Masuk Daftar
My Getplus

Cara Shinse Melawan Flu Spanyol

Ketika pemerintah Hindia Belanda tak mampu menghadapi gelombang pandemi Flu Spanyol secara menyeluruh, para sinshe muncul sebagai penyelamat.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 13 Feb 2021
Seorang sinshe sedang meracik ramuan obat. (freepik.com).

Pandemi Covid-19 belum berakhir. Keberadaannya masih mengancam hidup warga dunia. Tercatat sudah lebih dari 100 juta orang terjangkit, dengan angka kematian mencapai dua juta jiwa, di seluruh dunia. Indonesia sendiri menempati urutan teratas negara dengan kasus positif terbesar di Asia Tenggara. Dalam sehari, lonjakan kasus di negara kepulauan ini bisa mencapai ribuan kasus, yang tersebar di seluruh wilayah.

Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah dalam mencegah kenaikan kasus Covid-19 di Tanah Air. Mulai dari pemberlakuan jam malam, pembatasan kegiatan, anjuran untuk tetap tinggal di rumah, hingga edukasi tentang pentingnya penggunaan masker. Terbaru, pemerintah telah menyiapkan vaksin, yang rencananya akan diberikan kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.

Vaksin produksi Sinovac tersebut telah melalui uji klinis, dan memperoleh izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta fatwa halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Presiden RI Joko Widodo menjadi orang pertama yang menerima vaksin itu. Diberitakan laman Presiden Republik Indonesia, presiden bersama sejumlah penerima awal vaksin lainnya menerima suntikan dosis vaksin Covid-19 di Istana Merdeka, Jakarta (13/01/2021).

Advertising
Advertising

Baca juga: Vaksin dan Harapan di Tengah Wabah Penyakit

“Tentunya saya berharap, nanti seluruh masyarakat, seluruh rakyat, bersedia divaksin karena ini adalah upaya kita untuk bebas dari pendemi. Mengenai waktunya kapan semuanya harus bersabar karena akan diatur dan dilakukan secara bertahap. Tapi yang pasti vaksin ini gratis,” ujar Presiden Jokowi.

Di masa lalu, saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda, pemerintah kolonial pun pernah dihadapkan dengan permasalahan pandemi yang menjangkit seluruh negeri. Pandemi terbesar terjadi di awal abad ke-20, ketika pandemi flu Spanyol menebar teror di Tanah Air. Pemerintah Hindia Belanda berjibaku menekan jatuhnya korban jiwa akibat virus tersebut. Mereka mengupayakan segala bentuk penanganan dan pengetahuan kesehatan dari negeri mereka agar pandemi cepat berlalu. Warga Eropa dan Bumiputera benar-benar bertumpu pada pemerintah Hindia Belanda.

Sementara masyarakat Tionghoa, sebagai salah satu golongan asing terbesar di Hindia Belanda kala itu, tidak sepenuhnya menggantungkan nasib pada pengetahuan kesehatan pemerintah kolonial. Mereka jelas ikut terdampak pandemi flu Spanyol, tetapi tidak seperti pemerintah Hindia Belanda dengan pengobatan ala baratnya, masyarakat dari daratan Timur itu memiliki metode kesehatan tersendiri dalam menghadapi pandemi yang menjangkit tempat bernaung mereka.

Baca juga: Dokter Jerman Populerkan Pengobatan Tradisional Negeri Jajahan

Tidak digunakannya cara pengobatan Barat oleh masyarakat Tionghoa merupakan salah satu bentuk ketidakpercayaan mereka terhadap pemerintah kolonial. Seperti diceritakan sejarawan Ravando Lie dalam acara Dialog Sejarah Historia.id, “Riwayat Pandemi dari Masa ke Masa”, Kamis (24/09/2020), pemerintah Hindia Belanda telah gagal menangani pandemi flu Spanyol. Mereka terlalu menganggap enteng virus tersebut dengan menyebutnya bukan penyakit berbahaya, dan kerap menyamakannya dengan influenza biasa.

“Kasus di Indonesia menurut saya agak sedikit memprihatinkan. Pada pelaksanaannya tak ada strategi awal apapun oleh pemerintah kolonial,” kata Ravando.

