Masuk Daftar
My Getplus

Zaman Orba, Calonkan Diri Jadi Presiden Langsung Ditangkap Polisi

Kisah dari sebuah zaman di mana demokrasi cuma basa-basi. Pemilu hanya pesta semu.

Oleh: Bonnie Triyana | 27 Agt 2015
Peluncuran dan diskusi buku "Biografi Judilherry Justam: Anak Tentara Melawan Orba" di Jakarta, 27 Agustus 2015. Foto: Aryono/Historia.

INI bukan dongeng ajaib yang mungkin terdengar aneh di zaman demokrasi seperti sekarang, di mana setiap orang bebas mencalonkan dirinya jadi presiden. Urusan terpilih atau tidak, itu belakangan. Namun di zaman Orde Baru, bercita-cita jadi presiden bisa jadi perkara serius.

Itulah yang dialami oleh Judilhery Justam, aktivis mahasiswa yang pernah  dipenjara karena peristiwa Malari 1974. Kisahnya bermula pada 1978,  menjelang Pemilu. Seperti biasa dalam Pemilu di masa Orde Baru, partai pemenang sudah bisa diprediksi jauh sebelum pemungutan suara dilakukan. Begitu juga dengan presiden, yang sudah bisa ditebak siapa yang bakal memenangkan pemilihan: Soeharto.

Di tengah kondisi politik yang demikian, Judilhery Justam dan Armein Daulay, dua aktivis mengajukan diri mereka sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden. Menurut kesaksian Judil, sebenarnya pada saat itu sempat pula beredar nama Ali Sadikin untuk jadi calon presiden.

Advertising
Advertising

Mantan gubernur DKI itu dicalonkan oleh mahasiswa yang ingin agar pemilihan presiden punya alternatif pilihan lain selain Soeharto. Ketika ditanya wartawan apakah siap dicalonkan jadi presiden, Ali Sadikin menjawab, “Bagaimana rakyat saja.”

Konsep pencalonannya disusun oleh Judil dan kawan-kawannya. Sementara yang menjadikan pencalonan itu sebagai isu ke publik adalah Bambang Sulistomo dan Dipo Alam, dua aktivis mahasiswa dari UI. Pencalonan Ali Sadikin membuat Soeharto marah.  Kemarahan Soeharto tak membuat Judil berhenti. Buat dia yang namanya pemilihan presiden harus ada lebih dari satu calon. “Kalau cuma satu, namanya bukan pemilihan, tapi penunjukan,” ujar dia dalam biografinya Anak Tentara Melawan Orba, yang diluncurkan Kamis, 27 Agustus 2015, di Jakarta.

Dari beberapa nama yang mencuat sebagai calon presiden pesaing Soeharto, hanya Judil dan Armein saja yang resmi mendaftarkan ke MPR, sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai calon wakil presiden, Judil menggandeng Armein Daulay. Armein kawan Judil di HMI yang saat itu baru saja lulus dari Fakiltas Ilmu-Ilmu Sosial UI (Sekarang Fisip UI).

Menurut Judil, negara saat itu tak ubahnya seperti negara keluarga. Semua terfokus pada lembaga kepresidenan. Lembaga-lembaga legislatif tidak menjalankan kontrol yang efektif dan berwibawa. Tidak ada partisipasi politik yang aktif dari rakyat. Semua seperti berada di bawah ancaman yang tidak tampak. Siapa yang tidak sependapat dengan Cendana (nama jalan rumah Soeharto) akan punya masalah besar.

Situasi politik semakin rumit bersamaan dengan beredarnya kabar adanya penumpukan kekayaan oleh anggota keluarga Soeharto. Prilaku asal bapak senang (ABS) menggejala di tengah-tengah birokrasi hingga ke ormas pendukung partai yang berkuasa. Mendekati masa Pemilu, semua lembaga dan instansi seperti paduan suara yang serempak menyuarakan rekomendasi agar Soeharto menjadi presiden lagi.

Keseriusan Judil dibuktikannya dengan menemui fraksi PPP dan PDI di MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang berwenang memilih presiden dan wakil presiden.  Pencalonan Judil sebagai presiden hanya menjadi pemberintaan majalah kampus Salemba, sementara pers di luar negeri justru lebih ramai memberitakannya, antara lain koran Belanda Utrecht Nieuwsblad.

Pencalonan Judil sebagai presiden tentu mengundang perhatian aparat keamanan. Dalam suasana politik yang serba sentralistik, munculnya calon presiden lain selain Soeharto bukan sebuah kelaziman. Puncaknya adalah penangkapan Judil, saat dia membagi-bagikan materi programnya sebagai calon presiden di MPR. Ternyata polisi sudah menguntit dan mengawasinya.

Judil dan Armein digelandang ke kantor Polda Metro Jaya. Diinterogasi tentang apa motif pencalonannya sebagai presiden. Usai ditahan di Polda, pasangan calon presiden dan wakil presiden itu dibawa ke Kodam Jaya. Kembali diinterogasi, ditahan selama berhari-hari. Dipaksa mengaku apa motivasinya menjadi presiden dan siapa yang ada di belakangnya.

Bagi Judil dan Armein, pencalonannya sebagai presiden dan wakil presiden, selain karena keprihatinannya pada kondisi politik, juga dibumbui keisengan. Namun, iseng-iseng itu malah berhadiah penahanan dari rezim yang berkuasa. Kata Judil, menyikapi reaksi pemerintah Soeharto yang berlebihan itu, “Menjadi presiden itu adalah hak dan bukan makar.”

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Eks Pesindo Sukses Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung