SEUKURAN genggaman tangan, bisa masuk saku, dan harga terjangkau. Telepon selular (Ponsel) pintar dimiliki hampir semua orang di Indonesia sekarang. Lewat benda tipis itu, orang bisa menelepon, mengirim pesan, dan mengakses internet. Banyaknya fungsi bikin orang kecanduan menggunakannya. Di angkutan umum, di ruang tunggu, bahkan di toilet.
Padahal, ketika pertama keluar, harga ponsel selangit, 13-15 juta rupiah ketika kurs dollar Amerika masih 1386 rupiah. Ponsel pertama di Indonesia itu muncul tahun 1986 sebagai buah kerjasama Telkom dengan PT Rajasa Hazanah Perkasa (PT RHP). Teknologinya menggunakan Nordic Mobile Technology (NMT) dengan perangkat merek Ericsson.
Baca juga: Sebelum Ponsel Merajalela
Telkom menyediakan jasa komunikasinya, sementara PT RHP menyediakan perangkatnya. Ketika pengguna ingin mendapatkan telepon seluler, mereka tidak membeli perangkat telepon dan nomor provider secara terpisah, melainkan satu telepon hanya satu nomor dan tidak bisa diganti. “Dulu dijual sekaligus. Jadi orang beli ponsel, nomornya diinjeksi ke perangkatnya. Berbeda dengan sekarang yang beli perangkat dan providernya terpisah,” kata Garuda Sugardo, kepala Riset Telkom Indonesia kala teknologi telepon umum mulai dibangun, kepada Historia.
Lahir di era pemerintahan Soeharto, pembangunan telepon seluler tak lepas dari kebiasaan Orde Baru: menyertakan perusahaan milik keluarga dalam bisnis negara. PT RHP merupakan perusahaan milik salah satu anak Soeharto. George Junus Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan menyebut 32,5% saham PT RHP dimiliki kakak-beradik, Sigit Harjojudanto dan Tommy Soeharto. Mereka menjadi satu-satunya penyedia layanan telepon seluler kala itu plus teknologinya masih baru, selangitlah harganya.
Baca juga: Dari Batu sampai Ponsel
“Telkom tidak mengerjakan sendiri. Dulu sistemnya bagi hasil. Jadi yang menetapkan harga bukan negara atau Telkom tapi swasta yang pegang perangkat,” kata Koesmarihati, direktur Telkomsel 1995-1998, pada Historia.
NMT merupakan teknologi keluaran pertama yang menggunakan frekuensi 450 MHz. Bentuknya masih amat besar sehingga tak mungkin masuk saku, melainkan harus ditenteng atau ditaruh di mobil. Komunikasi yang ditawarkan masih sebatas telepon lokal di sekitar Jakarta dan Jawa Barat. NMT juga belum bisa untuk mengirim pesan digital.
Pada 1991, Telkom kembali bekerjasama dengan perusahaan swasta untuk mengeluarkan telepon seluler dengan teknologi lebih baru, Advanced Mobile Phone System (AMPS). Sistem transmisi AMPS masih analog seperti NMT, tapi sinyalnya sudah digital dan frekuensinya jauh lebih tinggi, yakni 800-900 MHz sehingga makin minim gangguan. AMPS dikenal juga sebagai teknologi seluler generasi pertama (1G).
Fungsi AMPS hampir sama seperti NMT, hanya saja perangkatnya lebih kecil, sekira 40cm. Perangkat yang dipakai tidak lagi Ericsson seperti era NMT, melainkan Motorolla. Jika dibandingkan dengan ponsel jaman sekarang, ukurannya jauh lebih besar. Saking besarnya, Koesmarihati sempat berkelakar kalau para perempuan Hongkong suka dengan ukuran ponsel AMPS karena bisa untuk memukul penjahat di tempat umum. “Telepon seluler yang AMPS itu juga besar sekali, sebesar sepatu,” kata Koesmarihati sambil terkekeh.
Baca juga: Media Komunikasi dalam Lagu
Untuk mewujudkan teknologi ini, Garuda Sugardo dalam Telkomsel in First Era menyebut, Telkom menjalin kerjasama dengan pihak swasta. Ada tiga perusahaan yang memegang lisensi untuk mengeluarkan ponsel AMPS: PT Elektrindo Nusantara (EN), melayani wilayah Sumatera Utara, Jakarta, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan; PT Centralindo Panca Sakti (CPS), menangani wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur; dan PT Telekomindo Prima Bakti, melayani Sumatera Selatan, Bali, dan Kalimantan.
Telkom duduk sebagai badan penyelenggara, sementara pihak swasta sebagai penyedia produk ponsel AMPS. Dari kerjasama ini Telkom mendapat jatah bagi hasil sebanyak 25-30% dari total keuntungan. Sementara EN, perusahaan milik Bambang Trihatmodjo, mendapat 70% dari keuntungan bisnis ini.
“Harga AMPS bisa sampai 15-18 juta di waktu itu. Orang biasa nggak bisa beli, hanya bos-bos dan menteri saja yang punya. Jumlahnya juga terbatas,” kata Garuda.