Masuk Daftar
My Getplus

Merekam Sejarah Penerbangan

Indonesia satu-satunya negara di Asia yang membangun kedirgantaraannya sedari awal, sejak zaman kemerdekaan.

Oleh: Martin Sitompul | 21 Okt 2016
Nurtanio dan pesawat buatannya, Si Kumbang. Foto: Public domain.

KENDATI lebih dikenal sebagai negara maritim, kedirgantaraan Indonesia mengurai kisah panjang. Tak banyak diketahui, industri penerbangan negeri ini telah dirintis sejak 1946 oleh Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara (TRI AU). Dengan nama Biro Rencana dan Konstruksi di bawah pimpinan Opsir Udara III Wiweko Supono, industri penerbangan Indonesia bermula.

Prestasi pertama biro tersebut adalah inovasi pesawat layang jenis Glider Zogling. Selanjutnya, pesawat ini dikenal dengan NWG-1, diambil dari nama pembuatnya: Opsir Muda Udara II Nurtanio yang disupervisi oleh Wiweko.

"Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang membangun kedirgantaraannya sedari awal, sejak zaman kemerdekaan," ujar Hisar Manongam Pasaribu, pakar teknik dan penerbangan ITB pada gelaran "Ekspose Daftar Arsip PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT IPTN) 1950-1988" yang diselenggarakan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di hotel Amaroosa, Bandung, 19-20 Oktober 2016.

Advertising
Advertising

Pada dekade 1950, kegiatan kedirgantaraan Indonesia terwadahi dalam Seksi Percobaan yang dilanjutkan dengan Depot Penyelidikan, Percobaan dan Pembuatan Pesawat Terbang. Dikepalai Nurtanio, seksi ini dikenal karena eksperimen pesawat dengan nama unik khas Indonesia. Beberapa di antaranya: Si Kumbang (berkapasitas satu orang), Si Belalang 85, Belalang 89, dan Si Kunang 25. Selain jenis pesawat terbang, dua jenis helikopter juga diproduksi: Si Manyang dan Kolentang.

Keseriusan pemerintahan Sukarno dalam kedirgantaraan dibuktikan dengan pembentukan Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP) tahun 1960. LAPIP bekerja sama dengan negara-negara Eropa Timur seperti Cekoslovakia dan Polandia untuk memajukan teknologi penerbangannya.

LAPIP berhasil memproduksi pesawat ringan serbaguna: Gelatik sebanyak 44 unit; delapan unit pesawat latih AU jenis Belalang 90; tiga unit pesawat olahraga jenis Kunang 25. Gelatik paling populer karena multifungsi sebagai pesawat pertanian pemberantas hama, transportasi udara untuk daerah terpencil, hingga pesawat ambulans.

Pada 1966, LAPIP diubah menjadi Lembaga Industri Pesawat Terbang Nurtanio (LIPNUR) sebagai penghargaan atas kepeloporan Nurtanio dalam industri penerbangan. Nahas, dia menjadi korban kecelakaan tatkala uji terbang pesawat Super Aero-45 buatan Yugoslavia pada 21 Maret 1966.

Di era Orde Baru, industri penerbangan Indonesia mulai dipersiapkan menuju komersialisasi. Pada 1976 LAPIP berubah menjadi PT Industri Pesawat Terbang (IPT) Nurtanio. Helikopter menjadi produk unggulan IPT Nurtanio seperti BO-105, Puma, dan Super Puma. Beberapa pesawat penumpang sipil yang diproduksi antara lain C-212 Aviocar dan CN-235.

Pada 1985, IPT Nurtanio disempurnakan menjadi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). BJ Habibie, yang ditunjuk sebagai direktur utama IPTN, menjadi tokoh penting dibalik menggeliatnya industri penerbangan Indonesia.

Menurut Hisar, di masa inilah sekira medio 1990-an, industri penerbangan Indonesia mencapai tonggak kejayaannya. IPTN berhasil memproduksi pesawat N-250 rancangan BJ Habibie. Pesawat itu menjadi kebangaan Indonesia bahkan diminati negara lain seperti Thailand.

"Pesawat N-250 adalah pesawat pertama dengan teknologi turboprop untuk penerbangan sipil. Saat itu, Indonesia juga sudah mulai memasuki program pesawat jet," ujar Hisar.

Namun, masa gemilang itu, lanjut Hisar, hanya berlangsung hingga tahun 1997. Krisis moneter yang melanda memutus pembiayaan untuk pengembangan IPTN. Dampaknya, industri penerbangan Indonesia terpuruk dan baru bangkit belakangan ini dengan nama PT Dirgantara Indonesia (DI).

Menurut Eko Daryono, direktur SDM PT DI, arsip-arsip IPTN sangat kaya akan data-data yang merekam sejarah industri penerbangan tanah air. "Satu pesawat yang berhasil diproduksi itu bisa menghasilkan dokumen sebanyak dua lemari arsip," katanya mencontohkan. "Dokumen pesawat harus disimpan dan dijaga selama pesawatnya masih ada."

Pada 23 Agustus 1997, IPTN menyerahkan arsip tekstual periode 1950-1988 kepada ANRI. Arsip-arsip IPTN sebanyak 50 boks berukuran 20 cm ini dapat diakses publik pada akhir tahun ini bersamaan dengan arsip perusahaan negara lainnya: Perusahaan Film Negara dan Bank Indonesia.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Bukan Belanda yang Kristenkan Sumatra Utara, Tetapi Jerman Antara Lenin dan Stalin (Bagian I) Situs Cagar Budaya di Banten Lama Pemusnah Frambusia yang Dikenal Dunia Perupa Pita Maha yang Karyanya Disukai Sukarno Musik Rock pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo Tertipu Paranormal Palsu Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi” Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik