulau Paskah, sesuai persebarannya.
Baca juga: Pernah Diolok Onta, Gen Arab Najwa Hanya 3,4 Persen
Kedua bahasa itu disebarkan oleh ras Mongoloid. Secara arkeologis, kelompok penutur Austroasiatik, yang kemungkinan menjadi leluhur Sabri itu, berpindah lebih dulu ke Nusantara. Mereka mulai migrasi ke Nusantara sekira 4.300–4.100 tahun lalu. Mereka diperkirakan sebagai pembawa budaya Neolitik ke Nusantara. Salah satu hasil budayanya adalah tembikar berhias tali.
“Sementara Austronesia bisa ditandai dengan hasil budaya gerabah berslip merah,” catat Truman. Rupanya, penutur Austronesia lebih bisa mempengaruhi penutur Austroasiatik yang sudah lebih dulu di Nusantara. Seluruh masyarakat pun akhirnya berbahasa Austronesia. Kemampuan mengadaptasikan diri terhadap lingkungan kepulauan memungkinkannya terus berkembang hingga menurunkan keragaman etnis bangsa Indonesia sekarang.
“Kita adalah mereka yang berbahasa Austronesia,” kata Hera.
DNA Menjawab
Bagi Hera, hasil tes yang diterima Sabri tak mengherankan. Sebelumnya, ia pernah pula membuktikannya melalui studi genetika. Dia melakukan rekonstruksi dari 50.000 tahun pergerakan populasi manusia Nusantara dengan melibatkan 70 populasi etnik dari 12 pulau menggunakan penanda DNA.
“Pada orang Jawa dominan Autroasiatiknya, Khmer, orang-orang itu yang duluan masuk ke Jawa. Baru yang tadi (Austronesia, red.) dari Formosa atau Taiwan turun. Dua gen itu yang berpengaruh,” kata Hera.
Baca juga: Seperti Grace, Solihin Punya Gen Afghanistan
Dugaan Sabri pun tak sepenuhnya salah. Asal usul hidung mancung kakeknya termaklumi dengan adanya jejak genetis leluhur dari Asia Selatan dan Kurdi.
"Asia Selatannya dari Bangladesh, khususnya Suku Bengali,” kata Hera. “Sepengetahuan saya Suku Bengali memang ada yang pergi ke Indonesia untuk berdagang. Jadi wajar apalagi ibunya Semarangan. Itu pelabuhan besar sekali.”
Pun terjawab sudah alasan bentuk matanya, yang bagi Sabri, tak belo’. Rupanya punya leluhur Jawa, lahir dan besar di Yogyakarta, berbicara dengan aksen medhok pun tak melepasnya dari jejak leluhur pendatang pada ribuan tahun silam. Akhirnya memang tak ada yang namanya DNA 100 persen murni Indonesia.