Masuk Daftar
My Getplus

Dokter Indonesia Pertama Ahli Radiologi

Dia juga dokter Indonesia pertama lulusan Belanda tanpa lebih dulu sekolah pendidikan dokter untuk bumiputra. Tragis, dia dibunuh Jepang.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 31 Mar 2019
Indische Vereeniging berkumpul pada 22 Mei 1909 di Den Haag. Duduk dari kiri ke kanan: Notokworo, Ambia Soedibio, Soemitro, Casajangan, Ph. Laoh, Hoesein Djajadiningrat; berdiri: Soerjowinoto, Tumbelaka, Latif, Gondowinoto, Noto Soeroto, Amaroellah, Lumentut, Apituley. (Repro Di Negeri Penjajah).

Menjadi yang pertama sudah pasti luar biasa. Dalam bidang kedokteran, Mas Asmaoen adalah orang Indonesia pertama yang menjadi dokter dari Universitas Amsterdam, lulus tahun 1908. Sedangkan Raden Mas Notokworo adalah orang Indonesia pertama yang menjadi dokter dari Universitas Leiden tanpa lebih dulu mengikuti pendidikan STOVIA (Sekolah Dokter untuk Bumiputra) di Hindia Belanda. Mas Asmaoen lebih dulu masuk STOVIA kemudian melanjutkan ke Belanda.

Notokworo, lahir di Yogyakarta pada 17 April 1886, anak tertua Pangeran Notodirodjo, kakak Pakoe Alam VI sekaligus penasihat dan pembantu utama sang raja Pakualaman. Notodirodjo menganggap pendidikan Barat sangat penting bagi generasi muda tanpa harus melupakan budaya Jawa. Dia pun menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Belanda (ELS dan HBS) di Semarang. Bahkan mereka tinggal dengan keluarga Belanda.

Baca juga: Mas Asmaoen Dokter Indonesia Pertama Lulusan Belanda

Advertising
Advertising

Notokworo berangkat pertama ke Negeri Belanda. Disusul adik-adiknya: Noto Soeroto, Gondowinoto, dan Notodiningrat.

Madelon Djadjadiningrat-Nieuwenhuis dalam “Noto Soeroto: Aristo-demokrat Tanpa Pendukung,” Kalam, No. 16 tahun 2000, menyebut Notodiredjo terus mengawasi anak-anaknya, sepanjang perjalanan dari Jawa, banyak memberi nasihat dan mengingatkan mereka untuk tidak membuang-buang waktu, sebab membiayai empat anak untuk bersekolah di Belanda merupakan sebuah tekanan berat bagi sumber keuangannya.

Mereka lulus ujian negara sebagai syarat masuk universitas. Notokworo mendaftar di kedokteran Universitas Leiden pada September 1905. Noto Soeroto dan Gondowinoto mengambil jurusan hukum di Universitas Leiden pada 1908 dan 1910. Sedangkan Notodiningrat masuk jurusan teknik di Universitas Delft.

Kecuali Noto Soeroto, mereka menyelesaikan pendidikannya pada 1918. Luar biasa, semuanya menyandang “yang pertama.” Sejarawan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah, mencatat: Notokworo menjadi orang Indonesia pertama yang lulus ujian dokter Belanda dengan program Belanda tanpa lebih dulu mengikuti pendidikan STOVIA (Sekolah Dokter untuk Bumiputra). Notodiningrat menjadi insinyur Indonesia yang pertama. Gondowinoto menjadi orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar meester in de rechten (Mr.) atau sarjana hukum.

Baca juga: Nasib Tragis Dokter Pembawa Metode Bedah

Sebenarnya, Noto Soeroto juga menjadi orang Indonesia pertama yang menempuh ujian kandidat hukum atau kandidaatexamen (semacam sarjana muda). Namun, menurut Joss Wibisono dalam tulisan di blognya berjudul “Noto Soeroto dan Soewardi Suryaningrat: paralel dua saudara sepupu”, Noto Soeroto gagal meraih gelar Mr. mungkin terlalu sibuk dengan pelbagai urusan lain, termasuk urusan keluarga.

Meskipun demikian, riwayat Noto Soeroto sebagai penulis, penyair, dan politisi, justru sangat lengkap dibandingkan saudara-saudaranya. Biografinya ditulis René Karels berjudul Mijn aardse leven vol moeite en strijd, Raden Mas Noto Soeroto, Javaan, dichter, politicus 1888-1951 (Kehidupan duniawiku penuh kesulitan dan perjuangan, Raden Mas Noto Soeroto, orang Jawa, penyair dan politikus, 1888-1951) diterbitkan oleh KITLV Uitgeverij, Leiden.

