Masuk Daftar
My Getplus

Mencegah Bayi Mati Karena Tetanus

Pada awal kemerdekaan angka kematian bayi cukup tinggi. Upaya pendidikan dukun pun dilakukan lewat Proyek Serpong.

Oleh: Nur Janti | 29 Feb 2020
Dukun yang telah mendapat pelatihan sedang melayani ibu hamil. Sumber: Pembangunan Kesehatan Masyarakat di Indonesia, Kemenkes RI.

SERPONG pada tahun 1970 masih terhitung daerah pedalaman. Jalan masih tanah berbatu, listrik tak ada, wilayahnya pun masih didominasi kebun. “Dulu waktu Papa dinas di Tangerang, tahun 70-an ya, main paling jauh ke selatan ya Serpong. (Pohon, red.) Karet semua. Sering nembak rusa, berburu,” ujar Eddy Hidayat, wiraswastawan di Bogor, kepada Historia mengisahkan masa kecilnya ketika sering diajak berburu oleh ayahnya yang tentara.

Di wilayah itu, jumlah petugas medis terbatas. Pasca-kemerdekaan hingga 1970-an, hanya ada satu dokter yang menangani seluruh wilayah Tangerang. Dialah dr. Kimar Wiramihardja. Saking jarangnya dokter, pada 1950 Kementerian Kesehatan berupaya mendatangkan sekira 200 dokter dari India dan Eropa barat, seperti dimuat dalam Antara, Sabtu 1 November 1950.

Maka ketika dr. Firman Lubis, yang juga dosen Fakultas Kedokteran UI, akan mengadakan proyek penelitian kesehatan di Serpong (Proyek Serpong) pada 1970, dr. Kimar amat senang. Ada juga dokter yang akan meringankan beban kerjanya.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Melahirkan di Masa Perang


Lantaran Serpong belum teraliri listrik, Firman pun harus mencari kulkas berbahan bakar minyak untuk menyimpan obat-obatan. Dalam bukunya Jakarta 1970-an, Firman menceritakan, lampu teplok dan pompa air jadi teman akrabnya kala Proyek Serpong.

Dalam mengerjakan proyek itu, Firman dibantu beberapa peneliti dan dokter dari Indonesia dan Belanda, salah satunya sosiolog Anke Borken Niehof. Bantuan dari sosiolog dan antropolog itu memungkinkan pengerjaan dilakukan dengan pendekatan antropologi-medis.

Dalam temuan timnya, hubungan sosial antara dukun beranak dan pasiennya terjalin erat dan kekeluargaan. Hubungan ini terbangun lantaran hampir semua dukun bayi memberikan pertolongan tambahan seperti memandikan bayi, mengobati demam, dan pegal linu. Pertolongan semacam ini, tambahnya, bersifat sosial-psikologis yang mendekatkan hubungan dukun-pasien sekaligus membuat para dukun beranak sangat dipercaya oleh masyarakat. Imbasnya, dukun bayi dianggap sebagai pemimin informal.

Meski di beberapa kampung terdapat bidan atau mantri, kebanyakan penduduk masih lebih suka lari ke dukun jika menemui keluhan kesehatan. Beberapa alasan yang disebutkan Firman ialah, ketidaktahuan mereka akan tenaga medis atau kekhawatiran kalau-kalau mereka tak akan sanggup membayar. Perkara melahirkan misalnya. Dalam catatan Firman hingga 1970-an, hanya 20% peralinan tercatat ditangani oleh tenaga medis, sisanya lebih memilih meminta bantuan dukun bersalin.

Baca juga: 

Bidan Berjuang di Medan Perang

Kedekatan hubungan ini tentu menyulitkan tim peneliti Proyek Serpong. Salah-salah bukan menanggulangi masalah kesehatan malah buyar. Ia pun paham kalau model pelarangan pada para dukun hanya akan menimbulkan konflik sosial. Maka, alih-alih menyingkirkan para dukun, ia menggunakan cara yang jauh lebih halus, yakni melatih para dukun tentang hiegenitas dan kebidanan dasar.

“Kita ingin berusaha agar dalam waktu yang akan datang bayi yang baru lahir tidak akan meninggal karna penyakit tetanus lagi,” kata Firman dalam laporannya.

Temuan dalam laporan Proyek Serpong menyebut bahwa penyebab utama kematian bayi kebanyakan ialah tetanus. Para bayi bisa terjangkit lantaran setelah lahir, tali pusat mereka dibubuhi abu agar cepat kering bukan alkohol dan iodium. Kondisi ini tentu mengkhawatirkan. Pada 1950 misalnya, angka kematian bayi mencapai 600.000 dalam setahun sementara angka kematian ibu mencapai 55.000.

Cara-cara seperti inilah yang kemudian dibenahi. Penggunaan bambu (welad) dianggap berbahaya sehingga para dukun dibekali tetang ilmu kebidanan dasar, hieginitas, dan medical kit. Isinya gunting, klem, dan alkohol.

Kala itu, ada dua orang dukun beranak yang diajar Firman dan para bidan, yakni Mak Kancas dan Mak Icot. Keduanya sudah berusia senja dan buta huruf. Namun dengan penyampaian materi yang lucu dan santai, mereka bisa lekas paham. Firman bahkan mengadakan arisan di setiap pertemuan untuk mendekatkan tim medis dengan para dukun. Alhasil, suasana akrablah yang terjadi. Tidak ada intimidasi, pandangan merendahkan, atau penyingkiran.

Baca juga: 

Usaha Belanda Menyingkirkan Dukun Beranak

Lantaran cukup berhasil, proyek serupa dilakukan pula di Yogyakarta. Bidan Nunik Endang Sunarsih, Wakil Ketua Pengurus Besar Ikatan Bidan Indonesia menceritakan pada Historia pengalamannya mendampingi dukun beranak pada 1980-an. Tiap selapan (lima minggu) Nunik membuka pelatihan kebidanan pada para dukun beranak di Yogyakarta. Misinya ialah mengurangi risiko kematian bayi akibat tetanus dengan mengajari para dukun tentang hiegenitas dan melarang mereka menggunakan sembarang ramuan untuk membungkus tali pusat bayi.

Dalam tiap pertemuan, Nunik akan meminta para dukun untuk menceritakan proses persalinan yang mereka tangani selama lima minggu sebelumnya. Ia juga memeriksa medical kit yang ia berikan. “Kalau rusak ya diganti. Tapi kadang ada yang takut kalau ketahuan rusak. Padahal ya tidak akan saya marahi,” kata Nunik sambil terkekeh.

TAG

medis perempuan

ARTIKEL TERKAIT

Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Indonesia Era Masa Lalu Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine Mr. Laili Rusad, Duta Besar Wanita Indonesia Pertama Suami Istri Pejuang Kemanusiaan Jejak Para Pelukis Perempuan Emmy Saelan Martir Perempuan dari Makassar Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Tragedi Tiga Belas Mawar di Madrid Kisah Pengorbanan Seorang Babu Perempuan di Medan Perang