Kenyataannya teror flu Spanyol yang menjangkiti seluruh negeri keberadaannya tak terkontrol. Koran Sin Po memberitakan bagaimana pandemi telah menghilangkan nyawa 100 kuli Tionghoa dan 60 polisi di Medan, Sumatra Utara. Begitu pula kasus tewasnya puluhan orang Tionghoa di Pare, Jawa Tengah akibat keganasan virus tersebut. Itu terjadi lantaran pemerintah Belanda tidak menyiapkan tenaga medis yang cukup di setiap daerah. Di Pare sendiri hanya tersedia seorang dokter saja. Sementara tiap harinya ribuan orang datang untuk berobat. Kondisi itu membuat masyarakat memutuskan untuk mencari pertolongan kepada sinshe (dokter pengobatan Tionghoa). Sedang lainnya hanya bergantung pada kemanjuran obat-obatan tradisional.

Baca juga: Pengobatan Nusantara

“Kompleksnya permasalahan tersebut membuat penduduk yang tidak tahu harus melakukan apa, memilih untuk melakukan pengobatan alternatif, mulai dari menggunakan ramuan tradisional, sampai melakukan berbagai ritual keagamaan,” ujar Ravando dalam Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919.

Menurut Hans Pols dalam East Asia Science, Technology and Society, sebagaimana dikutip Ravando, orang-orang Tionghoa telah memainkan peran penting di dunia kesehatan Hindia Belanda sejak 1880-an. Mereka menjual banyak obat-obatan herbal hasil racikan dari resep leluhur mereka. Di samping beragam herbal dari luar negeri, termasuk dataran Tiongkok, dan obat-obatan dari dunia Barat.

Obat-obatan alternatif itu menjadi pilihan penting dalam menghadapi amukan flu Spanyol, baik bagi penduduk Tionghoa maupun Bumiputera. Apalagi tarif dokter dan rumah sakit tidak bisa dijangkau oleh kebanyakan orang. Sehingga menggunakan herbal racikan para sinshe atau pergi ke dukun menjadi opsi terbaik saat itu yang bisa dipilih masyarakat.

Baca juga: Resep Sebuah Pengalaman

Para sinshe di berbagai daerah juga mulai bermunculan, memberikan resep-resep hasil racikannya kepada masyarakat. Misalnya, dalam surat kabar Tjhoen Tjhioe, seorang sinshe terkemuka dari Wonogiri, Phoa Tjong Kwan membagikan resep dan langkah untuk mengobati pasien flu Spanyol. Untuk demam tinggi, dia menganjurkan meminum air perasan labu putih dengan campuran garam. Sementara untuk batuk, pasien bisa menggunkan campuran kecap manis dan perasan jeruk nipis.

Di Madiun, ada seorang sinshe yang oleh masyarakat dikenal sebagai ahli mengobati segala penyakit, bernama Tan Bing In. Bagi penduduk Madiun, obat racikan Tan Bing In lebih mujarab mengobati demam ketimbang aspirin tablet. Kemudian di Bogor dan Batavia, dikenal sinshe Tan Tik Sioe dari Tulungagung yang dengan murah hati membagikan resep obat manjur menghadapi flu Spanyol. Segala resep yang dia bagikan dapat diperoleh secara cuma-cuma, tidak hanya bagi orang Tionghoa tetapi juga Bumiputera.

“Berbagai surat kabar silih berganti mempublikasikan obat-obatan tradisional yang dipercaya dapat mengobati influenza. Di saat negara dilanda kebingungan terkait tindakan yang harus diambil guna menghadapi flu Spanyol, berbagai kalangan berupaya menemukan obat-obatannya sendiri,” ujar Ravando.

TAG

flu spanyol pengobatan tradisional tionghoa imlek imlek2021

ARTIKEL TERKAIT

Njoo Han Siang, Pengusaha yang Tak Disukai Soeharto Mencari Ruang Narasi Peran Etnik Tionghoa dalam Sejarah Bangsa Pajak Judi Masa Kompeni Mula Pedagang Kelontong Kala Penduduk Tionghoa di Batavia Dipimpin Wanita Kala Kepala dan Kuku Dipungut Pajak Tio Tek Hong, Perintis Rekaman di Hindia Belanda Gubernur Jenderal VOC Dijatuhi Hukuman Mati 4 Februari 1921: Tjong A Fie Meninggal Dunia Wayang Potehi Terawat di Gudo