Sekembalinya ke Indonesia, Notokworo berpindah-pindah tempat kerja. Buku Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa mencatat, Notokworo menjadi dokter gubernemen di Semarang. Kemudian pindah menjadi dokter residen Banyumas. Kembali ke Semarang menjadi dokter di Rumah Sakit CBZ (Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting). Sempat pindah menjadi dokter di CBZ Jakarta bagian roentgen, kemudian kembali lagi ke Rumah Sakit CBZ Semarang sebagai dokter ahli roentgen (roentgenoloog). Dia sempat menjabat wakil kepala Rumah Sakit CBZ Semarang. Setelah sempat pensiun sekitar dua tahun, dia kembali bekerja di Rumah Sakit Umum Negeri Surabaya sebagai roentgenoloog.

Roentgen ditemukan oleh Wilhelm Conrad Rontgen pada 1895. Penemuan Sinar X itu membuat Rontgen dianugerahi hadiah Nobel fisika pertama pada 1901. Tak lama setelah ditemukan, sejak tahun 1898 perangkat radiologi telah digunakan oleh tentara Belanda dalam perang di Aceh dan Lombok.

Dikutip dari radiologirscm.com, Notokworo merupakan orang Indonesia pertama yang mengaplikasikan pemeriksaan radiologi di Rumah Sakit Semarang dan Surabaya. Namun, orang Indonesia pertama yang mendapat brevet (ijazah) roentgenoloog (ahli radiologi) adalah dr. Wilhelmus Zacharias Johannes, asisten Prof. Van der Plaats, pada 1939. Van der Plaats, spesialis radiologi asal Belanda, memimpin bidang radiologi di fakultas kedokteran dan rumah sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo) di Jakarta.

Baca juga: Tjipto Mangoenkoesoemo, Dokter Antifasis

Dr. Johannes berjasa dalam mengembangkan radiologi Indonesia. Guru besar radiologi pertama di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1946 ini merintis berdirinya Sekolah Asisten Roentgen (sekarang Akademi Penata Roentgen) dan Ikatan Ahli Radiologi Indonesia pada 1952 (sekarang Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia).

Bagaimana dengan Notokworo? Akhir hidupnya tragis.

Pada masa pendudukan Jepang, Notokworo bekerja sebagai roentgenoloog di Rumah Sakit Umum Negeri Surabaya (sekarang RSUD dr. Soetomo). Dalam memoarnya, Upuleru, Dr. G.A. Siwabessy yang bekerja di rumah sakit itu menyebut “perhatianku pada radiologi meningkat ketika datang seorang kepala radiologi baru, yaitu dr. R.M. Notokworo. Radiolog ini sebelumnya bekerja di Semarang. Tetapi rupanya penguasa Jepang di sana tidak menyukainya berhubung istrinya adalah seorang Belanda.”

Notokworo dipindahkan ke Surabaya untuk menggantikan dr. Eighorn yang sudah dipenjara sebagai kepala radiologi. Nahas, pada 1944 Notokworo ditangkap Jepang kemudian secara misterius dibunuh. Siwabessy menggantikannya menjadi kepala bagian radiologi karena calon lain yang mempunyai pengetahuan yang cukup dalam bidang radiologi tidak ada lagi. Masa itu ahli radiologi dapat dihitung dengan jari.

Baca juga: Dokter Achmad Mochtar Dipancung Jepang

“Memang nasib memanjakan beta. Dua tahun setelah lulus ujian dokter, beta sudah menjadi kepala suatu bagian penting dari sebuah rumah sakit besar,” kata Siwabessy yang menjabat kepala bidang radiologi sampai akhir November 1945.

Notokworo sendiri sudah tragis dibunuh Jepang, namanya seakan hilang dalam dunia kedokteran khususnya bidang radiologi. Adakah bentuk penghormatan untuknya?

TAG

Kedokteran noto soeroto

ARTIKEL TERKAIT

Sekolah Dokter Dulu Sekolah Miskin Di Balik Operasi Bayi Biru yang Bersejarah Perploncoan dalam Pendidikan Kedokteran Zaman Belanda Peran Calon Dokter dari Indonesia Timur dalam Kemerdekaan Dr. Raden Rubini Natawisastra, Pahlawan Nasional dari Kalimantan Barat Jejak J.A. Kaligis, Dokter Hewan Bumiputra Pertama Awal Mula Dokter Hewan di Indonesia Sardjito dan Biskuit Anti Lapar untuk TNI Sardjito Memimpin Institute Pasteur Sardjito, Dokter Revolusi Indonesia