Jembatan sepanjang 145 meter melintasi sungai Code. Jembatan dengan lebar 15 meter itu menghubungkan Kabupaten Sleman dengan Kota Yogyakarta, melewati Jalan Condro Lukito dan A.M. Sangaji, menuju ke Kaliurang dan kawasan perguruan tinggi. Dengan melewati jembatan itu, waktu tempuh pun berkurang 25 menit dari Kawasan Monjali menuju Universitas Gadjah Mada dan RS dr. Sardjito.
Jembatan itu dibangun mulai dari Oktober 2007 sampai selesai pada November 2008 dengan menelan biaya Rp24,2 milyar dari APBN tahun 2007 dan 2008. Jembatan itu diberi nama Jembatan Wreksodiningrat.
“Pemberian nama Wreksodiningrat berdasarkan atas pertimbangan untuk mengenang reputasi, karya, jasa dan pengabdian Prof. Ir. KRMT Wreksodiningrat yang merupakan pelaku sejarah konstruksi di Indonesia. Dia juga sebagai seorang birokrat dan akademisi yang mengutamakan kepentingan rakyat yang selalu berbasis pada pengetahuan dan sumber daya lokal,” kata Hermanto Dardak, Direktur Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, dalam peresmian Jembatan Wreksodiningrat, pada 8 Maret 2009, dikutip dari pu.go.id.
Siapakah Wreksodiningrat?
Sebelum bernama Wreksodiningrat, dia bernama Raden Mas Notodiningrat. Dia lahir di Yogyakarta pada 22 Agustus 1888. Putra dari Pangeran Hario Notodirodjo, saudara Paku Alam VI dan wali Paku Alam VII sekaligus penasihatnya.
“Nama Wreksodhiningrat diperolehnya sejak tahun 1944, dengan surat pengangkatan pepatih dalem di Surakarta,” tulis Teuku Ibrahim Alfian, dkk., dalam Biografi Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pada 1894, Notodiningrat mulai memasuki bangku sekolah di Frobelschool Yogyakarta. Dua tahun kemudian memasuki sekolah rendah ketiga di Bintaran, Yogyakarta. Setelah lulus, dia masuk ke sekolah rendah kesatu di Setjodingratan, Yogyakarta, selanjutnya meneruskan ke sekolah rendah kesatu Karang Bidara, Semarang, selesai pada 1903.
Baca juga: Dokter Indonesia Pertama Lulusan Belanda
Notodiningrat kemudian masuk Hogere Burger School di Semarang selama lima tahun. Pada 1908, dia menyusul saudara-saudaranya, Notokworo, Noto Soeroto, dan Gondowinoto, untuk melanjutkan pendidikan di Negeri Belanda. Dia masuk Technische Hogeschool Delft (sekarang Delft University of Technology atau TU Delft) dan lulus sebagai insinyur teknik sipil pada 1916.
“Notodiningrat menjadi insinyur Indonesia pertama,” tulis sejarawan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah. Dia menulis beberapa tulisan tentang seni bangunan Jawa di majalah-majalah Belanda.
Selain bergabung dengan Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia), Notodiningrat juga sempat tertarik ikut dalam sekte mistik Kristen bernama De Orde van Zeven (Orde Tujuh). Sekte itu memang mencoba mencari pengikut dari kalangan anak muda Hindia yang belajar di Negeri Belanda.
“Surat-surat Noto Soeroto dan Gondowinoto menyinggung kegiatan sekte itu, karena Notodiningrat, Ambia Soedibio, dan mahasiswa Indologi Sosro Sawarno untuk beberapa waktu lamanya pernah ikut tenggelam dalam mengikuti kegiatannya,” tulis Poeze. Sayangnya, Poeze tidak menjelaskan kegiatan Orde Tujuh itu.
Setelah lulus pada 1916, dalam buku Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa, disebut Notodiningrat kerja praktik di dinas pekerjaan umum dan firma-firma di Den Haag, Amsterdam, dan Rotterdam.
Pada 1918, sebagai insinyur adspirant (pembantu) di ‘Lands Openbare Werken (Pekerjaan Umum), Notodiningrat diperbantukan kepada bagian irigasi afdeling Serayu, Purworejo. Setahun kemudian dia diangkat jabatan penuh sebagai insinyur irigasi seksi Kedu, Bagelen, Purworejo, selama empat tahun.
Baca juga: Dokter Indonesia Pertama Ahli Radiologi
Menurut Alfian, dkk., pada 1924 Notodiningrat mendapat tugas baru dalam jabatan yang sama di Pulau Lombok. Di samping mengurus irigasi, dia juga membuat jalan baru dalam rangka transmigrasi dan penyehatan daerah. Setelah tujuh tahun berada di Lombok, dia dipindahtugaskan ke Yogyakarta sebagai insinyur pada Central Waterschapskantoor v/d Vorstenlanden. Pada 1933, dia mendapat wewenang jabatan yang lebih luas, yaitu sebagai Insinyur Djawatan Gedung-gedung Negeri Daerah Yogyakarta dan Surakarta.
Sebelum Jepang masuk ke Indonesia, Notodiningrat menjabat kepala Kantor Air Minum di Surakarta. Di samping itu, dia mendapat tugas sebagai inspektur Technische Zelfvestuursdiensten der Vorstenlanden. Pada masa pendudukan Jepang, dia meneruskan jabatan sebagai kepala Kantor Air Minum di Surakarta merangkap kepala Kantor Pekerjaan Umum di Surakarta.
Keberhasilan Wreksodiningrat dalam menjalankan tugas sebagai kepala Kantor Pekerjaan Umum di Surakarta mendapat perhatian dari pemerintah Republik Indonesia. Dia pun diangkat menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga.
Baca juga tulisan lanjutannya: Jasa Sang Insinyur Teknik Sipil Pertama Indonesia